Mereka yang Mendefinisikan Bahagia Lewat Film

Rentang sepuluh tahun tidak sedikit pun memudarkan ingatan saya tentang sebuah film karya anak-anak di lembaga pembinaan. Film “Cabe, Harga Sebuah Kebebasan” membuat saya lebih sungguh memaknai kebahagiaan. Siapa pernah menontonnya?

Film ini diproduksi satu dekade yang lalu, tapi masih sangat berharga untuk dijadikan pengingat tentang perlunya menyederhanakan cara untuk menikmati hidup, lewat hal-hal yang tak harus datang dari sesuatu yang besar. Ada bentuk-bentuk kebahagiaan kecil yang terlihat sepele namun nyatanya menjadi sumber sukacita.

Lewat film “Cabe, Harga Sebuah Kebebasan”, anak-anak di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II B Klaten menyampaikan pesan sederhana tentang makna kebahagiaan melalui kehadiran sebuah cabe sebagai teman makan. Bagi mereka, berpeluh keringat menikmati pedasnya makanan dengan cabe adalah oase yang mampu menyenangkan hati dan membuat merasa merdeka. Tawa dan kebersamaan pun ikut hadir bersamanya.

Ya, makna kebahagiaan ini didefinisikan sendiri oleh mereka yang sedang berada di tengah keterbatasan, yakni anak-anak di lembaga pembinaan yang menemukan diri mereka, secara harfiah, berada di balik jeruji besi. Mereka yang terkurung di dalam tembok-tembok yang dikelilingi menara pengawas dan kawat berduri. Di sana, mereka harus tinggal selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di ruangan yang hampir terisolasi dan seringkali dianggap sebagai subjek yang pasif.

Film ini seolah berkata bahwa kebahagiaan tidak serumit apa yang kita pikirkan. Ia bentuknya sederhana dan beberapa sebabnya pun mudah ditemukan. Sejak hari itu, saya mendapati dua perkara; perihal definisi bahagia dan potret kehidupan anak-anak di dalam lembaga pembinaan dari sudut pandang berbeda.

Untuk kamu yang ingin tahu lebih jauh tentang film “Cabe, Harga Sebuah Kebebasan”, cerita di belakang lensa bisa dibaca di sini dan film utuhnya bisa ditonton di sini. Selamat menonton dan setelahnya ceritakan definisi bahagia versimu, ya!

-Aprilia Kusuma-

Belajar Jujur tentang Kondisi Diri Sendiri dari Buku “Esok, Matahari Akan Terbit Kembali, tapi Bagaimana dengan Malam Ini?”

Oleh Ambarwati Wijayaningsih relawan Sahabat Kapas

Seringkali kita lebih banyak menyapa orang lain yang kita temui. Entah orang-orang lain yang dekat, yang jauh, bahkan yang tidak kita kenal sekalipun. Kita sering lupa ada diri sendiri yang seharusnya perlu kita sapa, “Apa kabar diriku? Apakah aku baik-baik saja? Bagaimana perasaanku hari ini?”

Dalam hidup, kita menemui banyak kondisi dan situasi yang tidak selalu menyenangkan dan membahagiakan. Perasaan sedih, marah, kecewa, dan sakit hati lebih banyak kita simpan dan kita pendam sendiri seolah kita baik-baik saja. Padahal hal tersebut justru yang menjadikan diri kita bisa semakin terluka. Kita terkadang menyangkal tentang kondisi yang kita rasakan. Kita kurang jujur bahwa kita terluka dan bersikap seolah kita baik-baik saja. Kita merasa mampu, padahal sebenarnya tidak benar-benar mampu. Kita takut orang lain berpikir bahwa kita terlalu berlebihan menyikapi sesuatu, padahal segala emosi yang kita rasakan perlu kita validasi dan setiap orang menyikapi sesuatu dengan takaran yang berbeda-beda. 

Hal-hal tersebut sama halnya dirasakan oleh seorang penulis dari Korea, Yeon Jeong. Yeon Jeong menuliskan pengalaman hidupnya dalam sebuah buku dengan judul asli bahasa Korea, yaitu “Tomorrow’s Sun Will Rise, but What About Tonight?”. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Indah Islamiyah dan diterbitkan oleh Aria Media Media atau Shira Media Group pada tahun 2022 dengan judul “Esok, Matahari Akan Terbit Kembali, tapi Bagaimana dengan Malam Ini?”.

