Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal, kesejahteraan pendidik kurang, perundungan banyak terjadi di sekolah, ijazah pun tak menjamin mencari pekerjaan semakin mudah. Seperti tidak ada habisnya membahas kemelut dunia pendidikan di Indonesia. Banyak sekali kekurangan, baik dari sistem hingga pelaku lapangan. Rasa-rasanya kita selalu dituntut untuk harus banyak bersabar, mengelus dada, dan berdoa.
Berbicara tentang pendidikan, Kak Bee, seorang spesialis media sosial domisili Solo, mengungkapkan bahwa dirinya pernah mengalami jebakan kelas menengah tanggung saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dengan posisi ayahnya yang seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) kabupaten, ia kesulitan untuk mendapatkan keringanan biaya kuliah. Padahal biaya pendidikan dan perintilannya sebagai anak perantauan tidaklah murah. Tak ayal ia harus bekerja kesana- kemari untuk bisa bertahan sambil terus mencoba untuk berprestasi.
Lain kak Bee, lain pula dengan teman- teman yang berada di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Bagi sebagian dari mereka, ada yang lebih mendesak daripada mengejar pendidikan.
“Bukannya saya tidak mau melanjutkan pendidikan. Saya hanya ingin bekerja dan membuat kedua orang tua saya bahagia.”
Begitulah jawaban yang seringkali keluar dari anak-anak saat ditanya mengenai rencana pendidikan mereka. Bagi anak-anak di LPKA, puncak sukses itu adalah tentang membuat orangtua bangga kepada mereka. Jalan cepat yang ada di pikiran mereka adalah dengan bekerja sehingga mampu berdiri di atas kaki sendiri, bukan melanjutkan sekolah dengan segala prosedur panjang dan biaya yang menyertai.
Apakah anak- anak ini tidak paham pentingnya pendidikan?
Tentu paham. Mereka paham betul bahwa pendidikan itu penting. Kita pun sama. Kita semua setuju bahwa pendidikan itu penting. Pendidikan menjadikan seseorang berpengetahuan, memberikan kesempatan untuk berjejaring, serta membuka kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup.Tujuan pendidikan seperti ini juga yang diharapkan dapat digapai oleh anak- anak yang mengikuti pendidikan di lembaga pembinaan.
Namun, sebuah pertanyaan menyeruak. Apakah pendidikan yang mereka dapatkan di LPKA masih relevan dan memberikan “keuntungan” yang dapat merubah kehidupan mereka?
Sebuah meta analisis yang dilakukan dua peneliti Amerika dalam American Journal of Criminal Justice menyimpulkan bahwa mengikuti pendidikan di dalam penjara mampu menurunkan angka residivisme. Setiap jenis pendidikan juga memberikan efek yang positif tergantung jenis dan level pendidikan yang ditempuh. Pendidikan vokasi memberikan timbal balik paling besar per satu dolar yang dikeluarkan, sedangkan pendidikan tinggi memberikan timbal balik terbesar secara dampak.
Meskipun studi ini menyasar narapidana dewasa, namun penelitian ini bisa menjadikan salah satu acuan dalam melihat bagaimana pendidikan mampu memberikan timbal balik positif kepada mereka yang tercerabut kemerdekaannya.
Pendidikan adalah hak setiap manusia termasuk untuk anak yang menjalani proses pidana. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan Permen KemenPPPA, pemerintah menjamin anak bisa mendapatkan pendidikan meskipun mereka sedang berada di lembaga pembinaan.
Di dalam LPKA, ada beberapa skema penyelenggaraan pendidikan, antara lain Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) kerjasama dengan Dinas Pendidikan, PKBM mandiri, dan juga sekolah filial. Selain itu lembaga pembinaan juga menyediakan pendidikan vokasi berupa latihan kerja untuk ketrampilan-ketrampilan yang banyak dibutuhkan dalam dunia kerja. Beberapa program dilaksanakan oleh lembaga profesional dengan sertifikasi, sebagian besar dari lembaga swasta. Hanya saja yang disayangkan adalah banyak program latihan kerja yang tidak sustainable (berkelanjutan), belum terukur dampak, dan terkendala dalam proses implementasinya sehingga luaran yang diharapkan belum tercapai.
Pendidikan formal dan nonformal di LPKA hendaknya dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kebutuhan anak. Namun tak bisa dipungkiri, banyak sekali kendala yang terjadi di lapangan. Di antaranya adalah adanya perbedaan kemampuan kognitif anak yang cukup signifikan satu sama lain, keterbatasan tenaga pengajar, minimnya fasilitas yang berkualitas, serta program pasca LPKA yang mampu melacak hasil dan impak dari program pendidikan di dalam LPKA.
Hingga kini, analisis data administratif pemasyarakatan menunjukkan hanya 49% anak yang berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan di dalam lembaga. Sumber data tersebut belum dapat menunjukkan jenis pendidikan formal atau nonformal yang diikuti anak. Namun dengan segala kekurangan yang ada dalam pendidikan yang disediakan untuk anak LPKA, mari tetap mengapresiasi ikhtiar yang sudah dilakukan pemerintah serta petugas- petugas yang berdedikasi memberikan layanan untuk anak. Sambil tak lupa untuk kita selalu berbenah dan mengusahakan perbaikan,- dengan pendidikan, demi masa depan.