Agresi dan Kompleksitas Remaja Laki- Laki

Oleh: Apriliani Kusumawati & Evi Baiturohmah

Keterlibatan anak muda dalam demonstrasi yang menyebabkan insiden kekerasaan dan perusakan fasilitas publik mengundang perhatian khalayak. Gonjang-ganjing terkait penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Cipta Kerja merebak di tahun 2020. Ada sisi lain yang disorot tajam dalam pemberitaan media selain substansi undang-undang. Tak lain dan tak bukan adalah kehadiran anak muda.

Anak-anak muda yang kebanyakan merupakan adalah pelajar sekolah laki-laki ini oleh khalayak luas kemudian dilabeli sebagai remaja kemarin sore yang tidak tahu apa-apa, mudah terprovokasi, dan enteng melakukan kekerasan. Mereka adalah objek empuk yang gampang ditunggangi kepentingan politik terselubung, begitulah persepsi populer masyarakat awam di luar sana.

Continue reading “Agresi dan Kompleksitas Remaja Laki- Laki”

Surat Tanpa Alamat

“Perjalanan selalu menyisakan kenangan. Jika beruntung, kita akan mendapat pelajaran di perjalanan; yang lalu disimpan dan mungkin dibagikan. Hidup telah banyak memberi; dari bagaimana kesulitan lalu datang kemudahan, pun sebaliknya.”

Pendampingan Sahabat Kapas pada Sabtu itu saya yakini akan berjalan seperti biasanya. Saya dan rombongan Kapas bergegas ke stasiun di pagi buta untuk mengejar kereta Prameks yang akan mengantarkan kami ke Kutoarjo. Seperti biasa pula, kami mengisi energi terlebih dahulu di warung langganan samping stasiun untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke LPKA Kutoarjo dengan menumpang angkutan kota. 

Gerbang kayu LPKA pun menyambut kami seperti biasanya. Di balik gerbang, kami merasakan energi mereka mengalir penuh semangat dan rindu yang terselip setelah dua minggu tak berjumpa. Setelah melewati pos pemeriksaan, sayup terdengar suara mereka memanggil nama-nama kami dengan penuh semangat; kangen katanya. 

Iting yang Menyimpan Rahasia 

Pendampingan Sabtu itu berjalan sesuai yang kami rencanakan. Selepas pendampingan, kami membagi anak-anak LPKA menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang baru masuk LPKA dan belum mendapatkan pendampingan dari Sahabat Kapas sebelumnya. Bagi mereka, kami memberikan lembar Iting untuk diisi. Lembaran tersebut memuat data dan informasi diri anak yang akan dimiliki Sahabat Kapas. Kami menggunakannya untuk memantau perkembangan anak dan sifatnya sangat rahasia. 

Di kelompok kedua, kami memfasilitasi mereka yang ingin mengabadikan satu fragmen dalam hidupnya di LPKA menggunakan kamera yang dibawa rombongan. Hasil jepretan mereka akan diarsipkan oleh Kapas dan tidak akan disebarluaskan secara sembarangan. Mereka pun dapat meminta hasil cetak fotonya untuk disimpan. Kami selalu memastikan hanya membagikan hasil cetak foto kepada yang bersangkutan, karena kami percaya mereka amat istimewa. 

“Aku sehat, bapak sama mas gimana?”

Pada kelompok ketiga, kami menemani anak-anak yang ingin menitipkan pesan kepada keluarga, pacar, atau barangkali teman-teman mereka di luar LPKA. Kami dengan senang hati akan menyampaikan pesan-pesan tersebut kepada penerimanya. 

Salah satu anak, datang menghampiri saya. “Mbak, aku ingin titip pesan,” ucapnya seperti anak lain.  

“Ya silakan… Ini kertasnya, ditulis saja, ya,” jawab saya. 

“Tapi aku enggak bisa nulis, Mbak.”

“Oh, yaudah tak tuliskan saja bagaimana. Isi suratnya mau gimana?”

“Pak, aku kangen. 
Bapak kapan bisa jenguk aku? 
Aku sehat, bapak sama mas gimana?”

“Sudah? Ini mau dikirim ke mana?”

“Ke bapakku, Mbak. Tapi aku nggak punya nomornya.”

