Overseas Practice Engagement 2024: Experience as A Facilitator

Short Introduction and Partake in The Group

Akhir April sampai awal Mei 2024 adalah waktu yang sangat mengesankan bagiku karena berkesempatan mewakili Sahabat Kapas menjadi fasilitator dalam kegiatan Overseas Practice Engagement (OPE) yang dilaksanakan oleh Yayasan Kota Kita bekerjasama dengan The Barlett Development Planning Unit (DPU) University College London (UCL). OPE merupakan kegiatan tahunan dari Yayasan Kota Kita dan DPU UCL dimana pada tahun ini, mereka bekerja sama dengan Catalytic Action dari Lebanon untuk mengadakan rangkaian kegiatan OPE di Kota Solo. Tahun ini, OPE mengangkat tema Youth and Urban Governance.

Kegiatan ini berangkat dari fakta bahwa, pada banyak konteks, komunitas pemuda tidak lagi terlibat dalam lembaga-lembaga formal perkotaan. Alih-alih,‬‭ mereka‬‭ melakukan‬‭ inisiatif‬‭ gerakan‬‭ yang‬ diorganisasi‬‭ secara‬‭ independen,‬‭ berupa‬‭ kampanye‬‭ dan‬‭ advokasi,‬‭ kegiatan‬‭ peningkatan‬‭ kapasitas,‬ maupun forum diskusi untuk meningkatkan kesadaran dan merawat percakapan terkait isu tertentu. Oleh karenanya, OPE 2024 menjadi sarana bagi mahasiswa-mahasiswa DPU UCL untuk lebih mendalami bagaimana interaksi antara komunitas-komunitas kepemudaan di Kota Solo dengan pemerintah kota. OPE 2024 menyoroti peran komunitas pemuda yang dianggap sangat penting dan memastikan agar perspektif dan prioritas mereka sebagai warga diperhitungkan dalam perencanaan dan tata kelola kota serta‬ berperan‬‭ sebagai‬‭ pemimpin‬‭ kota‬‭ di‬‭ masa‬‭ depan.‬‭ OPE 2024 dapat dikatakan merupakan bagian dari proyek besar untuk melahirkan sebuah platform digital dimana komunitas anak muda dapat berpartisipasi dengan komunitas lain maupun dengan pemerintah kota untuk mengembangkan tata kelola kota yang lebih baik. 

Oh iya, sebagai fasilitator OPE 2024, aku dan teman-teman telah melalui beberapa seleksi, loh. Mulai dari seleksi administrasi hingga Forum Group Discussion (FGD) dalam bahasa Inggris, juga pelatihan sebagai fasilitator. Betul, karena tugas kami akan membantu dalam memfasilitasi teman-teman dari London, maka kami diharuskan paham dan memiliki kecakapan bahasa Inggris yang cukup. Setelah melalui rangkaian pelatihan, kami dibagi dalam 5 (lima) kelompok dengan masing-masing kelompok akan bekerja sama dengan satu komunitas kepemudaan dan sekelompok mahasiswa UCL yang akan mencari tahu lebih lanjut tentang komunitas-komunitas kepemudaan yang sudah ditentukan. Total ada 5 (lima) komunitas yang akan bekerja sama dengan kami, yaitu Generasi Berencana (GenRe) Surakarta, Karang Taruna Joyotakan, Pemuda Penggerak, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Solo, dan Komunitas Pusat Kajian Komunitas Solo (PUKAPS). 

Arrival in Solo and Group Works

Pada 30 April 2024, aku berkesempatan untuk ikut menjemput teman-teman UCL di Bandara Adi Sumarmo Boyolali bersama teman-teman Kota Kita. Kami sangat antusias dan saling berkenalan satu sama lain, termasuk dengan anggota dari kelompok 1 (satu). Seru sekali meski saat itu Solo sedang diguyur hujan deras. Teman-teman yang berasal dari Timur Tengah terlihat sangat terkesan karena mereka jarang melihat hujan yang begitu lebat. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan mengantar teman-teman UCL menuju hotel, tempat di mana mereka akan menghabiskan waktu kurang lebih 10 (sepuluh) hari di Kota Solo. 

Pada hari berikutnya, teman-teman UCL mempresentasikan proposal penelitian yang telah mereka buat di depan komunitas yang mereka teliti, pemerintah kota, dan tentu saja dosen-dosen mereka yang luar biasa. Setelahnya, kami kemudian berkumpul dan berkenalan lebih lanjut dan tentu saja kami juga mengenalkan perwakilan dari GenRe yang akan membantu penelitian ini. Oh iya, aku akan mengenalkan kelompok dan Berlian. Kelompok kami terdiri dari 7 (tujuh) orang mahasiswa yang berasal dari berbagai belahan dunia. Satu dosen pembimbing dari Lebanon, satu orang berasal dari India, satu orang berasal dari Kenya, satu orang dari Suriah, dan 4 (empat) orang lainnya berasa dari Tiongkok daratan. Kami berdiskusi membahas mengenai linimasa untuk mengadakan kegiatan bersama teman-teman GenRe dan banyak hal lain, termasuk kebutuhan-kebutuhan mereka untuk melakukan penelitian. 

Pada pekan pertama, kegiatan kami sangat padat dengan pengambilan dan input data mentah. Dari kegiatan ini aku belajar banyak mengenai isu-isu apa saja yang sedang disoroti oleh pemerintah melalui GenRe. Ternyata, stunting menjadi isu utama dalam setiap diskusi kami. Selain itu, aku juga belajar bahwa privasi dan keaslian karya menjadi hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, loh. Bahkan UCL menyediakan lembar pernyataan bahwa penelitian ini murni dilakukan dan tidak ada campur tangan dari kecerdasan buatan dan juga ada layanan pemusnahan data responden yang dilakukan setelah penelitian selesai! Keren sekali! 