Buku ini menceritakan tentang pengalaman hidup yang dialami oleh penulis, baik pengalaman saat penulis masih kecil hingga dirinya berada di kondisi seperti sekarang. Penulis menulis dengan jujur tentang perasaan-perasaan yang dialaminya, tentang hidup yang berat dan harus dilaluinya. Penulis mempunyai pengalaman hidup yang membuatnya sempat merasa begitu terpuruk sampai akhirnya dirinya memberanikan diri untuk mendatangi psikiater untuk membantu masalah kesehatan mentalnya. Penulis mengalami gangguan panik atau kecemasan berlebih. Penulis menyadari bahwa menceritakan kondisi diri bukanlah suatu hal yang mudah dan begitu sulit. Tetapi penulis tetap memberanikan diri demi dirinya bisa merasa lebih baik dan sembuh. 

“Ketika hati terasa sakit, kita harus segera menanganinya. Jangan bersikap cuek dan menyerahkannya begitu saja pada waktu. Kita harus menyentuh hati yang terluka itu dengan lembut dan memberinya tepukan yang hangat. Seharusnya tidak ada malam ketika aku harus tertidur dengan luka yang bukan milikku.” halaman 39

Buku Yeon Jeong ditulis dengan penuh kejujuran dan ketulusan memberikan pesan bahwa kita tidak boleh mengabaikan luka, sekecil apapun luka itu kita rasakan. Kita harus jujur pada diri sendiri. Penting untuk kita mencari bantuan, entah kepada teman dekat; keluarga; atau orang-orang yang kita percaya untuk berbagi hal yang kita rasakan. Berbagi bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Bahkan penulis memberikan pesan untuk mencari bantuan profesional kepada psikolog maupun psikiater agar dapat membantu masalah-masalah yang kita hadapi ketika diri kita memang sedang tidak baik-baik saja. Kita diminta untuk jujur, terbuka, dan tidak menyembunyikan tentang kondisi diri kita.

Aku harap kalian tidak menganggap bahwa menemui psikiater adalah hal yang aneh. Aku berharap bahwa orang yang cukup sakit untuk membutuhkan konseling tidak akan terluka lagi. Sebab, pada kenyataannya, ada orang yang tidak bisa memberi tahu orang-orang di sekitarnya meski dia sendiri menyadari bahwa dirinya sangat membutuhkan konseling. Dia hanya bisa mencari tahu informasi dari internet meskipun setiap napas yang diembuskannya terasa begitu menyakitkan.” halaman 64-65

Ketika membaca buku ini, rasanya kita tidak hanya ikut merasakan kondisi yang dirasakan penulis tetapi juga pelan-pelan menyadari kondisi diri kita dan menyelam kembali tentang pengalaman yang pernah kita lalui dalam hidup kita; apakah kita benar-benar baik-baik saja selama ini? Butuh keberanian yang jujur kepada diri sendiri bahwa kita terluka, kemudian memberanikan diri untuk berbenah demi kesehatan mental kita. Membaca buku ini mungkin akan membuat kita menangis, tetapi rasanya begitu melegakan. Meskipun demikian, buku ini disarankan dibaca oleh teman-teman yang berusia 15 tahun ke atas seperti yang terkutip pada sampul belakang buku ya.

Perlu kita ingat bahwa kesehatan yang perlu kita jaga tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Keduanya sangat berarti bagi langkah kita dalam menjalani kehidupan. Jangan sungkan dan takut untuk meminta bantuan jika kita benar-benar membutuhkan.

Sisi Lain Peradilan Pidana dari Serial Juvenile Justice

Anak remaja yang dulu pernah melakukan kriminalitas, mereka punya kesempatan sama untuk meraih masa depan cerah seperti yang mereka ingini. Pun sama halnya dengan anak-anak dampingan Sahabat Kapas di LPKA. Mereka bukan individu tanpa masa depan, tapi calon bintang bersinar yang tak kalah terang dengan anak lainnya. Sama halnya dengan Hakim Cha dalam Serial drama korea Juvenile Justice. Dalam episode kasus bocornya lembar jawaban Sekolah Moon Kwang yang melibatkan putra hakim Kang, hingga hakim Kang harus mundur dari jabatannya sebagai hakim. Scene dimana hakim Kang keluar dari Gedung Pengadilan diantar oleh hakim Cha. Dibumbui dengan ingatan hakim Cha sewaktu remaja tentang masa lalunya yang pernah melakukan percobaan pembunuhan kepada ayahnya hingga membuatnya menjadi salah satu penghuni LPKA. Selama proses rehabilitasinya, ia dibantu oleh seorang hakim sebagai pendampingnya, yang tak lain adalah hakim Kang. Hakim Kang lah yang menginspirasinya hingga ia mampu menjadi hakim meski dulu ia adalah remaja alumni LPKA. 

