Tantangan Dunia Pendidikan Anak Berkonflik Hukum

Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal, kesejahteraan pendidik kurang, perundungan banyak terjadi di sekolah, ijazah pun tak menjamin mencari pekerjaan semakin mudah. Seperti tidak ada habisnya membahas kemelut dunia pendidikan di Indonesia. Banyak sekali kekurangan, baik dari sistem hingga pelaku lapangan. Rasa-rasanya kita selalu dituntut untuk harus banyak bersabar, mengelus dada, dan berdoa.

Berbicara tentang pendidikan, Kak Bee, seorang spesialis media sosial domisili Solo, mengungkapkan bahwa dirinya pernah mengalami jebakan kelas menengah tanggung saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dengan posisi ayahnya yang seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) kabupaten, ia kesulitan untuk mendapatkan keringanan biaya kuliah. Padahal biaya pendidikan dan perintilannya sebagai anak perantauan tidaklah murah. Tak ayal ia harus bekerja kesana- kemari untuk bisa bertahan sambil terus mencoba untuk berprestasi.

Lain kak Bee, lain pula dengan teman- teman yang berada di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Bagi sebagian dari mereka, ada yang lebih mendesak daripada mengejar pendidikan.

“Bukannya saya tidak mau melanjutkan pendidikan. Saya hanya ingin bekerja dan membuat kedua orang tua saya bahagia.”

Begitulah jawaban yang seringkali keluar dari anak-anak saat ditanya mengenai rencana pendidikan mereka. Bagi anak-anak di LPKA, puncak sukses itu adalah tentang membuat orangtua bangga kepada mereka. Jalan cepat yang ada di pikiran mereka adalah dengan bekerja sehingga mampu berdiri di atas kaki sendiri, bukan melanjutkan sekolah dengan segala prosedur panjang dan biaya yang menyertai.

Apakah anak- anak ini tidak paham pentingnya pendidikan?

Tentu paham. Mereka paham betul bahwa pendidikan itu penting. Kita pun sama. Kita semua setuju bahwa pendidikan itu penting. Pendidikan menjadikan seseorang berpengetahuan, memberikan kesempatan untuk berjejaring, serta membuka kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup.Tujuan pendidikan seperti ini juga yang diharapkan dapat digapai oleh anak- anak yang mengikuti pendidikan di lembaga pembinaan.

Namun, sebuah pertanyaan menyeruak. Apakah pendidikan yang mereka dapatkan di LPKA masih relevan dan memberikan “keuntungan” yang dapat merubah kehidupan mereka?

Sebuah meta analisis yang dilakukan dua peneliti Amerika dalam American Journal of Criminal Justice menyimpulkan bahwa mengikuti pendidikan di dalam penjara mampu menurunkan angka residivisme. Setiap jenis pendidikan juga memberikan efek yang positif tergantung jenis dan level pendidikan yang ditempuh. Pendidikan vokasi memberikan timbal balik paling besar per satu dolar yang dikeluarkan, sedangkan pendidikan tinggi memberikan timbal balik terbesar secara dampak.

Meskipun studi ini menyasar narapidana dewasa, namun penelitian ini bisa menjadikan salah satu acuan dalam melihat bagaimana pendidikan mampu memberikan timbal balik positif kepada mereka yang tercerabut kemerdekaannya.

Pendidikan adalah hak setiap manusia termasuk untuk anak yang menjalani proses pidana. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan Permen KemenPPPA, pemerintah menjamin anak bisa mendapatkan pendidikan meskipun mereka sedang berada di lembaga pembinaan.

Di dalam LPKA, ada beberapa skema penyelenggaraan pendidikan, antara lain Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) kerjasama dengan Dinas Pendidikan, PKBM mandiri, dan juga sekolah filial. Selain itu lembaga pembinaan juga menyediakan pendidikan vokasi berupa latihan kerja untuk ketrampilan-ketrampilan yang banyak dibutuhkan dalam dunia kerja. Beberapa program dilaksanakan oleh lembaga profesional dengan sertifikasi, sebagian besar dari lembaga swasta. Hanya saja yang disayangkan adalah banyak program latihan kerja yang tidak sustainable (berkelanjutan), belum terukur dampak, dan terkendala dalam proses implementasinya sehingga luaran yang diharapkan belum tercapai.