Setelahnya, beberapa teman kami dari London berkesempatan mencoba hal-hal baru di Kota Solo dengan jalan-jalan, memesan makanan melalui Grab, dan menukarkan uang asing. Bahkan teman kelompokku yang berasal dari India dan Timur Tengah meminta bantuanku untuk mencarikan persewaan mobil dan pengemudi untuk mereka bisa mengunjungi Candi Borobudur yang ikonik itu. 

Pekan kedua dimulai dengan wajah kami yang mulai kelelahan tapi tetap tidak menyurutkan semangat kami untuk menyelesaikan tugas. Pada pekan kedua ini, kami akan fokus untuk penyusun presentasi hasil dan masih ada beberapa kegiatan GenRe yang harus diikuti oleh teman-teman UCL. Kami berkesempatan mengunjungi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Surakarta di mana saat itu GenRe sedang mengadakan sosialisasi tentang stunting. Teman-teman di SMAN 1 Surakarta terkejut dengan kedatangan kami yang mendadak. Tak luput, kami jadi sasaran anak-anak untuk dimintai swafoto bersama. Kegiatan berjalan dengan lancar sampai kami berkumpul kembali di hotel untuk membahas mengenai presentasi akhir dan input hasil penelitian. 

Namun sangat disayangkan, teman kami dari Kenya mengalami demam tinggi dan nyeri sendi di malam sebelum presentasi sehingga harus dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit. Aku, Berlian, dan dosen pembimbing kelompok kami berinisiatif untuk menemaninya di Rumah Sakit hingga mendapatkan penanganan. Kata dokter, perbedaan kebiasaan sebagai akibat dari perbedaan budaya, misalnya terkait makanan, menjadi kemungkinan penyebab teman kami sakit. Akhirnya, sementara teman-teman lain bekerja keras untuk mendesain kegiatan presentasi akhir, kami membantu teman yang sakit tersebut untuk mendapatkan perawatan di hotel dengan meminum obat yang telah diresepkan dan memastikan dia makan dengan baik.

Setelah memastikan teman kami sudah dalam kondisi baik, kami melanjutkan diskusi kelompok dan bersepakat untuk membuat presentasi dalam bentuk bermain peran! Kami membagi diri dalam beberapa peran, yaitu sebagai Duta GenRe, Forum GenRe, Perwakilan Dinas DP3P2AKB, dan masyarakat penerima manfaat. Dialog yang kami susun memuat beberapa hal yang menjadi temuan kami selama penelitian, mulai dari keluhan duta GenRe melihat banyak anak muda yang tidak mau ikut kegiatan karena malas, perwakilan dinas yang tidak memberikan mereka ruang yang lebih besar, penjelasan tentang program melawan stunting terkait siapa saja penerima manfaat dan bagaimana mereka melakukan implementasinya, dan kendala lain yang mereka hadapi sebagai suatu organisasi. Kami juga menyiapkan berbagai macam properti untuk mendukung presentasi, seperti sekotak penuh telur, banner, kertas plano berisi penjelasan-penjelasan, dan hal-hal kecil lainnya misalnya selempang duta GenRe, seragam, dan lain-lain. Tugasku tentu saja menjadi penerjemah untuk pengunjung booth kami yang merupakan anggota dari komunitas-komunitas pemuda di Kota Solo. Sementara itu Berlian bertugas menjadi MC pada kegiatan presentasi. 

Presentation Day and Saying Good Bye!

Hari yang ditunggu telah tiba: final presentation! Setelah melalui persiapan yang panjang dan melelahkan, kegiatan presentasi dihadiri oleh banyak sekali komunitas kepemudaan dan perwakilan pemerintahan. Kegiatan dibuka dengan sambutan oleh perwakilan dosen DPU UCL untuk menjelaskan bagaimana tata cara kegiatan presentasi ini.

Sementara kami bersiap di booth kelompok, hadirin diminta untuk secara bergiliran mengunjungi booth dan diberi waktu masing-masing 10 (sepuluh) menit untuk mendengarkan presentasi. Seru sekali! Semua orang dalam kelompok merasa sangat puas dengan hasil kerja keras kami itu. Kegiatan kemudian ditutup dengan acara talk show yang mengundang perwakilan masing-masing kelompok menjabarkan visi dan misi dari komunitas masing-masing, serta menjelaskan secara singkat hasil penelitian kelompok tersebut.

Tak lupa, Mbak Icha sebagai penanggung jawab OPE 2024 memberikan beberapa patah kata sebagai penutup rangkaian kegiatan yang luar biasa ini. Momen tersebut juga kami jadikan sebagai momen perpisahan. Sepuluh hari yang sangat luar biasa, mulai dari kebingunganku dan Berlian untuk menerjemahkan istilah bahasa Jawa, sampai saat kami berbagi makanan, jalan-jalan, dan saling mengikuti di Instagram. Momen singkat itu tidak akan terlupakan. Malam harinya kami berkumpul kembali di Rumah Banjarsari untuk farewell party. Momen tersebut juga kami gunakan untuk berbagi souvenir dan mengucapkan selamat tinggal. Kami makan dan berjoget bersama hingga larut malam dan pesta semakin seru saat hujan deras menerpa kami. Keesokannya, mereka sudah benar-benar meninggalkan Kota Solo dengan segala kenangan singkat di 10 (sepuluh) hari itu. Kami saling berpamitan di Grup WhatsApp dan berjanji suatu hari nanti kami akan bertemu kembali, di kesempatan dan di tempat yang lain. Terima kasih kalian sudah bekerja sama dengan baik dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk semua orang. 

Janggan Aulia Agastya 

Fasilitator OPE 2024

Mereka yang Mendefinisikan Bahagia Lewat Film

Rentang sepuluh tahun tidak sedikit pun memudarkan ingatan saya tentang sebuah film karya anak-anak di lembaga pembinaan. Film “Cabe, Harga Sebuah Kebebasan” membuat saya lebih sungguh memaknai kebahagiaan. Siapa pernah menontonnya?