Serial drama korea Juvenile Justice perdana tayang pada 25 Februari 2022 menjadi trending di Netflix. Drakor yang mengangkat cerita tentang bagaimana hakim anak menyelesaikan kasus kenakalan remaja di Korea Selatan ini, memiliki sisi menarik tersendiri. Serial sebanyak 10 episode ini, menyajikan beberapa kasus yang dapat menguras energi dan perasaan penonton. Sosok hakim Shim yang menjadi tokoh utama, digambarkan sebagai hakim sinis yang terobsesi memberikan hukuman berat dan mengusut kasus kenakalan remaja hingga tuntas ke akar-akarnya. Apalagi dengan kalimat yang ia lontarkan bahwa ia membenci kriminal anak, menjadi daya tarik bagi drakor ini. Ternyata sikap hakim shim yang seperti itu bukan tanpa alasan. Hal itu dikarenakan anaknya yang masih berusia 5 tahun meninggal oleh kealpaan dari kenakalan 2 anak lainnya. Dari situlah, hakim Shim selalu memandang anak-anak kriminal harus mendapat ganjaran setimpal dari perbuatannya. Karena penderitaan korban akibat kenakalannya amatlah berat. Jika kita lihat dari perspektif anak, remaja yang melakukan kenakalan merupakan korban juga. Bisa jadi korban dari pola asuh orang tuanya yang salah, atau bisa juga tidak mendapat kasih sayang dan perhatian yang cukup. Jika kita lihat dari anak-anak yang menjadi pelaku kriminal di film ini, semuanya memiliki latar belakang keluarga yang tidak mendukung tumbuh kembang anak dengan baik. 

Hal menarik lainnya bagi penonton serial ini, adalah gaya hakim Shim dalam usut kasus. Saat menangani kasus, ia sangat all out menggali bukti-buktinya. Bahkan sampai turun tangan sendiri dan terjun ke lapangan untuk membuktikan kebenaran kasus, agar pelaku sebenarnya dapat tertangkap, dihakimi dan diberi hukuman setimpal. Mungkin hal ini hanya bisa kita lihat di film saja. Jika di Indonesia, tidak ada hakim yang turun sendiri ke jalan untuk mencari barang bukti kasus. Karena itu adalah wewenang dan tugas penyidik yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Satu lagi yang mencuri perhatian penonton adalah cerita tentang Ibu pemilik Lembaga Kesejahteraan Anak Pureum bernama Ibu O dan kedua anak perempuannya. Menempatkan anak yang berkonflik dengan hukum ke Lembaga kesejahteraan sosial dinilai sebagai jalur alternatif yang lebih baik, karena menempatkan anak ke penjara merupakan ultimum remedium atau pilihan terakhir dan sebaiknya dihindari. Karena anak yang berkonflik dengan hukum semuanya memiliki latar belakang permasalahan dengan keluarga dan orang tuanya. Di Lembaga kesejahteraan, anak masih bisa hidup dan tumbuh di dalam keluarga dan mendapat kasih sayang. Berbeda jika mereka ditempatkan di Lembaga pembinaan khusus anak (LPKA). Sayangnya di Indonesia, jumlah Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) masih sangat sedikit dan tidak tersebar rata. Dengan adanya Lembaga ini dapat mendukung pemulihan kondisi anak. Anak mampu mengembangkan sikap percaya diri dan penerimaan diri, serta resilien terhadap masalah yang ia hadapi jika secara kejiwaan anak sudah terbangun kuat oleh keluarga yang memberi kasih dan membimbingnya. 

Serial ini cukup menarik untuk direkomendasikan bagi penonton yang menggemari cerita drama kriminal. Namun juga menarik bagi pemerhati isu anak yang berhadapan dengan hukum. Banyak pelajaran dan pesan-pesan tersirat maupun tersurat yang dapat ditangkap selama melihat serial ini. Mulai dari pengasuhan anak, hubungan antar teman, kebijaksanaan aparat penegak hukum. Serial ini dapat mengubah perspektif kita. Bahwa anak yang rehabilitasinya tidak tuntas hingga benar-benar pulih, maka mereka akan berpotensi melakukan pengulangan perbuatan melanggar hukum. picture from https://twitter.com/30secondbloom/status/1503735234332082176

Dunia Rahasia Milik Arrietty: Merawat Imajinasi Anak

Ada banyak cara untuk melepaskan emosi negatif di tengah dunia yang terasa makin penat dari hari ke hari. Mulai dari berkebun, membaca buku, hingga menonton film, bisa menjadi aktivitas untuk melepaskan penat yang sesekali menghampiri. Yang terakhir disebut coba saya lakukan beberapa waktu lalu: menikmati film animasi garapan Studio Ghibli. 