Pendidikan formal dan nonformal di LPKA hendaknya dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kebutuhan anak. Namun tak bisa dipungkiri, banyak sekali kendala yang terjadi di lapangan. Di antaranya adalah adanya perbedaan kemampuan kognitif anak yang cukup signifikan satu sama lain, keterbatasan tenaga pengajar, minimnya fasilitas yang berkualitas, serta program pasca LPKA yang mampu melacak hasil dan impak dari program pendidikan di dalam LPKA.

Hingga kini, analisis data administratif pemasyarakatan menunjukkan hanya 49% anak yang berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan di dalam lembaga. Sumber data tersebut  belum dapat menunjukkan jenis pendidikan formal atau nonformal yang diikuti anak. Namun dengan segala kekurangan yang ada dalam pendidikan yang disediakan untuk anak LPKA, mari tetap mengapresiasi ikhtiar yang sudah dilakukan pemerintah serta petugas- petugas yang berdedikasi memberikan layanan untuk anak. Sambil tak lupa untuk kita selalu berbenah dan mengusahakan perbaikan,- dengan pendidikan, demi masa depan.

Aku dan Miras: Seteguk Nikmat vs. Sebaper Curhat

Gonjang ganjing terkait Perpres investasi miras (yang akhirnya dicabut oleh Presiden Jokowi) mengingatkan saya pada obrolan ngalor ngidul dengan anak-anak yang pernah saya dampingi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Banyak di antara mereka mengaku tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan terjadi karena efek miras. Mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir panjang dan merasa jauh lebih berani melakukan kekerasan saat tersulut amarah.

Percakapan dengan para remaja ini selalu menjadi highlight proses saya mendampingi mereka. Saat istirahat kegiatan, di sela-sela permainan, atau saat duduk di depan kelas, saya bisa mendengarkan cerita mereka berjam-jam. Tidak ada yang membuat lebih bahagia daripada mereka yang percaya pada saya sehingga bisa bercerita dengan santai. 

Banyak yang mereka bagi, tentang enaknya ciu yang dicampur Ale-Ale, mudahnya membeli miras oplosan, atau bahagianya mereka karena bisa melupakan masalah dengan sebotol bir murahan meski hanya untuk sementara.

Sebenarnya, para remaja ini sadar betul jika miras bisa  mengakibatkan kecanduan dan merusak kesehatan. Namun, risiko-risiko itu serasa minor dibandingkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan: menjadi bagian dari kelompok pertemanan, menghilangkan beban pikiran, hingga meningkatnya kepercayaan diri dan keberanian.

Seorang anak pernah bercerita bahwa miras membuatnya lebih ‘berani’ saat chatting dengan teman perempuannya. Jika tidak minum, dia tidak punya nyali untuk flirting atau sekedar membuat percakapan lebih mengasyikkan.

Anak lainnya berujar jika ayahnya sering berbagi miras dengannya. Dia bebas menenggak minuman beralkohol itu kapanpun dia mau. Banyak pula yang mengaku tak kuasa menolak ajakan kawannya untuk meneguk ciu dari botol bekas Aqua saat nongkrong di alun-alun kota.

Kelindan Miras dan Remaja

Masalah miras dan remaja ini memang njlimet dan tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan saja. Bukan hanya di Indonesia, banyak negara maju yang juga kesulitan menangani kompleksitas isu remaja, miras, dan dampaknya di masyarakat.  Meskipun demikian, ternyata ada loh negara yang berhasil dengan gemilang menurunkan angka konsumsi alkohol dan narkoba pada remaja!