Film ini diproduksi satu dekade yang lalu, tapi masih sangat berharga untuk dijadikan pengingat tentang perlunya menyederhanakan cara untuk menikmati hidup, lewat hal-hal yang tak harus datang dari sesuatu yang besar. Ada bentuk-bentuk kebahagiaan kecil yang terlihat sepele namun nyatanya menjadi sumber sukacita.

Lewat film “Cabe, Harga Sebuah Kebebasan”, anak-anak di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II B Klaten menyampaikan pesan sederhana tentang makna kebahagiaan melalui kehadiran sebuah cabe sebagai teman makan. Bagi mereka, berpeluh keringat menikmati pedasnya makanan dengan cabe adalah oase yang mampu menyenangkan hati dan membuat merasa merdeka. Tawa dan kebersamaan pun ikut hadir bersamanya.

Ya, makna kebahagiaan ini didefinisikan sendiri oleh mereka yang sedang berada di tengah keterbatasan, yakni anak-anak di lembaga pembinaan yang menemukan diri mereka, secara harfiah, berada di balik jeruji besi. Mereka yang terkurung di dalam tembok-tembok yang dikelilingi menara pengawas dan kawat berduri. Di sana, mereka harus tinggal selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di ruangan yang hampir terisolasi dan seringkali dianggap sebagai subjek yang pasif.

Film ini seolah berkata bahwa kebahagiaan tidak serumit apa yang kita pikirkan. Ia bentuknya sederhana dan beberapa sebabnya pun mudah ditemukan. Sejak hari itu, saya mendapati dua perkara; perihal definisi bahagia dan potret kehidupan anak-anak di dalam lembaga pembinaan dari sudut pandang berbeda.

Untuk kamu yang ingin tahu lebih jauh tentang film “Cabe, Harga Sebuah Kebebasan”, cerita di belakang lensa bisa dibaca di sini dan film utuhnya bisa ditonton di sini. Selamat menonton dan setelahnya ceritakan definisi bahagia versimu, ya!

-Aprilia Kusuma-

Kabar dari Seberang: Pertama untuk Adinda

Children workshop bersama Kesatria Anak, Kota Kita dan Sahabat Kapas di Perpustakaan Daerah Surakarta.

Halo! Adinda here. 

Aku adalah relawan Sahabat Kapas 2023 yang baru saja menamatkan studi pascasarjana di salah satu universitas di Solo. Tahun lalu, pertemuan dengan Sahabat Kapas menorehkan  banyak pengalaman pertama dalam hidupku. 

Aku bergabung dengan Sahabat Kapas sejak September 2023. Awalnya, motivasiku bergabung didasari keinginan untuk menambah pengalaman berinteraksi dengan remaja serta mengisi kekosongan pada semester akhir masa studiku.

Setelah beberapa bulan berkegiatan bersama Sahabat Kapas, apa yang aku dapatkan ternyata melampaui keinginan awalku. Banyak hal-hal yang tidak pernah kubayangkan kulakukan akhirnya terwujud bersama Sahabat Kapas. Dulu, setiap kali ditanya “Sudah pernah jadi pembicara?” “Sudah pernah bekerja di luar kota?” “Sudah pernah konseling dengan siapa selain mahasiswa?” jawabanku selalu berupa gelengan kepala. 

Namun siapa sangka, Sahabat Kapas mengubah semua gelengan menjadi anggukan. 

Menjadi relawan Sahabat Kapas memberiku pengetahuan serta pengalaman untuk menjadi konselor remaja di LPKA. Untuk pertama kalinya saya juga berkesempatan menjadi seorang pembicara, menjalani pekerjaan di luar kota, serta ikut andil dalam menyusun rancangan kegiatan dan materi program.

Bersama Sahabat Kapas aku bertumbuh. Sahabat Kapas adalah tempat pertama yang membuat aku merasa diberdayakan dan potensiku  dioptimalkan.Di dalam organisasi, semua orang saling membantu, saling melengkapi, dan mengasah keberanian diri. Tidak ada penghakiman karena semua hal bisa dibicarakan. Di Sahabat Kapas kata pertama bukan lagi ketakutan melainkan keberanian. Keberanian untuk mencoba, bertumbuh, dan menciptakan kepercayaan diriku. Tangan dan hatiku ingin menjadi seringan kapas untuk membantu. Cara berpikirku ingin seperti bentuk kapas yang mudah menyesuaikan dengan berbagai kondisi. 

Dengan berbekal pengalaman pertamaku bersama Sahabat Kapas, aku semakin mantap untuk mengamalkan ilmuku. 

 

Adinda Ratna relawan konselor Sahabat Kapas

Kabar Dari Seberang: Kisah Bob

2018 menjadi tahun yang berat bagi Bob. Saat ia belum mampu meregulasi emosinya, ia melakukan kesalahan yang kemudian menjadi sesalnya. Dia divonis lima tahun penjara dan ditempatkan di LPKA.

Menjalani hidup jauh dari keluarga di tempat baru bukanlah perkara mudah. Dia harus menjalani hari- hari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan mencoba untuk memperbaiki diri sebagai jalan penyesalannya. Di tengah situasi sulit itu, Bob merasa lebih baik ketika ia diperlakukan sebagai teman dan keluarga.

Selama Bob menjalani proses hukumnya dia bertemu dengan banyak orang, mulai dari aparatur negara hingga teman yang silih berganti di LPKA. Banyak yang menyisakan kenangan baik di hatinya. Meski tak dapat dipungkiri, tetap ada yang menorehkan luka. Banyak yang menjalani hidup yang lebih keras darinya. Umur, pengalaman hidup, dan ketidakhadiran keluarga membuat banyak orang bertahan dalam posisi yang tidak mengenakkan dan menguntungkan. Ia memaklumi akan selalu ada konflik yang terjadi di sekelilingnya.