The Secret World of Arrietty lahir dari dapur Studio Ghibli yang diadaptasi dari novel The Borrowers karya Mary Norton. Seorang teman merekomendasikan film ini kepada saya dengan jaminan visual yang menyegarkan dan cerita yang menyenangkan. Dari situlah, saya tertarik untuk membuktikannya. 

Gambaran Persahabatan Tulus 

Film The Secret World of Arrietty disutradarai oleh Hiromasama Yonebayashi dan diproduksi oleh Toshio Suzuki. Lebih dari 11 tahun berlalu setelah film ini pertama kali diluncurkan, tepatnya pada 17 Juli 2010. The Secret World of Arrietty sebenarnya memiliki premis yang sederhana, yaitu tentang persahabatan tulus antara Arrietty dan Sho yang memiliki lingkungan berbeda. Yup, Arriety adalah peminjam (borrower) yang tinggal bersama ayah dan ibunya di bawah lantai rumah yang ditinggali oleh Sho. Sementara itu, Sho adalah remaja lelaki yang sedang menghabiskan waktu sejenak di rumah bibinya tersebut. 

Premis yang sederhana tidak membuat film ini terasa membosankan. Justru, kesederhanaan tersebut membuat film ini bisa dinikmati oleh semua kalangan, termasuk anak-anak.  Kisah persahabatan antara Arrietty dan Sho menggambarkan dengan indah rasa saling percaya dan kepedulian satu sama lain dalam memperjuangkan hidup mereka. Karakter dalam film ini juga beragam dan sangat jelas, sehingga anak mudah sekali untuk memahami peran setiap karakternya.

Visual yang Memanjakan Mata

Kabarnya, film berdurasi 95 menit ini menggunakan teknologi nanoscience. Hal ini dapat terlihat pada beberapa adegan di dalam film. Permainan warna yang lembut dan pas, membuat visual penonton seperti dimanjakan. Pemilihan musik latar pada Arrietty ini juga beragam dan sangat mendukung adegan, jenis musik yang dipilih pun dapat membuat penontonnya seperti merasakan kedamaian.

Tidak hanya rasa bahagia dan polos yang ditawarkan, film ini juga memberikan warna tegang, sedih, dan haru. Emosi yang dimunculkan bisa dilihat dalam beberapa adegan dalam film itu sendiri. Lalu apakah yang membuat imajinasi anak bisa berkembang? 

Dalam film ini digambarkan dua manusia yang memiliki ukuran tubuh yang berbeda, mereka berada dalam satu lingkungan namun memiliki cara adaptasi yang berbeda. Arrietty memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih kecil dibanding Sho. Hidup peminjam ini biasanya berada di bawah rumah yang dipinjam, barang yang dipakai pun juga merupakan sebagian kecil atau potongan kecil milik yang dipinjam. Ini yang menjadi menarik, karena fungsi benda di dunia Arrietty dan dunia Sho sangat berbeda, meskipun dalam satu benda yang sama. Hal ini tentu saja dapat mendorong daya imajinasi anak saat menontonnya.

Penasaran, kan? Selamat menonton film ini bersama keluarga di rumah!

Cara Ajaib Ajak Anak Berimajinasi Positif

Identitas Buku

Judul Buku                  : Keajaiban Mendongeng
Penulis Buku               : Heru Kurniawan
Tahun Terbit                : 2013
Penerbit                       : Bhuana Ilmu Populer
Tebal Buku                  : XVII + 144 halaman

Banyak dongeng yang kita dengarkan semasa kecil, terpatri rapi dalam ingatan hingga kita dewasa. Inilah cara ajaib dongeng untuk menyihir kita semua….
    Kita mungkin sering berpikir bahwa dongeng hanya diperuntukkan bagi anak-anak. Nyatanya, setiap orang sejatinya adalah homo fabulans atau makhluk penyuka cerita. Manusia dilahirkan, dibesarkan, dan tumbuh dalam lautan beragam cerita. Kita pasti akan merasa senang dan terhibur dengan berbagai peristiwa imajinatif, seperti yang ada dalam dongeng. Tidak hanya mendengarkan, melalui dongeng kita dapat berimajinasi dan membangun dunia yang diceritakan dalam alam pikiran kita sendiri. Kita akan terdorong untuk mengolah dan menginterpretasikan dunia itu, kemudian menyimpannya dengan rapi dalam benak. Buku Keajaiban Mendongeng karya Heru Kurniawan dibuka dengan cukup apik mengenai potensi yang dimiliki oleh seseorang pada masa kanak-kanak (antara usia 2-13 tahun). Potensi yang dimiliki tersebut akan membawa kita pada pemahaman berapa pentingnya masa kanak-kanak bagi kehidupan seseorang. Hal ini agar kita dapat mempersiapkan hal-hal yang bisa dilakukan guna meningkatkan potensi tersebut. Salah satu cara untuk meningkatkan potensi seorang anak menurut Heru adalah dengan mendongeng. Menurutnya, dongeng memiliki kekuatan menakjubkan untuk menanamkan nilai-nilai moral sebagai penguatan potensi diri seseorang.