Pada tahun 2018, World Economy Forum menurunkan sebuah artikel panjang tentang bagaimana Islandia berhasil menurunkan angka remaja yang mengonsumsi alkohol dan narkoba. Di negara Nordik, tren remaja mengonsumsi miras memang cenderung turun. Namun, Islandia mencetak statistik mengagumkan dalam mengubah perilaku remaja dalam mengonsumsi miras. 

Berangkat dari hasil riset tentang perilaku keseharian remaja, Pemerintah Islandia kemudian merumuskan rencana nasional yang dikenal dengan istilah Youth in Iceland. Pada intinya, pemerintah berinvestasi pada program penguatan orang tua dan sekolah, penyediaan fasilitas olah raga dan kesenian gratis, serta pemberlakuan larangan keluar malam. Voila! Angka konsumsi miras di remaja turun drastis dan partisipasi mereka dalam kegiatan olah raga dan seni naik pesat.

Apakah strategi ini bisa diterapkan di Indonesia?


Sebagai jawaban, ada kutipan sarkas di twitter yang mungkin cukup mewakili:

Warga Indonesia itu mau antre dan buang sampah pada tempatnya saja sudah bagus. 

Netizen Indonesia

Rasa-rasanya mimpi replikasi pendekatan di Islandia ke konteks Indonesia tampak hampir mustahil. Paling tidak, bukan dalam waktu dekat. Selain rasio jumlah remaja yang sangat jomplang, warga dan pemerintah Indonesia masih jauh dari kata siap. Seperti yang kita tahu bersama, semua pihak inginnya hasil bagus, tapi hanya sibuk menuntut, susah sekali untuk nurut dan runut. 

Mau ndakik-ndakik meniru Islandia? Mustahil wa mustahila.

Kenyataan ini membuat saya jengkel. Pikiran saya sering mentok. Ketika mendengarkan curhatan mereka, otomatis saya memikirkan alternatif apa yang bisa saya tawarkan agar mereka bisa beralih dari kebiasan mengonsumi miras. Sayangnya, semua opsi tampak tidak doable.

Mau menyarankan agar aktif di kegiatan seni dan olahraga, sarana dan prasarananya tidak tersedia. Menyodorkan ide untuk mengganti lingkaran pertemanan, tidak banyak yang pede dengan riwayat hukum mereka. Ingin  menyarankan supaya lebih aktif berkegiatan dengan keluarga, lah ini kan mereka banyak masalahnya malahan dengan keluarga. Nah.

Curhat Pelipur Lara

Sebagai kakak pendamping, jalan ninja yang bisa saya tempuh adalah meminjamkan telinga untuk mendengar curhat mereka. Sambil sesekali saya memberi tips agar mereka lebih percaya diri saat pedekate dengan gebetan mereka tentunya.

Saya teringat ketika suatu sore ada pesan pendek dari adik dampingan masuk di ponsel saya.

 “Mbak, aku mumet, pengen ngobrol. Ketemuan yo, gak penak lek lewat hp”

Esok harinya kami saling berbagi curcol panjang dan lama. Dia yang masih belum tahu potensi diri dan keinginannya apa, sementara saya yang masih lajang meskipun usia sudah cukup untuk berumah tangga. Dengan jujur dia mengaku bahwa dia takut jika tidak kuat dengan beban pikirannya, dia akan lari ke obat dan miras. Dari situ, dia memutuskan untuk curhat ke saya.

Maknyes. Saya baper. Berkata saya dalam hati, jika miras masih gampang ditemukan, setidaknya saya lebih gampang diajak bercanda dan bisa mentraktir makan. Dengan sepiring lontong tahu di warung dekat taman kota, saya senang percakapan hangat di Minggu pagi itu bisa menggantikan nikmatnya seteguk minuman setan dalam melipur laranya.