Di antara kenangan yang ia miliki, Bob menyampaikan terima kasihnya kepada pegawai Bapas, Lapas, Rutan, dan LPKA yang sudah berbuat baik padanya. Di Lapas Plantungan, mereka mau menasehati dan memberinya kepercayaan sehingga dia benar- benar merasa kemerdekaannya perlahan- lahan dikembalikan. Dia juga mengingat kakak pendamping di Sahabat Kapas yang mau menjadi temannya untuk belajar dan tertawa bersama. Terkadang dia tak bisa menyebutkan dengan satu kata tentang bentuk pertolongannya seperti apa yang dia dapatkan, tapi hatinya bisa merasa dan meyakini bahwa ada Sahabat Kapas yang menjadi bagian dari proses baiknya.

Sekarang Bob menatap masa depan dengan optimis. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalani hidup yang baik dan merawat cita- cita dengan niat dan usaha kerasnya.

Penulis: Evi B.

MENULISKAN MIMPI

Edisi khusus: Diskusi Selapanan Sahabat Kapas, 6 Maret 2023

Oleh Hesdo C Naraha relawan Sahabat Kapas

 

“Yang perlu dilakukan adalah bermimpi, yakin bahwa mimpi itu akan terwujud, dan kita bertekad keras untuk mewujukannya” -Hasanudin Abdurakhman-

Bermimpi tentang hari ini

Mungkin saja di ratusan ribu masa yang lalu, nenek moyang kita sudah pernah berangan-angan atau bermimpi untuk menaiki kereta api. Mungkin juga, di masa yang sama mereka sudah berkeinginan untuk bisa mencapai tempat-tempat yang lain di muka bumi, dan lagi-lagi mungkin saja mereka juga berharap kehidupan di waktu besok akan lebih baik daripada hari ini dan masa lalu. Segala kemungkinan di atas terkesan amburadul, sulit untuk diterima begitu saja, tetapi bukankah kemungkinan selalu menyediakan sebuah kejutan?

“Apakah mungkin saya bisa menjadi pemimpin Negeri ini?” kata B. J. Habibie sewaktu dia masih anak-anak dan tinggal di pelosok Sulawesi. Berpuluh tahun kemudian, sejarah mencatat bahwa dia adalah salah satu ilmuwan terkemuka Indonesia yang diakui dunia dan juga menjadi salah satu diantara tujuh Presiden yang pernah memimpin Negara Indonesia.

Bukankah segala kemudahan yang kita alami di hari ini adalah bentuk nyata dari mimpi-mimpi sederhana pendahulu kita? Salah satu contoh paling aktual, marilah kita lihat ke sekitar kita saja. Di Yayasan Sahabat Kapas selama 13 tahun terakhir dipimpin oleh perempuan, berawal dari Bu Dian Sasmita*, kemudian berlanjut ke Mbak Sherly Maharani*. Tentunya perjalanan kedua perempuan ini bukan sebuah kebetulan, mereka adalah sebagian kecil dari potret perempuan masa kini -hari ini, yang menikmati mimpinya Ibu Kartini; kalau perempuan harus berpendidikan dan mendapatkan peran yang setara dengan laki-laki.

Hal ini berarti tidak ada satu pun mimpi yang sia-sia, bahwa setiap hal yang kita impikan hari ini tidak selalu terwujud hari ini juga, tetapi dengan meyakini bahwa ‘tidak ada mimpi yang sia-sia’, maka mungkin saja di besok pagi, dua hari lagi lagi atau kapan pun itu; pastinya akan terwujud. Oleh karena itu cobalah untuk mengingat sebentar, ambil waktu 2-3 menit untuk merenungkan, jangan-jangan hari ini kamu sedang menikmati sesuatu yang pernah kamu impikan dahulu? Jika iya, maka tersenyumlah dan berterima kasih karena impian mu tidak sia-sia.

Mimpi di dalam tidur vs Mimpi di saat bangun

Tanggal 6 Maret 2023 di kantor Yayasan Sahabat Kapas telah berlangsung lomba tidur sebentar dan bangun menuliskan mimpi. Siang itu, di ruang kerja yang tidak terlalu besar dihiasi banyak barang, salah satu pemandangan kesukaan saya adalah etalase kaca yang berisi berlapis-lapis buku, ada beberapa orang manusia di sana, telah terjadi ajakan untuk bangun dan menuliskan mimpi.

Menuliskan mimpi sebenarnya merupakan rangkaian terakhir dari acara ‘Diskusi Selapanan’, hari itu tema yang diusung adalah “One moment in Time”. Tidak ada suatu alasan yang terlalu filosofis, hanya karena kalimat pendek itu dapat diartikan sebagai ‘pada suatu waktu’, maka selapanan kali itu ingin mengajak semua orang yang hadir di sana untuk melihat kembali rentetan peristiwa hidupnya, yang tentu saja dimulai pada suatu waktu.

Banyak motivator sering mengdoktrin kita dengan keyakinan mereka, katanya “jika ingin menjadi sukses maka bangunlah dari tidur Anda, dan bekerjalah untuk mewujudkan mimpi-mimpi Anda.” Menurut pendapat saya, kita terlalu dipaksa untuk melompati tangga realitas, bukankah kita perlu membuat mimpi dulu? Bagaimana mungkin kita mau mewujudkan sesuatu yang bahkan membayangkan atau memimpikannya saja tidak pernah. Tentu saja hal ini amatlah rancu dan ambigu, sehingga tidak mengapa kalau tidur kita menjadi lebih lama sedikit, siapa tahu sedang bermimpi menyatakan cinta ke doi? Syukurlah kalau sudah terjawab baru terbangun, sayang sekali kalau akhirnya belum mendapatakan jawaban ehhh sudah keburu bangun.