Mendongeng: Memperkuat Moral Anak

Dongeng dikatakan memiliki kaitan erat dengan penanaman moral. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, sebaiknya kita memilih dongeng yang seusai dengan perkembangan moral anak. Hal ini agar anak dapat memahami pesan moral dengan lebih mudah dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Metode mendongeng dapat dijadikan salah satu kegiatan pendampingan Sahabat Kapas untuk anak-anak yang berada di lapas. Dengan mendongeng, para fasilitator dapat membangun kedekatan dengan anak-anak di lapas. Selain sebagai sarana hiburan, mendongeng juga dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan berbagai pesan moral kepada anak. Anak-anak yang berada di lapas biasanya datang dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis. Bahkan, banyak di antara mereka yang tidak mengenal kasih sayang orang tua. Rasa kosong akan ketidakhadiran tersebut dapat sedikit demi sedikit diobati dengan cerita dalam dongeng. Selain itu, dengan mendongeng, anak-anak juga bisa diajak untuk berimajinasi secara positif. Dalam Keajaiban Mendongeng, kita akan disuguhi berbagai jenis dongeng beserta penjelasan mengenai usia peruntukannya. Selain memperhatikan tingkatan usia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menyajikan dongeng, khususnya untuk anak-anak. Menariknya, penjelasan-penjelasan tersebut disajikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Selain itu, di setiap penjelasan terselip beberapa penggal kisah dongeng, sehingga dapat kita gunakan untuk berlatih mendongeng dengan menarik. Selamat membaca dan mari mendongeng!

Betapa Anehnya Dunia Orang Dewasa

Judul Film            : The Little Prince  Musik            : Hans Zimmer
Genre                   : Animation, Fantasy Produksi        : On Entertaiment, Onyx Films, Orange Studio
Sutradara            : Mark Osborne MPAA             : BO (Bimbingan Orang tua)
Skenario              : Irena Brignull, Bob Persichetti Durasi             : 106 Menit

 

Film The Little Prince merupakan adaptasi dari novela Le Petit Prince karya seorang pilot asal Perancis, Antoine de Saint-Exupéry. Exupéry menulis dan mengilustrasikan manuskrip The Little Prince selama musim panas dan musim gugur tahun 1942 dalam pengasingannya di Amerika. Dalam membuat karakter Little Prince, Exupéry terinspirasi dari kisahnya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Hasil karyanya tersebut telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 265 bahasa di seluruh dunia dan terpilih menjadi buku terbaik abad ke-20 di Perancis.

Adaptasi The Little Prince garapan Mark Osborne memiliki sedikit plot berbeda dengan apa yang ada di buku. Namun, perbedaan tersebut tidak meninggalkan garis besar cerita Exupéry. Bahkan, ilustrasi dan pengisahannya dikemas dengan baik dalam film ini.

Film ini diawali oleh narator, pilot bernama The Aviator, yang menceritakan kisah masa kecilnya. Kala itu, ia tengah menggambar seekor ular boa yang memakan seekor gajah. Saat menunjukkan hasil karyanya itu kepada orang dewasa, ia bertanya apakah mereka takut dengan gambar ular yang dia buat. Namun, jawaban yang diterimanya membuatnya kecewa. Para orang dewasa yang melihat gambar tersebut malah tertawa dan menganggap bahwa gambar yang ia buat adalah sebuah topi.

The Aviator tak menyerah begitu saja. Ia membuat gambar lain yang memperlihatkan seekor gajah di dalam perut ular secara lebih jelas. Setelah ditunjukkan ke orang dewasa, mereka malah menyuruhnya untuk berhenti menggambar dan fokus belajar ilmu lain yang dianggap lebih baik untuk masa depannya. Pada satu titik tertentu, Aviator berhenti untuk menggambar dan menaruh perhatiannya ke hal lain. Ia pun mulai memikirkan dan menaruh minatnya pada pesawat terbang. Bagian pembuka ini secara jelas berusaha menyampaikan topik penting dalam keseluruhan cerita, yaitu betapa tidak dapat dimengertinya orang dewasa.