Artikel ini adalah bagian dari campaign “Semua bisa dibicarakan #tanpakekerasan”, hasil kerja sama antara Sahabat Kapas dan Plain Movement, kunjungi pula https://plainmovement.id/

Komunikasi Terbuka: Kunci Pendampingan Anak di LPKA

Kita mengenal seorang Rudy Habibie; sang ahli fisika dan pesawat terbang. Kita juga mengenal Rudy Hadisuwarno yang merupakan salah satu penata rambut terkemuka di Indonesia. Pun dengan Rudy Choirudin yang kita kenal sebagai salah satu chef pria dengan popularitas tinggi. Salah satu anak di LPKA bisa jadi adalah Rudy yang ahli di bidangnya sendiri. Dari sini, kita bisa mengakui bahwa setiap orang memiliki potensinya masing-masing. Dengan begitu, kita juga harus mengakui bahwa setiap anak spesial, tanpa kecuali anak yang ada di LPKA. Hal ini disampaikan langsung oleh Reni Kusumowardhani, Ketua PP Asosiasi Psikolog Forensik ketika mengisi diskusi virtual tentang Pendekatan Psikososial dalam Upaya Rehabilitasi bagi Anak di LPKA bersama Sahabat Kapas

Dalam diskusi yang berlangsung pada Kamis (18/03) tersebut, Reni menyoroti fakta bahwa umur anak di LPKA berkisar 15-18 tahun, yang dalam sudut pandang psikologi termasuk usia remaja. Karakteristik remaja dan kehidupannya sedang dipenuhi oleh gegap gempita serta badai kehidupan. Anak mengalami petualangan dan menghadapi tantangan yang dapat memengaruhi kehidupannya. Pengaruh itu dapat berupa respons positif ataupun negatif. Respons negatif menjadi jalan yang mengantarkan mereka mengenal kenakalan remaja. Tidak sedikit kenakalan remaja yang mereka lakukan dapat membawanya ke penjara. 

Implementasi 10 Keterampilan Hidup dengan Menyenangkan

Dalam diskusi yang diikuti oleh petugas LPKA, pembimbing kemasyarakatan Bapas, dan pendamping dari Sahabat Kapas tersebut, Reni juga menggarisbawahi pentingnya anak di LPKA membiasakan diri untuk mengembangkan 10 keterampilan hidup yang dicanangkan WHO. Sebagai pendamping, petugas harus terbiasa melibatkan anak dalam membuat keputusan, melatih anak untuk memecahkan masalah, menggunakan cara pikir kritis, memiliki pola pikir kreatif, serta bagaimana berkomunikasi dengan efektif. Selain itu, anak juga perlu dilatih untuk membina hubungan yang baik dengan membiasakan sapa dan senyum, menyadari diri, berempati, mengendalikan emosi, serta mengatasi stres. Kesepuluh keterampilan ini tidak ada yang mana harus diprioritaskan. Semua keterampilan ini harus dikuasai oleh anak jika ingin kondisinya pulih secara utuh. 

Mengimplementasikan 10 keterampilan hidup bagi anak di LPKA harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Hal tersebut bisa dilakukan dalam bentuk proyek individual atau klasikal, serta dapat dilaksanakan dalam kegiatan tersendiri atau dimasukkan ke kegiatan lain. Sebagai contoh, pada kegiatan olahraga bersama, ajak anak menganalisis jika terjadi perselisihan di lapangan. Refleksikan pada anak tentang perselisihan atau pertengkaran fisik yang melibatkan mereka. Review bersama-sama dengan anak yang lain. Pembelajaran keterampilan hidup memang harusnya dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak perlu menunggu berlama-lama, karena setiap aktivitas sehari-hari bisa dijadikan media berlatih keterampilan hidup. 

Terbuka dengan Anak

Dalam sesi diskusi, Reni juga mengingatkan bahwa pendamping anak di LPKA haruslah berkomunikasi terbuka. Namun bukan ‘terbuka pada anak’, melainkan ‘terbuka dengan anak’. Komunikasi ini menempatkan anak di level yang sama dengan pendamping. Tidak memandang siapa lebih tinggi, tapi tetap saling menghormati. Akan tetapi, terbuka saja tidak cukup, pendamping juga harus fleksibel. Dengan kata lain, pendamping tidak ‘ikut-ikutan’ dengan anak, tapi luwes dalam berpikir. Pendamping juga harus menjadi orang yang dipercaya oleh anak menjaga rahasianya, mudah didekati secara emosional, menunjukkan penghargaan pada anak agar mereka merasa aman dan tumbuh harga dirinya, serta memahami anak dan sabar. 