Jika kemungkinan kedua yang terjadi, maka itu berarti kita memang diminta untuk mewujudkan mimpi itu. Bukan menciptakan sebuah ruang ilusi dalam bunga tidur saja, justru kita diminta untuk segera bangun dan mewujudkannya.

Menuliskan mimpi sudah seharusnya kita lakukan sejak kecil, karena dengan begitu di suatu masa ketika sudah beranjak dewasa, kita akan ingat bahwa hidup kita memang penuh dengan impian-impian yang menyenangkan. Di papan impian, seorang relawan Sahabat Kapas menuliskan pada post it-nya “ingin punya tabungan 100 Miliar”, ada pulang menuliskan “ingin menjadi orang yang baik dan bermakna.” Jelaslah bahwa setiap orang memiliki impiannya masing-masing, tidak ada aturan khusus untuk bermimpi, toh setiap orang akan bermimpi sesuai kapasitasnya juga. Tetapi lagi-lagi mimpi sangatlah bebas dan tak berbatas, saya pun ikut mengamini salah satu impian di atas “ingin punya tabungan 100 Miliar”, siapa tahu kelak saya ikut ditransfer 500 ribu untuk jajan, wah betapa itu sangat menyenangkan.

Pada akhirnya bermimpi bukan lagi sebuah hal yang perlu dikecam, siapa pun punya hak untuk memiliki mimpi menjadi apa saja atau memiliki apa saja. Kata Laskar Pelangi “mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia”, kalau berawal dari impian seorang B. J. Habibie bisa menjadi presiden, maka sangat mungkin untuk Mbak Uthie* kelak bisa menjadi pejabat daerah. Kalau berawal dari impian dan kegigihan, R. A. Kartini bisa menginspirasi pendidikan bagi perempuan, maka sangat mungkin untuk di suatu masa Kak Mala*, Kak Wilda*, Kak Hanna*, Kak Maya*, Kak Ambar*, Kak Dinar* juga punya impian yang bisa menginspirasi orang lain dan membawa perubahan.

Ingatlah pesan Hasanudin Abdurakhman: “Yang perlu dilakukan adalah bermimpi, yakin bahwa mimpi itu akan terwujud, dan kita bertekad keras untuk mewujukannya”.

——————————————————————–

*Disclaimer:

Tokoh-tokoh yang disebutkan dalam tulisan ini adalah relawan dan staf pada Yayasan Sahabat Kapas.

Semangat Baru untuk Naik Level

Tahun ini, sering aku berkata “hidupku seperti sedang bermain game”. Di mana aku selalu menyemangati diriku dengan berkata kepada diri sendiri: Hidup ini harus penuh tantangan untuk naik level dan menyelesaikan setiap tahapan level dengan gembira dan semangat.

Suatu masa di mana aku sedang tidak baik-baik saja, tapi selalu ingin menjadikan hidupku berguna untuk siapapun yang kutemui. Ya, semangat baru selalu ada ketika aku bertemu dengan anak-anak dan bertukar cerita dengan mereka. Anak-anak disini adalah anak-anak hebat yang Tuhan ijinkan bertemu denganku. Agar aku bisa selalu merasakan betapa bersyukurnya aku pada posisiku saat ini. Mereka bukan anak-anak biasa, melainkan anak-anak yang sudah dituntut dewasa sebelum umurnya. Beberapa dari mereka adalah anak-anak yang berada di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak). Banyak cerita dan latar belakang anak yang menjadikanku selalu bersyukur menjalani hidup. Kita harus tahu bahwa anak LPKA bukanlah anak yang buruk, mereka hanyalah anak spesial yang kurang beruntung dan perlu kita rangkul.

Terlebih kisah mereka yang sudah harus dewasa sebelum umurnya. Sering kita menganggap sebelah mata mereka yang tidak punya banyak teman, tidak banyak bermain dan sering menyendiri. Kita sering punya statement bahwa: “Anaknya memang sulit bergaul sih.” “Anaknya emang nggak pernah bisa deh main sama yang lain.” dan statement negatif lainnya yang merendahkan anak.  

Kita jangan salah sangka dulu. Kenali mereka sebelum kita menstigma negatif dan melabeli mereka. Ternyata banyak dari mereka hanya butuh kita mendengar cerita mereka. Siapapun mereka dengarkanlah ceritanya. Hal itu akan sangat membantunya untuk kembali bersemangat menjalani hari. Bahkan dapat menjadi hal yang tidak ternilai bagi mereka. Itu adalah hal besar yang sudah menyelamatkan mereka.

Ya, hanya mendengar cerita mereka sudah menjadikan Semangat Baru untuknya. Setidaknya, kita sudah menyelamatkan satu jam mereka untuk mereka bisa lupa akan permasalahan hidupnya. Kita selamatkan hidup mereka supaya mereka dapat kembali bersemangat menjalani hidup untuk mencapai next level yang harus mereka selesaikan. 

Semangat untuk mencapai next level hidup kita dan selalu mensyukuri apapun yang sedang kita lalui.

Memberi Sudut Pandang Baru

Saya ingin membagikan pengalaman ini karena saya tidak ingin ada Sherly-Sherly lainnya yang berpikiran buruk terhadap mereka yang pernah salah dan berkonflik dengan hukum.

Sebelum mengenal Sahabat Kapas, saya adalah orang yang sangat penakut. Ketika ada orang asing yang tiba-tiba mendekat, secara otomatis saya merasa takut dan menjadi overthinking.

Hal-hal seperti ‘apakah orang ini akan menyakiti saya? apa yang orang ini akan lakukan terhadap saya?’ sangat mungkin terlintas di pikiran saya. Padahal, apa yang saya pikirkan belum tentu terjadi.