“Apa yang paling penting bukan apa yang terlihat oleh mata, tapi apa yang dapat dirasakan oleh hati.”

Dibuka dengan plot yang hampir sama dengan cerita di novela, kisah Little Prince mulai sedikit berbeda ketika pada bagian berikutnya muncul seorang gadis kecil yang tengah disibukkan dengan persiapan ujian masuk sebuah sekolah bergengsi, Werth Academy. Gadis kecil itu memiliki kehidupan yang serba disiplin dan sangat terencana. Ibu gadis kecil itu bahkan membuat jadwal hal-hal apa saja yang harus dilakukan gadis kecil setiap harinya. Dalam film ini, kisah sang gadis kecil merepresentasikan kehidupan masyarakat sekarang, di mana orang tua merasa memiliki hak penuh untuk mengatur masa depan anak mereka. Akibatnya, anak tidak diberi ruang atau kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri. Bahkan, akibat orang tua yang terlalu mengatur kehidupan anak, mereka tak bebas menikmati masa kanak–kanaknya untuk bermain.

Kehidupan teratur gadis kecil itu perlahan-lahan berubah. Ia bertemu dengan tetangga sebelahnya yang ternyata adalah seorang kakek tua yang tidak lain adalah sang pilot. Awalnya, gadis kecil itu tidak menyukai sang kakek tua yang dianggapnya sangat aneh. Lambat laun, gadis kecil dan sang kakek tua pun berteman. Kakek tua pun menceritakan kisah menakjubkan tentang pangeran cilik (Little Prince) kepada gadis kecil. Ia mendongengkan kisah pertemuan sang pilot dan pangeran cilik, dari mana mereka berasal, hingga kisah perjalanan pangeran cilik. Dalam perjalanannya, pangeran cilik bertemu dengan seorang raja “penguasa” alam semesta, seorang gila hormat yang senang apabila dipuji, serta seorang pebisnis yang selalu sibuk menghitung bintang. Masing-masing pertemuan tersebut menggambarkan absurditas orang dewasa yang umum kita jumpai sehari-hari, mulai dari sindrom kekuasaan dan kepemilikan. Lagi-lagi, kita akan disuguhi gambaran betapa anehnya dunia orang dewasa.

Sang sutradara, Mark Osborne, bersama penulis naskah,  Irena Brignull dan Bob Persichetti,  memang tidak mengadaptasi persis kisah Little Prince seperti yang tertera di novela karya Exupéry. Namun, mereka jelas menyisipkan pesan penting dengan menambahkan sudut pandang kekinian dengan eksekusi yang baik tanpa melupakan kisah aslinya. Kelebihan lain dalam film ini adalah penyampaian pesan yang mendalam untuk terus berusaha dalam meraih mimpi yang kita inginkan. Selain itu, film ini juga mengajak kita untuk melihat sesuatu sebagaimana seorang anak kecil melihat dunia dengan polos, indah, dan apa adanya. Karena dengan begitulah kita justru akan jadi dekat dengan kedewasaan yang sesungguhnya.

 

Ditulis oleh Ajeng Jati Kusuma

(Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta/Relawan Magang Kapas)

Lawatan Panjang ke Dunia di Balik Dinding

Setiap anak dengan kondisi spektrum autisme adalah unik dan cara autisme berdampak pada diri mereka, keluarga, dan lingkungan sekitarnya juga sangat unik. Hingga saat ini, belum ada definisi yang pasti mengenai autisme atau mengapa autisme bisa terjadi pada seorang anak. Hal ini yang membuat kurangnya pemahaman tentang apa arti sebenarnya hidup dengan autisme, tidak hanya bagi mereka yang mengidap autisme, tetapi juga bagi mereka yang merawat dan tinggal bersama dengan anak autisme.

Dikutip dari CNN Indonesia, Badan Dunia untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) pada 2011 memperkirakan ada 35 juta orang dengan autisme di dunia. Sementara itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 memaparkan bahwa 1 dari 160 anak di dunia hidup dengan autisme. Di Indonesia, meskipun belum ada penelitian resmi, Kementerian Kesehatan menduga ada sekitar 112 ribu anak autis dengan rentang usia 5-19 tahun. Jumlah tersebut diperkirakan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sayangnya, hingga saat ini anak dengan autisme masih mendapatkan stigma dan diskriminasi, termasuk dalam layanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam komunitas sekitarnya.