“Oalah, bapak punya facebook enggak?”

“Enggak punya, Mbak.”

“Bapak posisinya di mana sekarang?”

“Bapak di penjara, Mbak.”

Hening sejenak. “Oh ya sudah, kalau begitu dikirimkan ke masmu saja, ya. Kamu punya nomor masmu atau facebook-nya enggak?”

“Mas juga di penjara, Mbak. Tapi aku enggak tahu di mana, tolong cariin ya, Mbak.”

Berpura-pura memeriksa kembali pesan yang ia sampaikan tadi adalah cara saya menghindari binar harapan di matanya. Sebelum berlalu, ia kembali berpesan, “Mbak, aku titip pesan itu buat bapakku, ya.” 

Ruang aula LPKA mendadak sendu dan dingin. Hari itu rupanya tak berlalu seperti Sabtu biasanya.

Tak Sekadar Pesan Sederhana 

Bagaimana surat akan sampai pada penerimanya jika tak memiliki alamat? 

Jangan-jangan benar bahwa hidup adalah hukuman bagi yang hidup. Hukuman dalam bentuk-bentuk rasa bersalah yang menghantui tapi terlalu pengecut untuk mati. Perasaan bersalah karena tak dapat mengirim surat terasa menyakitkan. Pun terlalu sulit menemukan alamat yang abu-abu dan terlalu pedih menyampaikan kebenaran.

Barangkali pesan itu terbaca sebagai hal yang biasa dan tak bernilai apa-apa. Tetapi, saya percaya bagi mereka pesan itu amat bermakna. Banyak orang berpikir bahwa LPKA adalah tempat yang tidak buruk-buruk amat—terlalu berat mengatakan menyenangkan—karena masih banyak temannya dan masih bisa bersekolah. Meski begitu ramai, tapi tempat itu barangkali adalah keramaian dari bisik-bisik kesenduan, kerinduan, bahkan penyesalan. 

Barangkali surat itu adalah penyembuhan untuk mereka. Melabuhkan harapan dan berharap terbalas, tapi kalau pun tak terbalas dan pesan ditolak mereka sudah bersiap. Begitulah pesan yang sederhana bekerja. Tidak tajam menusuk tapi juga tidak dangkal untuk menyentuh perasaan.

Ingin ku menangis saat ku terpaku

Mengenangkan nasib diri yang tiada arti

Tommy J. Pisa dengan tembangnya Suratan seakan menjadi wakil atas ketidakberdayaan karena tak sanggup mengirim surat tanpa alamat tersebut. Hingga kini surat tersebut masih saya simpan dengan baik. Untuk menyudahi rasa bersalah, pesan surat itu saya kirim dengan doa dan harapan setulus hati agar sampai pada pemiliknya.

Aku dan Miras: Seteguk Nikmat vs. Sebaper Curhat

Gonjang ganjing terkait Perpres investasi miras (yang akhirnya dicabut oleh Presiden Jokowi) mengingatkan saya pada obrolan ngalor ngidul dengan anak-anak yang pernah saya dampingi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Banyak di antara mereka mengaku tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan terjadi karena efek miras. Mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir panjang dan merasa jauh lebih berani melakukan kekerasan saat tersulut amarah.

Percakapan dengan para remaja ini selalu menjadi highlight proses saya mendampingi mereka. Saat istirahat kegiatan, di sela-sela permainan, atau saat duduk di depan kelas, saya bisa mendengarkan cerita mereka berjam-jam. Tidak ada yang membuat lebih bahagia daripada mereka yang percaya pada saya sehingga bisa bercerita dengan santai. 

Banyak yang mereka bagi, tentang enaknya ciu yang dicampur Ale-Ale, mudahnya membeli miras oplosan, atau bahagianya mereka karena bisa melupakan masalah dengan sebotol bir murahan meski hanya untuk sementara.

Sebenarnya, para remaja ini sadar betul jika miras bisa  mengakibatkan kecanduan dan merusak kesehatan. Namun, risiko-risiko itu serasa minor dibandingkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan: menjadi bagian dari kelompok pertemanan, menghilangkan beban pikiran, hingga meningkatnya kepercayaan diri dan keberanian.