Berdamai dengan Diri Sendiri

Setelah hampir 2 tahun berkecimpung dan belajar dengan teman-teman Sahabat Kapas, perlahan saya tahu bagaimana cara mengatasi overthinking saya tadi. Pelan-pelan saya bisa mengubah mindset yang awalnya sangat penakut, menjadi jauh lebih bisa menerima keberadaan orang lain tanpa prasangka buruk yang berlebihan.

Sejak beraktivitas di Kapas, saya tidak lagi menjadi Sherly yang tertutup akan kehadiran orang baru di sekitar saya. Kini saya menjadi orang yang mampu untuk berdamai dengan diri sendiri dan pada akhirnya membuat saya bisa lebih terbuka untuk menerima orang baru. Bahkan, saya kini berusaha menjadi sahabat dan teman curhat bagi Anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), yang sebelumnya sama sekali belum saya kenal.

Kuncinya ternyata adalah berdamai dengan diri sendiri untuk mengubah segala mindset buruk yang sudah ada dalam pikiran.

Menjadi Orang yang Lebih Peduli

Dengan berkegiatan bersama Sahabat Kapas, saya mulai menyadari bahwa kecemasan yang saya alami terhadap orang asing terjadi karena saya belum mengenal mereka dengan baik. Buktinya, ketika saya mencoba terbuka dengan ABH pada saat kegiatan pendampingan, saya menyadari bahwa sejatinya mereka adalah orang-orang baik yang hanya belum saya kenal. Mereka sangat perhatian dan ternyata bisa diajak untuk bekerja sama.

Semakin lama, semakin saya mafhum bahwa anak-anak dampingan Kapas sejatinya adalah orang-orang baik yang tidak tahu apa potensi dirinya dan terus bergulat dengan semua masalah di masa lalunya. Saya pun menyadari bahwa mereka benar-benar membutuhkan orang yang peduli serta mau mengakui bahwa mereka mampu dan bisa melakukan hal baik di masa depan.

Rupanya banyak sekali hal yang bisa saya ambil dan pelajari dari Sahabat Kapas tentang menghadapi kehidupan sosial. Saya belajar bagaimana saya harus bersikap ketika bertemu atau berinteraksi dengan orang baru. Saya juga melatih diri bagaimana harus bersikap dan bertindak ketika menjumpai orang yang mempunyai masalah berat.

Pun saya belajar bagaimana menyikapi perilaku anak-anak yang sudah terlewat batas dan mengantarkannya ke hal-hal negatif. Mereka membutuhkan kita, saya dan Anda yang percaya bahwa selalu ada kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik di masa depan.

Setiap Anak Itu Unik

Albert Einstein menulis, “Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani seluruh hidupnya dengan percaya bahwa ia bodoh.”

Ketika membaca alegori dari Albert Einstein tersebut, ada getaran dalam hati saya untuk percaya bahwa tidak ada anak yang bodoh. Bagaimana dengan Anda?

Bayangkan rasanya ketika orang tua atau orang-orang di sekitar membanding-bandingkan Anda dengan orang lain. Lalu, bagaimana pula rasanya ketika dulu orang tua Anda terus-menerus berkomentar tentang nilai-nilai sekolah Anda yang jelek?

Ada dua kemungkinan. Ada sebagian besar orang yang mungkin akan menjadikannya motivasi untuk bangkit dan percaya diri. Namun, ada juga mereka yang akan merasa tertekan dan menganggap dunianya sudah runtuh. Menurut Anda, kemungkinan mana yang biasanya lebih sering terjadi?

Jangan Terjebak Standar Orang Lain

Saya teringat, pernah suatu kali turut serta dalam seminar parenting. Pada sesi tanya jawab, ada seorang ibu mengajukan sebuah pertanyaan kepada narasumber:  “Anak saya sangat pemalu ketika berada di kelas, padahal saya sudah berusaha untuk memberikan dorongan agar ia lebih berani seperti teman-temannya. Apa yang harus saya lakukan, ya?”

Ibu tersebut menganggap anaknya yang baru berusia lima tahun bermasalah karena tidak memiliki rasa percaya diri ketika harus ketika diminta ke depan kelas. Padahal, menurut ibu tersebut, sang anak sangat aktif ketika berada di rumah.

Melanjutkan ceritanya, sang ibu juga menambahkan telah seringkali menyemangati anaknya dengan mengatakan, “Dek, mbok kaya Mbak N itu loh, anaknya pintar dan berani. Ayo, besok kalau ibu guru minta Adek maju, enggak usah malu, ya!”

Menanggapi cerita sang ibu, narasumber pada acara tersebut mengatakan bahwa apa yang dirasakan Ibu tersebut kemungkinan besar juga dirasakan oleh ibunya dahulu. Bahwasanya, dahulu ia adalah seorang anak yang pemalu dan masih takut berinteraksi di sekolah. Hal ini wajar terjadi, karena lingkungan sekolah tidak senyaman lingkungan di rumah. Narasumber seminar juga menegaskan bahwa perlu waktu yang berbeda–beda untuk anak dapat beradaptasi dengan lingkungannya.

Mengingat usia anak yang masih sangat muda, narasumber mengingatkan bahwa masih ada waktu panjang untuk sang anak belajar dari lingkungan. Ibu tersebut pun tidak perlu terburu-buru menganggap sang anak sebagai anak yang bermasalah.

Terakhir, sang narasumber juga memberikan apresiasi kepada orang tua yang tetap memberikan dorongan bagi sang anak untuk memunculkan rasa percaya diri. Namun demikian, perlu diingat bahwa dorongan yang diberikan tidak boleh bersifat memaksa. Akan menjadi kesalahan fatal, apabila orang tua membandingkan anak dengan standar anak lainnya.