Di akhir diskusi, Reni berpesan bahwa membimbing, mendampingi, dan mendidik anak di LPKA memang memerlukan kesabaran yang luar biasa. Sebagai pendamping, peserta diingatkan untuk melakukan self-care dan self-talk selama memberikan dukungan rehabilitasi pada anak. Agar dapat mencetak Rudy-Rudy lain yang berprestasi di bidangnya dengan keunikannya masing-masing. 

Cegah Kekerasan Seksual dengan Konseling Kelompok Berbasis Gender

Kekerasan seksual menjadi salah satu isu hangat yang terus diperbincangkan. Isu kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak, terus-menerus menyedot perhatian berbagai pihak. Pasalnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 mencatat 1.234 anak laki-laki dan 1.064 anak perempuan terlibat kasus pornografi dan kekerasan seksual baik menjadi korban maupun pelaku.

Pelaku kekerasan seksual yang berstatus anak (rentang usia 14-18 tahun) atau dalam istilah psikologi disebut remaja, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Metode pembinaan remaja yang selama ini dilaksanakan di LPKA pun masih tergolong general, meliputi pemberian alternatif pendidikan sekolah formal maupun kejar paket, pelaksanaan kegiatan minat-bakat, dan klinik kesehatan.

Selama proses pembinaan, LPKA belum secara khusus memberikan pelayanan rehabilitatif bagi remaja pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut salah satunya dikarenakan belum tersedianya sarana prasana penunjang proses rehabilitasi, seperti klinik ramah anak, ruang khusus konseling, atau ekstrakulikuler sesuai minat bakat. Selain itu, minimnya proses rehabilitasi juga dikarenakan sumber daya manusia yang tersedia belum memadai, terutama terbatasnya kemampuan petugas LPKA dalam proses rehabilitasi anak pelaku kekerasan seksual.

Memutus Rantai Perilaku Kekerasan

Bekerja sama dengan Rutgers WPF Indonesia dan Ditjen PAS, Sahabat Kapas memberikan pendampingan psikologis bagi AKH dengan mengadakan program konseling kelompok berbasis gender. Kegiatan konseling kelompok tersebut mulai dilaksanakan pada awal Agustus 2019 lalu dengan mengambil dua lokasi, yakni LPKA Kutoarjo dan LPKA Yogyakarta.

Setiap minggunya, dua orang konselor dari Sahabat Kapas dan dua konselor dari LPKA melakukan konseling terhadap 10 remaja di masing-masing LPKA. Peserta konseling tersebut adalah para remaja yang mempunyai pengalaman kekerasan terutama kekerasan seksual, aktif dalam aktivitas seksual, dan bersedia sukarela mengikuti konseling rutin selama 3 bulan.

Konseling kelompok berbasis gender ini dilakukan dengan tujuan menurunkan pengulangan tindak kekerasan seksual ketika anak kembali ke masyarakat. Selain itu, konseling kelompok berbasis gender ini merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanganan untuk memutus rantai perilaku kekerasan.

Mengapa Konseling Kelompok?

Terdapat berbagai metode mencegah atau menghentikan perilaku kekerasan, di antaranya sosialisasi, nasihat, konseling baik secara individu maupun kelompok, psikoterapi. Bahkan, metode pencegahan dan penghentian kekersan seksual dapat dilakukan dengan pengobatan medis (psikiatri) bagi individu yang mempunyai indikasi gangguan medis.

Bagi remaja di dalam penjara dengan segala konflik di dalamnya, tindakan preventif yang tepat sasaran adalah konseling kelompok. Natawijaya dalam bukunya Pendekatan-Pendekatan Penyuluhan Kelompok, mendefinsikan konseling kelompok sebagai upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan. Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa interaksi dalam konseling kelompok dapat menjadi media terapeutik.