Seorang anak pernah bercerita bahwa miras membuatnya lebih ‘berani’ saat chatting dengan teman perempuannya. Jika tidak minum, dia tidak punya nyali untuk flirting atau sekedar membuat percakapan lebih mengasyikkan.

Anak lainnya berujar jika ayahnya sering berbagi miras dengannya. Dia bebas menenggak minuman beralkohol itu kapanpun dia mau. Banyak pula yang mengaku tak kuasa menolak ajakan kawannya untuk meneguk ciu dari botol bekas Aqua saat nongkrong di alun-alun kota.

Kelindan Miras dan Remaja

Masalah miras dan remaja ini memang njlimet dan tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan saja. Bukan hanya di Indonesia, banyak negara maju yang juga kesulitan menangani kompleksitas isu remaja, miras, dan dampaknya di masyarakat.  Meskipun demikian, ternyata ada loh negara yang berhasil dengan gemilang menurunkan angka konsumsi alkohol dan narkoba pada remaja!

Pada tahun 2018, World Economy Forum menurunkan sebuah artikel panjang tentang bagaimana Islandia berhasil menurunkan angka remaja yang mengonsumsi alkohol dan narkoba. Di negara Nordik, tren remaja mengonsumsi miras memang cenderung turun. Namun, Islandia mencetak statistik mengagumkan dalam mengubah perilaku remaja dalam mengonsumsi miras. 

Berangkat dari hasil riset tentang perilaku keseharian remaja, Pemerintah Islandia kemudian merumuskan rencana nasional yang dikenal dengan istilah Youth in Iceland. Pada intinya, pemerintah berinvestasi pada program penguatan orang tua dan sekolah, penyediaan fasilitas olah raga dan kesenian gratis, serta pemberlakuan larangan keluar malam. Voila! Angka konsumsi miras di remaja turun drastis dan partisipasi mereka dalam kegiatan olah raga dan seni naik pesat.

Apakah strategi ini bisa diterapkan di Indonesia?


Sebagai jawaban, ada kutipan sarkas di twitter yang mungkin cukup mewakili:

Warga Indonesia itu mau antre dan buang sampah pada tempatnya saja sudah bagus. 

Netizen Indonesia

Rasa-rasanya mimpi replikasi pendekatan di Islandia ke konteks Indonesia tampak hampir mustahil. Paling tidak, bukan dalam waktu dekat. Selain rasio jumlah remaja yang sangat jomplang, warga dan pemerintah Indonesia masih jauh dari kata siap. Seperti yang kita tahu bersama, semua pihak inginnya hasil bagus, tapi hanya sibuk menuntut, susah sekali untuk nurut dan runut. 

Mau ndakik-ndakik meniru Islandia? Mustahil wa mustahila.

Kenyataan ini membuat saya jengkel. Pikiran saya sering mentok. Ketika mendengarkan curhatan mereka, otomatis saya memikirkan alternatif apa yang bisa saya tawarkan agar mereka bisa beralih dari kebiasan mengonsumi miras. Sayangnya, semua opsi tampak tidak doable.

Mau menyarankan agar aktif di kegiatan seni dan olahraga, sarana dan prasarananya tidak tersedia. Menyodorkan ide untuk mengganti lingkaran pertemanan, tidak banyak yang pede dengan riwayat hukum mereka. Ingin  menyarankan supaya lebih aktif berkegiatan dengan keluarga, lah ini kan mereka banyak masalahnya malahan dengan keluarga. Nah.

Curhat Pelipur Lara

Sebagai kakak pendamping, jalan ninja yang bisa saya tempuh adalah meminjamkan telinga untuk mendengar curhat mereka. Sambil sesekali saya memberi tips agar mereka lebih percaya diri saat pedekate dengan gebetan mereka tentunya.

Saya teringat ketika suatu sore ada pesan pendek dari adik dampingan masuk di ponsel saya.

 “Mbak, aku mumet, pengen ngobrol. Ketemuan yo, gak penak lek lewat hp”

Esok harinya kami saling berbagi curcol panjang dan lama. Dia yang masih belum tahu potensi diri dan keinginannya apa, sementara saya yang masih lajang meskipun usia sudah cukup untuk berumah tangga. Dengan jujur dia mengaku bahwa dia takut jika tidak kuat dengan beban pikirannya, dia akan lari ke obat dan miras. Dari situ, dia memutuskan untuk curhat ke saya.