Sebab Setiap Anak Istimewa

Stimulus atau dorongan positif sangat penting untuk tumbuh kembang seorang anak. Misalnya, dengan melihat kembali apakah menjadi pemalu adalah hal yang buruk?  Sebelum menganggap pemalu menjadi suatu masalah, kita perlu mengingat bahwa setiap anak terlahir dengan karakter dan temperamen yang berbeda-beda.

Tokoh pendidikan dan psikologi terkenal, Howard Gardner, menyatakan bahwa setiap orang tidak dapat disamakan. Cara yang dibutuhkan seseorang untuk mengeluarkan dan mengembangkan potensinya berbeda dari orang lain. Bahkan, menurut Gardner ada sembilan bentuk kecerdasan atau disebut juga multiple intelligences (kecerdasan majemuk).

Jadi, ketika anak tidak menunjukkan kemampuan mengagumkan dalam pelajaran atau kemampuan tertentu, bisa jadi dia memiliki kecerdasan yang lebih tinggi di aspek lain. Hal inilah yang mesti distimulasi dan dikembangkan oleh orang tua dan orang-orang di sekitar anak. Perlu diingat kembali bahwa makna kecerdasan tidak terbatas pada satu dua hal saja. Sebab pada kenyataannya, dalam diri anak terdapat banyak potensi yang bisa ia dikembangkan.

Setiap anak itu unik. Oleh karena itu, buatlah standar untuk dirinya sendiri dan jangan bandingkan dengan orang lain. Ketika Anda mulai lupa akan hal tersebut, coba baca kembali kutipan di awal tulisan ini.

Surat Tanpa Alamat

“Perjalanan selalu menyisakan kenangan. Jika beruntung, kita akan mendapat pelajaran di perjalanan; yang lalu disimpan dan mungkin dibagikan. Hidup telah banyak memberi; dari bagaimana kesulitan lalu datang kemudahan, pun sebaliknya.”

Pendampingan Sahabat Kapas pada Sabtu itu saya yakini akan berjalan seperti biasanya. Saya dan rombongan Kapas bergegas ke stasiun di pagi buta untuk mengejar kereta Prameks yang akan mengantarkan kami ke Kutoarjo. Seperti biasa pula, kami mengisi energi terlebih dahulu di warung langganan samping stasiun untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke LPKA Kutoarjo dengan menumpang angkutan kota. 

Gerbang kayu LPKA pun menyambut kami seperti biasanya. Di balik gerbang, kami merasakan energi mereka mengalir penuh semangat dan rindu yang terselip setelah dua minggu tak berjumpa. Setelah melewati pos pemeriksaan, sayup terdengar suara mereka memanggil nama-nama kami dengan penuh semangat; kangen katanya. 

Iting yang Menyimpan Rahasia 

Pendampingan Sabtu itu berjalan sesuai yang kami rencanakan. Selepas pendampingan, kami membagi anak-anak LPKA menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang baru masuk LPKA dan belum mendapatkan pendampingan dari Sahabat Kapas sebelumnya. Bagi mereka, kami memberikan lembar Iting untuk diisi. Lembaran tersebut memuat data dan informasi diri anak yang akan dimiliki Sahabat Kapas. Kami menggunakannya untuk memantau perkembangan anak dan sifatnya sangat rahasia. 

Di kelompok kedua, kami memfasilitasi mereka yang ingin mengabadikan satu fragmen dalam hidupnya di LPKA menggunakan kamera yang dibawa rombongan. Hasil jepretan mereka akan diarsipkan oleh Kapas dan tidak akan disebarluaskan secara sembarangan. Mereka pun dapat meminta hasil cetak fotonya untuk disimpan. Kami selalu memastikan hanya membagikan hasil cetak foto kepada yang bersangkutan, karena kami percaya mereka amat istimewa. 

“Aku sehat, bapak sama mas gimana?”

Pada kelompok ketiga, kami menemani anak-anak yang ingin menitipkan pesan kepada keluarga, pacar, atau barangkali teman-teman mereka di luar LPKA. Kami dengan senang hati akan menyampaikan pesan-pesan tersebut kepada penerimanya. 

Salah satu anak, datang menghampiri saya. “Mbak, aku ingin titip pesan,” ucapnya seperti anak lain.  

“Ya silakan… Ini kertasnya, ditulis saja, ya,” jawab saya. 

“Tapi aku enggak bisa nulis, Mbak.”

“Oh, yaudah tak tuliskan saja bagaimana. Isi suratnya mau gimana?”

“Pak, aku kangen. 
Bapak kapan bisa jenguk aku? 
Aku sehat, bapak sama mas gimana?”

“Sudah? Ini mau dikirim ke mana?”

“Ke bapakku, Mbak. Tapi aku nggak punya nomornya.”

“Oalah, bapak punya facebook enggak?”

“Enggak punya, Mbak.”

“Bapak posisinya di mana sekarang?”

“Bapak di penjara, Mbak.”

Hening sejenak. “Oh ya sudah, kalau begitu dikirimkan ke masmu saja, ya. Kamu punya nomor masmu atau facebook-nya enggak?”

“Mas juga di penjara, Mbak. Tapi aku enggak tahu di mana, tolong cariin ya, Mbak.”

Berpura-pura memeriksa kembali pesan yang ia sampaikan tadi adalah cara saya menghindari binar harapan di matanya. Sebelum berlalu, ia kembali berpesan, “Mbak, aku titip pesan itu buat bapakku, ya.” 

Ruang aula LPKA mendadak sendu dan dingin. Hari itu rupanya tak berlalu seperti Sabtu biasanya.

Tak Sekadar Pesan Sederhana 

Bagaimana surat akan sampai pada penerimanya jika tak memiliki alamat? 