Adalah Howard Buten, seorang penulis dan psikolog klinis Amerika Serikat yang mencoba menawarkan perspektif unik terhadap anak-anak dengan autisme dan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Buten yang juga merupakan pendiri institusi perawatan bagi orang-orang dengan autisme di Paris, Adam Shelton Centre, butuh waktu hampir 30 tahun untuk menuliskan buku yang ia beri judul, Through the Glass Wall: Journeys into the Closed-Off.

Buten kecil selalu berkeinginan menjadi dokter. Keinginannya tersebut mendorong Buten sering menghabiskan liburan musim panasnya dengan menjadi relawan. Pada usia 14 tahun, ia menjadi relawan di laboratorium patologi sebuah rumah sakit tempat kenaIan ayahnya bekerja. Di sana, ia belajar membuat katalog sampel-sampel parafin, membawa tabung-tabung percobaan, serta belajar menggunakan mikroskop. Ini membuat keinginannya menjadi seorang dokter semakin menggebu.

Selain di rumah sakit, Buten juga pernah menghabiskan liburan musim panasnya dengan bekerja sebagai relawan di berbagai perkemahan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Ia juga pernah bekerja dengan anak-anak di daerah kumuh di pusat kota dan anak-anak psikotik dari keluarga yang kurang mampu. Namun, persinggungan pertama dan alasan terbesar Buten menulis buku ini baru terjadi di tahun 1974, tepat pertama kalinya ia bertemu dengan Adam S., seorang anak yang menuntunnya memasuki dunia di balik dinding autisme.

Pemikiran bahwa anak-anak autisme dikelilingi sebuah dinding kaca (tembus pandang) diperoleh Buten dari psikiater Leo Kanner, yang menamai kondisi ini pada 1943. Kanner berpendapat orang dengan autisme memiliki “kesan kesendirian” yang membuat mereka berperilaku seakan-akan mereka benar-benar sendirian di dalam sebuah ruang, meskipun sebenarnya mereka tidak sendiri. Keberadaan dinding tak kasat mata inilah yang membedakan autisme dengan cacat dan patologi lain. Dengan berbagai cara, Buten mencoba untuk masuk dan melangkah lebih jauh bersama anak-anak autistik untuk memahami dan melihat dunia mereka lebih dekat. Ia mulai menciptakan metode-metode yang terkadang berhasil (dan seringkali gagal) ia gunakan pada anak-anak bimbingannya. Bahkan, di akhir buku Buten mengakui bahwa tidak ada penyembuhan atau penjelasan konkret bagaimana kita harus memperlakukan anak-anak dengan autisme.

Dengan berbagai anekdot yang diambil dari perjalanan Buten selama mendampingi anak autis di berbagai lembaga, buku ini menekankan pada terciptanya empati antara terapis dan anak-anak. Buten mencoba untuk merasakan apa yang mereka rasakan, melakukan apa yang mereka lakukan, dan mencoba untuk menerka apa yang mereka pikirkan. Menurut Buten, dengan meniru perilaku mereka, kita dapat membuat sebuah interaksi, hingga pada akhirnya mereka dapat merasakan keberadaan kita.

Selain menawarkan beberapa metode untuk menghadapi anak autis, Buten juga memperkaya buku ini dengan berbagai referensi medis dan teoritis mengenai autisme. Dengan membaca buku ini, kita akan diajak berkenalan dengan Temple Grandin, Sigmund Freud, Jacques Lacan, yang secara langsung maupun tidak, membahasa mengenai spektrum autisme. Di samping kaya akan referensi, kita juga dimanjakan dengan penjelasan medis mengenai autisme yang dipaparkan dengan bahasa sederhana dan menyenangkan. Gambaran pengalaman Buten sebagai terapis juga bisa membantu kita memahami apa yang bisa kita lakukan bagi mereka yang hidup dengan autisme. Buten memberikan contoh bagaimana kita harus bersama-sama menciptakan lingkungan unik bagi anak dengan autisme yang memungkinkan mereka memiliki kepemilikan atas kehidupan dan masa depan.

Yang jelas, Buten tidak hanya berusaha mengetuk dinding kaca di mana anak-anak dengan autisme berada. Ia berusaha keras untuk melangkah masuk dan menerima mereka dengan sepenuh hati. Untuk itulah dalam salah satu fragmen Buten menulis, “Tingkat keganasan anak, lingkup perilakunya yang tidak semestinya, maupun keparahan patologi mereka, tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menolak menerima mereka.”