Maknyes. Saya baper. Berkata saya dalam hati, jika miras masih gampang ditemukan, setidaknya saya lebih gampang diajak bercanda dan bisa mentraktir makan. Dengan sepiring lontong tahu di warung dekat taman kota, saya senang percakapan hangat di Minggu pagi itu bisa menggantikan nikmatnya seteguk minuman setan dalam melipur laranya.

Artikel ini adalah bagian dari campaign “Semua bisa dibicarakan #tanpakekerasan”, hasil kerja sama antara Sahabat Kapas dan Plain Movement, kunjungi pula https://plainmovement.id/

Memahami Masa Remaja

20 tahun lalu saya pernah mengalami fase remaja. Apa yang saya alami dulu tak berbeda jauh dengan yang dialami remaja sekarang di beberapa bagiannya. Seperti perubahan hormonal dan relasai dengan sebaya. Namun tidak sedikit juga tantangan yang harus diemban generasi saya sekarang untuk berinteraksi dengan remaja masa kini. Kesadaran ini saya temui ketika membaca buku Bakat Bukan Takdir karya Bukik Setiawan dan Andrie Firdaus; Puber Stories karya Lia Herlina dan Psikologi Remaja karya Sarlito W. Sarwono.

Tiga buku tersebut hanyalah sedikit dari banyak buku yang membahas tentang kondisi anak-anak kita. Ribuan buku lainnya mudah kita temui dan baca di rumah. Buku-buku tersebut akan memilki makna jika kita mau membaca dan belajar untuk memperbaiki diri sendiri sebelum menjejali anak-anak kita dengan konsep pendidikan terbaik (versi kita, orang dewasa). Karena banyak pengetahuan baru yang wajib orang dewasa pelajari jika berharap generasi setelah kita menjadi lebih hebat.

Problematika Remaja

Saya tertarik belajar tentang remaja karena mayoritas klien Sahabat Kapas adalah remaja. Dari mereka, saya mengenal banyak ilmu baru tentang tumbuh kembang anak, tentang kontribusi masa kecil terhadap perilaku, dsb. Remaja klien Sahabat Kapas tak beda dengan remaja-remaja lain yang tinggal di rumah kita. Mereka mengalami sindrom puber, meminjam istilah Lia Herliana [1]. Merasa kulit tubuh tidak semulus harapan karena jerawat, resah karena perubahan suara, ketertarikan terhadap  lawan jenis, bahkan merasa sudah cukup dewasa dan mandiri sehingga tidak suka diatur-atur.

Remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik dimana masa alat kelamin manusia mengalami kematangan. Masa pematangan fisik berlangsung sekitar dua tahun sejak mulai haid untuk perempuan dan mimpi basah untuk laki-laki [2]. Masa inilah yang disebut pubertas atau dalam bahasa latin pubescere yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang pubic. WHO memberi batasan usia remaja yakni 10-24 tahun [3] dengan salah satu pertimbangan dari sisi kesehatan remaja. Sedangkan pengertian anak menururt Konvensi Hak Anak adalah mereka yang kurang dari 18 tahun. Terdapat irisan rentang umur diantara keduanya yang kemudian saya mengambil pemahaman bahwa umur anak remaja yakni 10 – 18 tahun.

Berinteraksi dengan remaja tak bisa dikatakan gampang, namun tak sulit juga. Terdapat lima aturan dari Adams dan Gullotta (1983) bagi kita ketika berhadapan dengan remaja dan problematikanya:

  1. Trustworthiness (kepercayaan), yaitu sikap saling percaya dengan remaja yang kita hadapi.
  2. Genuineness, yaitu maksud yang murni atau tidak pura-pura.
  3. Emphaty, yaitu kemampuan untuk ikut merasakan perasaan remaja.
  4. Honesty atau kejujuran.
  5. Pandangan remaja bahwa kita memang memenuhi keempat hal di atas. [4]

Pendekatan yang dilakukan dengan pondasi lima aturan di atas akan membawa kita pada proses interaksi yang positif. Anak remaja tidak akan merasa digurui dan orang dewasa pun akan lebih memahami beban mereka. Disinilah dibutuhkan komunikasi setara dimana orang dewasa lebih banyak memberi ruang anak remaja untuk menyampaikan ide, gagasaan, perasaan, atau pendapatnya. Kemudian bersama-sama mencari solusi yang lebih baik.