Jangan-jangan benar bahwa hidup adalah hukuman bagi yang hidup. Hukuman dalam bentuk-bentuk rasa bersalah yang menghantui tapi terlalu pengecut untuk mati. Perasaan bersalah karena tak dapat mengirim surat terasa menyakitkan. Pun terlalu sulit menemukan alamat yang abu-abu dan terlalu pedih menyampaikan kebenaran.

Barangkali pesan itu terbaca sebagai hal yang biasa dan tak bernilai apa-apa. Tetapi, saya percaya bagi mereka pesan itu amat bermakna. Banyak orang berpikir bahwa LPKA adalah tempat yang tidak buruk-buruk amat—terlalu berat mengatakan menyenangkan—karena masih banyak temannya dan masih bisa bersekolah. Meski begitu ramai, tapi tempat itu barangkali adalah keramaian dari bisik-bisik kesenduan, kerinduan, bahkan penyesalan. 

Barangkali surat itu adalah penyembuhan untuk mereka. Melabuhkan harapan dan berharap terbalas, tapi kalau pun tak terbalas dan pesan ditolak mereka sudah bersiap. Begitulah pesan yang sederhana bekerja. Tidak tajam menusuk tapi juga tidak dangkal untuk menyentuh perasaan.

Ingin ku menangis saat ku terpaku

Mengenangkan nasib diri yang tiada arti

Tommy J. Pisa dengan tembangnya Suratan seakan menjadi wakil atas ketidakberdayaan karena tak sanggup mengirim surat tanpa alamat tersebut. Hingga kini surat tersebut masih saya simpan dengan baik. Untuk menyudahi rasa bersalah, pesan surat itu saya kirim dengan doa dan harapan setulus hati agar sampai pada pemiliknya.

Membawa Semangat Sahabat Kapas di Mana pun Berada

Sudah lebih dari 3 tahun saya berhenti menjadi relawan reguler Sahabat Kapas. Sebuah keputusan yang harus saya ambil karena diterima menjadi abdi negara dan ditempatkan di luar wilayah Soloraya. Empat tahun rutin berkegiatan bersama Sahabat Kapas ternyata membuat saya berubah dalam banyak hal. Sesuatu yang baru saya sadari belakangan.

Terbiasa duduk bersama, membicarakan banyak hal bersama tim Sahabat Kapas membuat saya selalu merindukan ruang diskusi di berbagai kesempatan. Kebiasaan kecil yang ternyata menjadi amat berharga karena tidak semua komunitas mampu memberi kesempatan bertukar pikiran.

Semangat Memberi dan Berbagi 

Sahabat Kapas menjadi tempat saya belajar banyak hal. Saya yang dulu lebih memilih diam dan menyimpan gagasan liar untuk diri sendiri, berproses menjadi orang yang nyaman berbicara di depan umum. Saya yang selama seperempat abad nyaris tidak pernah terlibat kegiatan sosial, akhirnya sangat menikmati ketika mampu melakukan sesuatu untuk membantu orang lain, khususnya anak-anak dampingan Sahabat Kapas.

Semangat memberi dan berbagi yang ditumbuhkan Sahabat Kapas saya usahakan untuk terus ada di mana pun saya berada. Meskipun tidak lagi menjadi bagian inti Sahabat Kapas, saya beruntung memiliki kesempatan menjadi relawan khusus yang masih diberi kepercayaan bergerak untuk anak-anak di balik jeruji besi

Melakukan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pendampingan, dan pengawasan terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum menjadi bagian penting tugas pekerjaan saya saat ini. Bukan tanpa alasan, saya yang sebelumnya selalu menolak menjadi abdi negara akhirnya mau mencoba mengikuti seleksi untuk jabatan pembimbing kemasyarakatan. Jabatan yang tidak pernah saya tahu ada sebelum menjadi relawan Sahabat Kapas. Jabatan yang sedikit banyak ikut menentukan nasib anak-anak yang berkonflik dengan hukum. 

Pemahaman bahwa penjara adalah pilihan terakhir bagi anak menjadi dasar untuk saya memberikan rekomendasi kepada anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Pemahaman berharga yang saya dapat dari bergabung dengan Sahabat Kapas.

Sahabat Kapas telah menjadi referensi terbaik saya dalam melihat permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum.

Tantangan yang Kami Temui

Dulu tidak hanya sekali saya dan beberapa teman di Sahabat Kapas meragukan pendampingan yang telah kami lakukan. Apakah kami telah melakukan hal yang benar? Kenapa masih saja belum ada perubahan dalam sikap dan perilaku anak dampingan? Tentu saja tidak semua pendampingan berhasil. Seringnya justru banyak kendala dan tantangan yang kami hadapi.

Ada anak yang kami harapkan mampu mencapai harapannya untuk kuliah ternyata menjadi korban penipuan karena masih bergaul dengan mantan warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang dikenalnya di lapas. Selain itu, ada anak yang masih saja belum mampu menghentikan kebiasaannya mengonsumsi minuman beralkohol padahal dukungan orang tua kami nilai sudah cukup untuk membuatnya memperbaiki perilaku. Ada pula anak yang harus merasakan penolakan masyarakat karena telah beberapa kali melakukan tindak pidana sehingga tidak mendapatkan hak integrasinya. 

Berbagai kejadian yang kami hadapi akhirnya memaksa kami untuk terus berpikir dan mencari solusi, berjejaring, membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang memiliki kewajiban maupun kepedulian terhadap nasib anak-anak dampingan kami.

Tidak jarang kami harus mengatur emosi ketika berhadapan dengan beberapa orang yang masih saja mengedepankan ego-sektoral. Mereka yang masih melihat siapa dan bukan apa informasi yang disampaikan. Namun, kami tidak pernah membiarkan mereka mengusik tujuan kami: mencari solusi terbaik bagi anak-anak dampingan dengan memberi sebanyak mungkin pilihan.

Febi Dwi S.

Relawan Khusus Sahabat Kapas