Setiap Anak Itu Unik

Albert Einstein menulis, “Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani seluruh hidupnya dengan percaya bahwa ia bodoh.”

Ketika membaca alegori dari Albert Einstein tersebut, ada getaran dalam hati saya untuk percaya bahwa tidak ada anak yang bodoh. Bagaimana dengan Anda?

Bayangkan rasanya ketika orang tua atau orang-orang di sekitar membanding-bandingkan Anda dengan orang lain. Lalu, bagaimana pula rasanya ketika dulu orang tua Anda terus-menerus berkomentar tentang nilai-nilai sekolah Anda yang jelek?

Ada dua kemungkinan. Ada sebagian besar orang yang mungkin akan menjadikannya motivasi untuk bangkit dan percaya diri. Namun, ada juga mereka yang akan merasa tertekan dan menganggap dunianya sudah runtuh. Menurut Anda, kemungkinan mana yang biasanya lebih sering terjadi?

Jangan Terjebak Standar Orang Lain

Saya teringat, pernah suatu kali turut serta dalam seminar parenting. Pada sesi tanya jawab, ada seorang ibu mengajukan sebuah pertanyaan kepada narasumber:  “Anak saya sangat pemalu ketika berada di kelas, padahal saya sudah berusaha untuk memberikan dorongan agar ia lebih berani seperti teman-temannya. Apa yang harus saya lakukan, ya?”

Ibu tersebut menganggap anaknya yang baru berusia lima tahun bermasalah karena tidak memiliki rasa percaya diri ketika harus ketika diminta ke depan kelas. Padahal, menurut ibu tersebut, sang anak sangat aktif ketika berada di rumah.

Melanjutkan ceritanya, sang ibu juga menambahkan telah seringkali menyemangati anaknya dengan mengatakan, “Dek, mbok kaya Mbak N itu loh, anaknya pintar dan berani. Ayo, besok kalau ibu guru minta Adek maju, enggak usah malu, ya!”

Menanggapi cerita sang ibu, narasumber pada acara tersebut mengatakan bahwa apa yang dirasakan Ibu tersebut kemungkinan besar juga dirasakan oleh ibunya dahulu. Bahwasanya, dahulu ia adalah seorang anak yang pemalu dan masih takut berinteraksi di sekolah. Hal ini wajar terjadi, karena lingkungan sekolah tidak senyaman lingkungan di rumah. Narasumber seminar juga menegaskan bahwa perlu waktu yang berbeda–beda untuk anak dapat beradaptasi dengan lingkungannya.

Mengingat usia anak yang masih sangat muda, narasumber mengingatkan bahwa masih ada waktu panjang untuk sang anak belajar dari lingkungan. Ibu tersebut pun tidak perlu terburu-buru menganggap sang anak sebagai anak yang bermasalah.

Terakhir, sang narasumber juga memberikan apresiasi kepada orang tua yang tetap memberikan dorongan bagi sang anak untuk memunculkan rasa percaya diri. Namun demikian, perlu diingat bahwa dorongan yang diberikan tidak boleh bersifat memaksa. Akan menjadi kesalahan fatal, apabila orang tua membandingkan anak dengan standar anak lainnya.

Sebab Setiap Anak Istimewa

Stimulus atau dorongan positif sangat penting untuk tumbuh kembang seorang anak. Misalnya, dengan melihat kembali apakah menjadi pemalu adalah hal yang buruk?  Sebelum menganggap pemalu menjadi suatu masalah, kita perlu mengingat bahwa setiap anak terlahir dengan karakter dan temperamen yang berbeda-beda.

Tokoh pendidikan dan psikologi terkenal, Howard Gardner, menyatakan bahwa setiap orang tidak dapat disamakan. Cara yang dibutuhkan seseorang untuk mengeluarkan dan mengembangkan potensinya berbeda dari orang lain. Bahkan, menurut Gardner ada sembilan bentuk kecerdasan atau disebut juga multiple intelligences (kecerdasan majemuk).

Jadi, ketika anak tidak menunjukkan kemampuan mengagumkan dalam pelajaran atau kemampuan tertentu, bisa jadi dia memiliki kecerdasan yang lebih tinggi di aspek lain. Hal inilah yang mesti distimulasi dan dikembangkan oleh orang tua dan orang-orang di sekitar anak. Perlu diingat kembali bahwa makna kecerdasan tidak terbatas pada satu dua hal saja. Sebab pada kenyataannya, dalam diri anak terdapat banyak potensi yang bisa ia dikembangkan.