Menumbuhkan Bakat Anak Remaja

Kesadaran orang dewasa menganggap anak adalah lembaran kertas kosong yang perlu kita isi dengan tinta emas. Ternyata pemahaman tersebut membawa implikasi tidak sesederhana itu. Jika anak dianggap kertas kosong, maka orang dewasa merasa memiliki hak prerogatif menuliskan apa saja yang diyakininya paling tepat dan benar untuk anak. Ukuran tepat dan benar ini sangat subyektif dan dipengaruhi pengalaman kita selama ini. Hingga ujungnya kita melupakan potensi sejati dari diri anak itu sendiri. Tak jarang ketika anak kita memiliki nilai matematika ‘jelek’ kemudian reaksi kita marah-marah.

Buku Bakat Bukan Takdir sungguh menarik. Memberikan kesadaran baru bahwa anak adalah benih kehidupan yang mempunyai kemauan dan kemampuan belajar sehingga mereka perlu distimulasi dan diberi kesempatan. Anak sejatinya bersifat aktif karena ada daya dorong internal dirinya. Peran kita bukanlah menjejalkan pengetahuan tapi menstimulus agar potensi dirinya tumbuh dan berkembang menjadi bakat yang bermanfaat [5]. Analoginya telur yang akan menetas karena dierami dan diberi kehangatan oleh induk ayam. Dia menetas karena ada dorongan dari internal dan keluarlah anak ayam. Di sisi lain, jika telur menetas karena tekanan dari eksternal yang kuat, maka hasilnya adalah telur ayam terburai. Tidak ada anak ayam.

Menjadi pendidik yang menumbuhkan atau yang menanam menjadi pilihan bebas orang dewasa. Pendidik menumbuhkan menganggap anak sebagai pelajar sepanjang hayat. Anak dihargai kebutuhannya yang khas dan pandangannya. Sebaliknya pendidik yang menanam menempatkan anak sebagai obyek. Orang dewasa sebagai subyek yang tahu apa yang terbaik bagi anak. Sedangkan anak hanya menjalankan perintah, tidak perlu berpikir, apalagi berpendapat [6]. Pertanyaan sederhana untuk kita, apakah kita mendengarkan pendapat anak tentang pilihan sekolahnya atau pilihan lesnya.

Apa yang kita pelajari saat ini untuk menjadi pendidik yang menumbuhkan merupakan bagian dari investasi jangka panjang. Tujuan akan tercapai di kemudian hari, tidak dapat segera kita petik hasilnya. Anak remaja kita kelak akan menjadi orang dewasa yang bahagia karena mampu berkarya sesuai kecerdasan yang dimilikinya dan bermanfaat untuk masyarakat.

Problematikan pubertas yang dialami anak remaja saat ini tidak mengurungkan kesempatan untuk memperbaiki pola pendidikan kita. Terlebih bagi anak remaja yang berada di dalam Lapas/Rutan. Mereka membutuhkan pendekatan yang kreatif dan bersifat menumbuhkan. Tugas rumah kita bersama untuk merubah kekeliruan selama ini. Tidak ada kata terlambat karena menurut Albert Einstein “Seseorang yang tidak pernah berbuat kekeliruan, berarti tidak pernah mencoba hal baru”.

Ditulis oleh Dian Sasmita (Direktur Sahabat Kapas).

Foto diambil dari Facebook : Solidaritas Kapas

_______

[1] Lia Herliana, Puber Stories, Tiga Ananda, Solo, 2015, Hlm.9

[2] Sarlito W.Sarwono, Psikologi Remaja, Cetakan Kedelapanbelas, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, Hlm.9

[3] Ibid., Hlm.12

[4] Ibid., Hlm.81

[5] Bukik Setiawan dan Andrie Firdaus, Bakat Bukan Takdir, Buah Hati Imprint dan Lentera Hati, Tangerang Selatan, 2016, Hlm.30

[6] Ibid., Hlm.50