Dalam pelaksanaan konseling berpanduan pada modul konseling kelompok kekerasan berbasis gender yang dibuat oleh tim Sahabat Kapas, Rutgers WPF Indonesia, dan Ditjen PAS. Pendekatan yang digunakan sebagai dasar pembuatan modul tersebut adalah kesetaraan gender untuk mencegah perilaku kekerasan. Selain itu, materi dalam modul juga mengangkat tema Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) dan relasi sehat.

Modul Konseling Kelompok Kekerasan Berbasis Gender telah diaplikasikan dalam pilot project konseling kelompok di tahun 2018 kepada 10 remaja LPKA Kutoarjo dan 10 remaja LPKA Tangerang. Dalam pelaksanaannya, sebanyak 3 petugas LPKA Kutoarjo dan 3 petugas LPKA Tangerang dilibatkan sebagai konselor anak.

Mengubah Perspektif Penyelesaian Konflik

Adanya kegiatan konseling kelompok ini diakui memberikan manfaat dalam proses rehabilitasi anak. Petugas pun mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai cara berperilaku ramah remaja. Selain itu, petugas LPKA juga dapat melihat penyelesaian konflik beberapa remaja peserta konseling di dalam LPKA tidak lagi langsung menggunakan kekerasan melainkan lebih kepada komunikasi asertif.

Bagi remaja peserta konseling, kegiatan ini membuka wawasan dan pengetahuan baru terkait HKSR, gender, kekerasan, dan relasi sehat. Mereka juga mulai melihat bahwa tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan jalan kekerasan. Tentunya, program ini juga membantu mereka menumbuhkan asa baru untuk masa depan yang lebih baik.

Menabur Benih Cinta untuk Anak-Anak LPKA

Oleh Denis Kusuma

(Sekretaris dan Keuangan Sahabat Kapas)

 

Ketika Anda memberi, entah perhatian, waktu, tenaga, uang pada orang yang membutuhkan, Anda sedang menabur benih cinta, dan cinta tak pernah gagal.

(Rum Martani)

 

Kutipan cantik dari buku Karena Hidup Sungguh Berharga karya Rum Martani tersebut menjadi bekal aktivitas saya hari ini. Mengawali aktivitas pukul empat dini hari, setelah melaksanakan doa pagi dan bersiap-siap, saya bergegas menuju titik kumpul keberangkatan di Stasiun Balapan Solo. Pagi ini saya bersama relawan Sahabat Kapas lainnya akan melakukan perjalanan menuju Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo. Kami harus menempuh kurang lebih 2,5 jam perjalanan dengan kereta dan dilanjutkan mengendarai angkutan umum untuk sampai tujuan. Continue reading “Menabur Benih Cinta untuk Anak-Anak LPKA”

Menggaungkan Pentingnya Pendekatan Psikososial bagi AKH hingga Makassar

Oleh Evi Baiturohmah

(Manajer Program Rehabilitasi AKH Sahabat Kapas)

 

Direktur Sahabat Kapas, Dian Sasmita, dalam acara penguatan kapasitas tentang Buku Panduan Reintegrasi AKH bagi Penyedia Layanan yang diselenggarakan oleh Yayasan BaKti dan UNICEF Indonesia di Makassar. (Evi Baiturohmah)

 

Sahabat Kapas berkesempatan turut serta dalam dua kegiatan terkait isu anak berkonflik dengan hukum (AKH) pada akhir November 2017 di Makassar, Sulawesi Selatan. Mewakili Sahabat Kapas, Dian Sasmita selaku Direktur Sahabat Kapas menjadi salah satu narasumber dalam lokakarya “Pengembangan Layanan Perlindungan Khusus Anak (PKA) Terpadu di Lapas Kelas II Kabupaten Maros” yang diselenggarakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, di Makassar, Sahabat Kapas juga turut menghadiri peningkatan kapasitas tentang Buku Panduan Reintegrasi AKH bagi Penyedia Layanan yang diselenggarakan oleh Yayasan BaKti dan UNICEF Indonesia.

