Tantangan baru dilemparkan untuk anak di Lapas Klas II B Klaten. Biasanya, mereka menjadi obyek lensa foto atau video. Kali ini anak di lapas berposisi sebagai subyek dominan. Menulis jalan cerita, mengatur pengambilan gambar, hingga melakonkannya sendiri. Delapan anak melakukannya dengan dukungan relawan Sahabat Kapas.
Akhir Mei 2014, mereka berkenalan dengan proses panjang menghasilkan karya film. Tonny Trimarsanto, sutradara film dokumenter kawakan, berkenan berbagi ilmunya di pojok baca Lapas Klas II B Klaten. Istilah fiksi – nonfiksi skenario, close up, hingga editing ditangkap anak dengan semangat. Hari itu pula separuh anak berkesempatan perdana memegang camera pocket. Ternyata, mereka belum pernah sekalipun mengenal apalagi merekam gambar dengan kamera, meskipun mereka tahu handphone beserta fasilitas fotonya.
Film dan kamera memang tidak asing bagi mereka. Sebulan sekali, kegiatan nonbar selalu dilakukan. Ragam film edukatif dan pemompa semangat dihadirkan. Kehadiran wartawan untuk meliput kegiatan mereka pun terbilang tak jarang. Namun, mereka cenderung menjadi obyek. Hanya menonton film yang sudah jadi atau aktivitas mereka menjadi bahan peliputan.
Peralatan pembuatan film tidak tersedia di lapas. Relawan Sahabat Kapas membawanya dari luar. Sehingga praktis anak-anak belajar menggunakannya hanya ketika relawan datang. Semangat belajar hal baru yang mendorong mereka cepat menangkap ilmu. Hanya 3 jam mereka dikenalkan dengan Digital Single-Lens Reflex (DSLR) Canon 60D dan pernak-periknya. Anak-anak yang bertugas menjadi kamerawan dan sutradara mampu mengoperasikannya, meskipun masih harus didampingi secara intensif.
PARTISIPASI ANAK
Ide cerita adalah hasil diskusi penuh tawa dan perdebatan antara anak dan relawan. Menarik. Semua anak memiliki hak bersuara bahkan berbantah-bantahan dengan orang dewasa. Hal ini lumrah dalam proses menggali ide menarik dan menyamakan persepsi. Relawan tidak 24 jam berinteraksi dengan anak, sehingga memiliki keterbatasan informasi tentang aktivitas mereka.
Anak mengerjakan sesuatu setiap hari, sehingga menjadi rutinitas. Kegiatan yang berulang-ulang ini mereka anggap ‘biasa’ saja, tidak ada yang spesial. Semua yang tinggal di lapas mengalami hal yang sama. Dua kondisi ini dijembatani lewat diskusi aktif selama satu jam. Akhirnya, terdapat lima ide menarik mengenai apa yang mereka lakukan dengan sukacita selama di lapas. Dua di antaranya menjadi ide dasar penulisan cerita di film ini.
Diskusi bukan istilah baru bagi mereka. Namun, selama ini anak hanya diposisikan sebagai pendengar dan pengamin pendapat orang dewasa. Mereka kesulitan untuk mengeluarkan pendapat, meskipun itu bukan pendapat yang bersebrangan lho. Ada kekhawatiran di benak anak, bahwa pendapatnya salah atau tidak sesuai, sehingga mereka malu untuk menyampaikan. Di sinilah tantangan relawan untuk menjadi pendamping atau penutur.
Relawan harus mampu menempatkan diri sehingga anak berani mengelurkan pendapatnya. Memberikan ruang yang lebih besar pada ide atau gagasan anak. Sehingga anak tidak hanya sebagai obyek, tapi mengambil bagian aktif sebagai subyek. Konsep tangga partisipasi anak yang dikemukakan oleh Roger Hart adalah sebagai berikut :
1) Manipulatif.
2) Dekoratif. Misalnya anak menari di acara orang dewasa.
3) Tokenisme. Anak sebagai “stempel” persetujuan terhadap keputusan orang dewasa.
4) Ditugaskan, tapi tidak diinformasikan apa tujuan dari tugas tersebut.
5) Gagasan dikonsultasikan dan diinformasikan kepada anak, pelaksananya orang dewasa.
6) Inisiasi dari orang dewasa, namun keputusan diambil bersama anak.
7) Inisiasi dari anak dan diarahkan oleh orang dewasa.
8) Inisiasi berasal dari anak, kemudian diputuskan bersama orang dewasa.
Tangga partisipasi yang dibuat Hart membantu orang dewasa untuk mengevaluasi diri. Apakah anak sudah cukup diberi ruang partisipasi dalam kegiatan tersebut. Untuk tangga nomor 1 – 4, anak ditempatkan hanya sebagai obyek pelengkap saja. Anak tidak ditanya gagasan, ide, atau bahkan kebutuhannya.
Perkembangan sekarang, kegiatan yang melibatkan anak mulai menginjak pada tangga nomor 5-7. Ruang keikutsertaan aktif anak mulai tersedia. Harapannya hasil dari kegiatan yang dilaksanakan dapat lebih sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan anak. Orang dewasa memang pernah menjadi anak, namun tidak dapat menjamin gagasannya sesuai dengan kebutuhan anak sekarang.
Jaman telah berkembang, termasuk juga dunia anak. Partisipasi anak merupakan salah satu prinsip dasar dalam Konvensi Hak Anak, selain non diskriminasi, kepentingan terbaik anak, dan perlindungan anak. Bappenas pun mulai melibatkan anak dalam proses penyusunan program kerja pemerintah yang terkait pemenuhan hak anak. Kota Surakarta sejak tahun 2010 melibatkan forum anak dalam proses musrenbang.
FILM ANAK DI LAPAS
Proses pembuatan film anak di Lapas Klas II B Klaten mengupayakan porsi partisipasi anak lebih besar daripada orang dewasa (relawan). Keterbatasan fasilitas, waktu, dan tata tertib internal menjadi tantangan tersendiri tanpa mengurangi keterlibatan anak. Di tengah syuting, beberapa anak mengalami ‘kegalauan’ ketika jam besuk dibuka. Mereka berharap dijenguk oleh orang tua/keluarganya. Namun, tidak semua harapan tersebut terwujud sehingga mood mereka pun kocar-kacir.
Prestasi besar bagi anak-anak di dalam Lapas Klas II B Klaten. Pertama kalinya mereka memproduksi film sendiri. Kekurangan di sana-sini. Revisi berkali-kali dalam penyuntingan gambar. Tantangan tersulit adalah menghindarkan close-up wajah mereka. Namun apa daya, masih terdapat gambar ‘bocor’. Topi yang disediakan pendampig kadang kala belum mampu menutupi wajah mereka.
Terkait identitas, sejak awal produksi telah ada kesepakatan untuk tidak menuliskan identitas mereka. Mereka lebih ingin dihargai karyanya daripada jati dirinya. Menarik sekali pernyataan mereka, karena hingga saat ini stigma negatif masih kerap disematkan masyarakat pada mereka. Melalui karya-karyanya, anak di Lapas Klaten ingin menunjukan bahwa mereka tak berbeda dengan anak lainnya. Mereka mampu menghasilkan film dalam keterbatasan ruang dan fasilitas.
Ditulis oleh Dian Sasmita
*selalu takjub dengan kreatifitas dan karya anak di lapas*
Published by