Komunikasi Terbuka: Kunci Pendampingan Anak di LPKA

Kita mengenal seorang Rudy Habibie; sang ahli fisika dan pesawat terbang. Kita juga mengenal Rudy Hadisuwarno yang merupakan salah satu penata rambut terkemuka di Indonesia. Pun dengan Rudy Choirudin yang kita kenal sebagai salah satu chef pria dengan popularitas tinggi. Salah satu anak di LPKA bisa jadi adalah Rudy yang ahli di bidangnya sendiri. Dari sini, kita bisa mengakui bahwa setiap orang memiliki potensinya masing-masing. Dengan begitu, kita juga harus mengakui bahwa setiap anak spesial, tanpa kecuali anak yang ada di LPKA. Hal ini disampaikan langsung oleh Reni Kusumowardhani, Ketua PP Asosiasi Psikolog Forensik ketika mengisi diskusi virtual tentang Pendekatan Psikososial dalam Upaya Rehabilitasi bagi Anak di LPKA bersama Sahabat Kapas

Dalam diskusi yang berlangsung pada Kamis (18/03) tersebut, Reni menyoroti fakta bahwa umur anak di LPKA berkisar 15-18 tahun, yang dalam sudut pandang psikologi termasuk usia remaja. Karakteristik remaja dan kehidupannya sedang dipenuhi oleh gegap gempita serta badai kehidupan. Anak mengalami petualangan dan menghadapi tantangan yang dapat memengaruhi kehidupannya. Pengaruh itu dapat berupa respons positif ataupun negatif. Respons negatif menjadi jalan yang mengantarkan mereka mengenal kenakalan remaja. Tidak sedikit kenakalan remaja yang mereka lakukan dapat membawanya ke penjara. 

Implementasi 10 Keterampilan Hidup dengan Menyenangkan

Dalam diskusi yang diikuti oleh petugas LPKA, pembimbing kemasyarakatan Bapas, dan pendamping dari Sahabat Kapas tersebut, Reni juga menggarisbawahi pentingnya anak di LPKA membiasakan diri untuk mengembangkan 10 keterampilan hidup yang dicanangkan WHO. Sebagai pendamping, petugas harus terbiasa melibatkan anak dalam membuat keputusan, melatih anak untuk memecahkan masalah, menggunakan cara pikir kritis, memiliki pola pikir kreatif, serta bagaimana berkomunikasi dengan efektif. Selain itu, anak juga perlu dilatih untuk membina hubungan yang baik dengan membiasakan sapa dan senyum, menyadari diri, berempati, mengendalikan emosi, serta mengatasi stres. Kesepuluh keterampilan ini tidak ada yang mana harus diprioritaskan. Semua keterampilan ini harus dikuasai oleh anak jika ingin kondisinya pulih secara utuh. 

Mengimplementasikan 10 keterampilan hidup bagi anak di LPKA harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Hal tersebut bisa dilakukan dalam bentuk proyek individual atau klasikal, serta dapat dilaksanakan dalam kegiatan tersendiri atau dimasukkan ke kegiatan lain. Sebagai contoh, pada kegiatan olahraga bersama, ajak anak menganalisis jika terjadi perselisihan di lapangan. Refleksikan pada anak tentang perselisihan atau pertengkaran fisik yang melibatkan mereka. Review bersama-sama dengan anak yang lain. Pembelajaran keterampilan hidup memang harusnya dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak perlu menunggu berlama-lama, karena setiap aktivitas sehari-hari bisa dijadikan media berlatih keterampilan hidup. 

Terbuka dengan Anak

Dalam sesi diskusi, Reni juga mengingatkan bahwa pendamping anak di LPKA haruslah berkomunikasi terbuka. Namun bukan ‘terbuka pada anak’, melainkan ‘terbuka dengan anak’. Komunikasi ini menempatkan anak di level yang sama dengan pendamping. Tidak memandang siapa lebih tinggi, tapi tetap saling menghormati. Akan tetapi, terbuka saja tidak cukup, pendamping juga harus fleksibel. Dengan kata lain, pendamping tidak ‘ikut-ikutan’ dengan anak, tapi luwes dalam berpikir. Pendamping juga harus menjadi orang yang dipercaya oleh anak menjaga rahasianya, mudah didekati secara emosional, menunjukkan penghargaan pada anak agar mereka merasa aman dan tumbuh harga dirinya, serta memahami anak dan sabar. 

Di akhir diskusi, Reni berpesan bahwa membimbing, mendampingi, dan mendidik anak di LPKA memang memerlukan kesabaran yang luar biasa. Sebagai pendamping, peserta diingatkan untuk melakukan self-care dan self-talk selama memberikan dukungan rehabilitasi pada anak. Agar dapat mencetak Rudy-Rudy lain yang berprestasi di bidangnya dengan keunikannya masing-masing.