Tak Sekadar Pembekalan Keterampilan

Dalam kesempatan berbicara di depan pemegang kebijakan dan penyedia layanan anak di Makassar, Dian menjelaskan praktik menjanjikan Sahabat Kapas yang sudah dilaksanakan di empat lokasi di rutan/lapas/LPKA di Jawa Tengah. Selama tujuh tahun mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum, Dian melihat bahwa tren pendampingan anak yang ada selama ini lebih difokuskan pada pelatihan keterampilan bernilai ekonomis. Hal ini dilakukan dengan harapan anak memiliki bekal keterampilan yang akan membantu untuk proses reintegrasi di masyarakat dan dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas ekonomi anak. Akan tetapi, banyak ditemui kasus di mana anak tetap melakukan tindakan residivisme pasca bebas meskipun telah mendapat pembekalan keterampilan.

Dari pengalaman dan observasi lebih mendalam, Sahabat Kapas melihat kurangnya porsi pemulihan psikologis anak di dalam lapas/rutan/LPKA. Mayoritas anak yang melanggar hukum adalah mereka yang mempunyai latar belakang disfungsi keluarga. Banyak dari AKH hidup dan tumbuh di lingkungan yang keras dan minim kasih sayang sehingga mereka akhirnya membuat pilihan yang salah. Kondisi psikologis anak yang terluka inilah yang sebenarnya memicu tindakan anak menyimpang dari norma hukum dan masyarakat. Akan tetapi, dalam konteks rehabilitasi anak, praktik di lapangan menunjukkan bahwa hanya sedikit penyedia layanan yang kemudian memberi intervensi pada masalah luka batin (psikologis) anak. Padahal, anak-anak tersebut telah kehilangan banyak afeksi dari orang terdekat, sehingga anak asing dengan nilai-nilai positif dan norma yang berlaku di masyarakat.

Dengan mempertimbangkan situasi tersebut, sejak akhir tahun 2015, Sahabat Kapas menekankan pendampingan anak melalui pendekatan psikososial, yakni memberi porsi lebih pada pemulihan psikis dan peningkatan keterampilan psikososial anak. Selama dua tahun lebih berjalan, banyak hasil positif yang dapat dilihat pada anak dampingan, seperti perubahan positif perilaku anak dan kesiapan anak kembali ke masyarakat (resiliensi).

Menyentuh Hati dengan Hati

Berinteraksi langsung dengan para penyedia layanan perlindungan anak di Makassar, Dian juga menggarisbawahi pentingnya bekerja dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dengan mengesampingkan ego sektoral. Penyedia layanan mempunyai peran vital untuk membangun sistem perlindungan anak yang komprehensif. Dengan adanya sistem layanan yang kuat serta buku panduan sebagai pelengkap, diharapkan anak-anak ini bisa pulih dan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik. Namun demikian, di atas aspek birokrasi dan prosedural, ada yang lebih penting dan harus dijaga oleh para pendamping anak, yakni kesehatan hati. Dian menyampaikan bahwa kerja perlindungan anak bukan hanya kerja birokrasi melainkan kerja hati.

Untuk mengubah perilaku anak, kita harus menyentuh hati mereka, dan untuk menyentuh hati hanya bisa dilakukan oleh hati.

Selama di Makassar, Dian dan Evi Baiturohmah selaku Manajer Program Rehabilitasi AKH Sahabat Kapas juga berkesempatan bertemu dan berinteraksi langsung dengan anak-anak di Lapas Kelas II Maros sekaligus mengunjungi layanan yang tersedia di sana. Masalah yang ditemui di Lapas Maros tidak jauh berbeda dengan masalah lapas/rutan/LPKA di Jawa Tengah, yakni banyak anak yang jauh dari keluarga. Anak-anak yang terpaksa tinggal di Lapas Maros dan berasal dari daerah yang sangat jauh seringkali tidak mendapat kunjungan orang tua karena satu dan lain hal. Padahal, orang tua adalah faktor vital dalam upaya rehabilitasi anak.