Genduk, Pencarian Jati Diri Anak Petani Tembakau

31142634
Sumber : goodreads.com

Judul buku : Genduk
Pengarang : Sundari Mardjuki
Tahun terbit : 2016
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 219 halaman
ISBN : 978-602-03-3219-2

 

 

 

Pengarang dalam menulis novel Genduk terinspirasi kisah kecil ibunya yang ayahnya meninggal pada saat ibu pengarang masih berumur 3 tahun. Pengarang menulis buku ini selama kurang lebih 4 (empat) tahun. Penulisan dimulai dari riset ke latar tempat yang dipakai sampai cara pengolahan tembakau.

Genduk merupakan buku ketiga karangan Sundari Mardjuki setelah Papap, I Love You (2012) dan Funtastic Fatin (2013). Royalti dari buku ini akan disumbangkan kepada komunitas Cendikia Mandiri yang merupakan sebuah komunitas belajar yang membantu pendidikan anak-anak putus sekolah di lereng Gunung Sumbing-Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah.

Buku yang bertema utama lokalitas ini menceritakan pencarian jati diri seorang gadis kecil bernama Anisa Nooraini atau biasa dipanggil Genduk. Sejak kecil Genduk sudah ditinggal ayahnya dan tidak tahu dimana keberadaan Bapaknya. Genduk tinggal bersama Ibunya di sebuah desa paling puncak gunung Sindoro bernama Ringinsari. Rasa penasaran akan identitas dan keberadaan bapaknya membuat Genduk semakin bertanya-tanya hingga dia memutuskan untuk keluar desa untuk mencarinya.

Cerita dalam buku ini menggunakan alur campuran dimana sebagian utama cerita menggunakan alur maju disertai beberapa flashback ketika menceritakan tentang Bapak Genduk. Walau menggunakan alur campuran, kita dapat dengan mudah membedakan mana yang merupakan cerita masa lalu dan cerita masa kini. Hampir semua kisah masa lalu merupakan cerita yang didengar Genduk dari orang lain, seperti Kaji Bawon, mengenai Bapak Genduk.

Cerita Genduk menceritakan kehidupan petani tembakau di Gunung Sindoro pada tahun 1970an. Dimana ketika jaman itu masih banyak tengkulak yang melakukan praktek penipuan kepada para petani tembakau gurem atau kecil. Hal ini membuat para petani kecil harus berjuang menyambung hidupnya yang mau tidak mau harus berhadapan dengan para tengkulak.

Sundari Mardjuki dalam menceritakan kisah Genduk menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh utama dengan ditandai penggunaan kata ganti “aku” untuk tokoh utamanya, yaitu Genduk. Penulis menggunakan bahasa setiap karakter untuk percakapan-percakapan yang dilakukan para tokohnya. Terdapat beberapa kata yang menggunakan Bahasa Jawa atau bahkan kata yang hanya dimengerti oleh orang Temanggung, tapi sudah diberi penjelasan pada bagian catatan kaki.

Amanat yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah kita tidak boleh menyerah untuk memenuhi keingintahuan kita walaupun mungkin hasilnya bakal tidak sesuai dengan harapan kita. Hal-hal yang tidak benar dalam suatu sistem perlu kita ubah seperti sistem tengkulak yang diceritakan dalam cerita ini.

Kelebihan dari novel ini adalah penulis mampu membawa para pembacanya merasuk pada era 1970an sambil membayangkan bagaimana kehidupan para petani tembakau di Gunung Sindoro pada masa tersebut. Selain itu melalui cerita para petani tembakau, pembaca dapat mengetahui beberapa nilai yang dianut oleh petani tembakau seperti anak-anak rela bolos sekolah ketika masa panen tembakau untuk membantu para orang tuanya. Selain itu alur cerita yang susah ditebak pembaca membuat penasaran seperti pada menjelang akhir cerita, Genduk akhirnya mengetahui bahwa bapaknya benar-benar sudah meninggal seperti perkataan ibunya. Padahal pembaca sudah digiring sedemikian rupa oleh penulis untuk berharap bahwa bapak Gendhuk masih hidup di luar sana.

Genduk merupakan sebuah novel yang menarik untuk dibaca terutama bagi yang ingin menyelam pada era tahun 1970an di sebuah desa penghasil tembakau. Cerita disertai konflik pribadi dan sosial tokoh utama membuat pembaca lebih mengerti permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kaum menengah ke bawah pada era tersebut.

Ditulis oleh Agastyawan N. (Relawan Sahabat Kapas).