Setiap anak itu unik. Oleh karena itu, buatlah standar untuk dirinya sendiri dan jangan bandingkan dengan orang lain. Ketika Anda mulai lupa akan hal tersebut, coba baca kembali kutipan di awal tulisan ini.

Aplikasi Tik Tok dan Taktik Mencegah Dampak Negatifnya

Oleh Witri Setyani

(Relawan Sahabat Kapas/Mahasiswa Administrasi Negara UNS)

 

Beberapa bulan terakhir ini, kalangan remaja dan anak-anak tengah dihebohkan dengan kemunculan aplikasi Tik Tok. Dilansir dari laman BBC Indonesia, Tik Tok menjadi aplikasi yang paling banyak diunduh dari App Store seluruh dunia dan aplikasi paling banyak diunduh nomor 7 di seluruh dunia sepanjang kuartal pertama 2018 menurut SensorTower. Aplikasi yang berasal dari Tiongkok tersebut merupakan aplikasi pembuat video pendek yang disertai dengan fitur-fitur lucu dan unik. Hal inilah yang membuat banyak orang, terutama remaja dan anak-anak, menggandrungi aplikasi ini. Dengan aplikasi Tik Tok, pengguna dapat membagikan foto atau video yang menghadirkan polah tingkah yang dinilai “lucu”.

Setelah cukup populer di Indonesia, aplikasi Tik Tok makin viral diberitakan di media massa setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir akses aplikasi tik tok. Pemblokiran ini karena ditemukan banyak konten negatif di aplikasi tersebut. Selain itu, Tik Tok juga dinilai melakukan banyak pelanggaran dan berdampak negatif, terutama terhadap anak-anak. Dikutip dari laman VOA Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima hampir tiga ribu pengaduan mengenai perilaku dan konten Tik Tok, yang sebagian dinilai mengandung unsur pornografi serta pelecehan norma sosial dan agama.

Namun demikian, pemblokiran yang dilakukan oleh Kominfo tidak berlangsung lama. Sebelumnya, pengembang aplikasi Tik Tok mengadakan pertemuan dengan pihak Kominfo untuk membahas pemblokiran. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa pengembang Tik Tok harus menjamin konten-konten negatif tidak bermunculan lagi setelah blokir terhadap aplikasi dibuka.

Penggunaan aplikasi Tik Tok di kalangan remaja maupun anak-anak menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat umum. Banyak yang menganggap bahwa aplikasi ini berdampak negatif bagi perkembangan anak, tapi tidak sedikit yang beranggapan bahwa aplikasi Tik Tok dapat mengasah kreativitas anak.  Sebenarnya, aplikasi Tik Tok dan aplikasi lain secara umum ibarat sebilah pisau. Pisau yang digunakan dengan fungsi semestinya akan memberikan bermanfaat, sebaliknya pisau dapat membahayakan apabila digunakan di luar peruntukannya.

Aplikasi Tik Tok dan sejenisnya sebenarnya sah-sah saja dimainkan oleh anak-anak dengan beberapa catatan. Yang pertama dan utama adalah aplikasi tersebut digunakan dengan benar dan semestinya tanpa melanggar norma kesopanan/norma agama. Anak-anak boleh menggunakan aplikasi tersebut untuk ajang kreativitas dan ajang pertemanan. Namun, penggunaan aplikasi ini harus dibatasi dan di bawah pengawasan orang tua. Dalam hal ini, aplikasi Tik Tok memang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan pengguna di bawah batas usia. Padahal, penggunaan aplikasi Tik Tok yang berlebihan dan tanpa pengawasan orang tua justru akan berdampak negatif bagi anak-anak. Hal ini karena anak-anak belum mampu menyaring mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Peran orang tua maupun orang dewasa lainnya sangat penting dalam pengawasan terhadap penggunaan aplikasi telepon pintar. Para orang tua harus menanamkan pada anak mengenai pentingnya pemahaman literasi digital. Misalnya, terkait batasan penggunaan sebuah aplikasi, pencegahan kecanduan bermain gawai, dampak negatif dan positif penggunaan media sosial, dan sebagainya.  Seiring perkembangan teknologi yang semakin canggih, masyarakat diharapkan lebih selektif dalam memilih aplikasi yang digunakan. Selain itu, orang dewasa terutama orang tua, harus selalu mengawasi penggunaan beragam aplikasi oleh anak-anak untuk mengurangi pengaruh negatif dari aplikasi tersebut.