Kondisi anak yang jauh dari orang tua ini menjadi tantangan bagi penyedia layanan baik dari pemerintah atau swasta untuk memberikan intervensi yang tepat. Pendekatan psikososial akan menjadi langkah yang efektif untuk memulihkan beban psikis mereka. Pendekatan psikososial dapat dilakukan dengan memberikan pendampingan melalui konseling rutin maupun aktivitas kelompok kreatif untuk meningkatkan resiliensi anak.

Perjalanan Hari Ini

Deru mesin lokomotif dan peluit penjaga stasiun mulai terdengar di Stasiun Kutoarjo. Panasnya terik matahari di kota yang baru sekali kukunjungi ini terasa menembus sampai ke dalam tulang. Pikiranku siang ini melayang entah kemana, hal yang aku alami pagi ini benar-benar di luar batas logikaku.

Terdengar kembali panggilan untuk penumpang tujuan Solo untuk segera bersiap di jalur satu. Aku bergegas mendekati kereta yang sudah butut namun ditunggu banyak orang ini. Keadaan kereta yang masih kosong membuatku leluasa untuk memilih tempat duduk di pojok dekat toilet.

Perlahan kereta mulai meninggalkan Stasiun Kutoarjo, kembali pikiranku melayang ke kejadian yang aku alami. Pengalaman pertama pendampingan di sebuah tempat bernama Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo. Kegiatan yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Sungguh tak pernah kubayangkan, hari ini aku masuk dan mendengar banyak cerita dari mereka.

Siapa mereka? Mereka adalah teman-teman baruku yang menjadikanku seakan gila hari ini. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di LPKA Kutoarjo. Mereka telah sukses membuatku kagum, sehingga kekaguman itu membuatku menjadi seperti orang gila yang terus memikirkan kegiatan tadi. Mereka tak segan bermain dengan penuh keceriaan tanpa ada batas denganku, orang baru yang pastilah asing bagi mereka.

Tak terasa perjalananku sudah memasuki kota kesenian Yogyakarta, terdengar pengumuman bahwa kereta telah sampai di Stasiun Tugu. Bertambahnya penumpang membuat lamunanku dipaksa buyar seketika.

Ketika kereta melewati perlintasan dan membunyikan klakson, tiba-tiba aku teringat pada salah satu anak di LPKA Kutoarjo yang menitipkan kertas kepadaku. Penasaran, kubuka satu lembar kertas yang dilipat dengan rumit. Seperti sengaja agar tidak sembarang orang bisa membukanya. Seperti disambar petir di siang hari, aku membaca beberapa larik puisi di sana.

“Maafkan Aku”

Tuhan, maafkan aku yang tak pernah menjalankan kewajibanku

Ayah dan Ibu, maafkan aku yang tak pernah mendengarkan perkataanmu

Semua ini terjadi karena kesalahanku

Maafkan aku.

Aku mengulang beberapa kali membaca puisi sederhana yang sangat mengena itu, hingga air mataku benar-benar menetes. Aku menangis karena aku menginggat benar ceritanya. Teman baruku ini sangat merindukan ayah ibunya. Ayahnya telah lama pergi. Hanya ada ibunya yang tinggal seorang diri di rumah. Di sebuah kota dengan jarak ratusan kilometer dari Kutoarjo.

Membaca puisi ini aku jadi merasakan apa yang dirasakannya di LPKA. Membaca puisi ini aku teringat banyaknya kesalahanku kepada orang tuaku dan Tuhan. Mungkin lewat teman baruku ini Tuhan memberikan banyak teguran untukku.

“Kereta jurusan Solo akan segera berangkat”

Wah, ternyata sudah hampir meninggalkan Klaten. Aku kembali tersadar. Tak berhenti merasa bersyukur atas pengalaman hari ini. Semoga ada lain waktu untukku bertemu mereka lagi. Anak-anak remaja yang tengah berjuang menghadapi konsekuensi perbuatannya.

Ditulis oleh Haidar Fikri (Relawan Sahabat Kapas).