Tantangan Dunia Pendidikan Anak Berkonflik Hukum

Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal, kesejahteraan pendidik kurang, perundungan banyak terjadi di sekolah, ijazah pun tak menjamin mencari pekerjaan semakin mudah. Seperti tidak ada habisnya membahas kemelut dunia pendidikan di Indonesia. Banyak sekali kekurangan, baik dari sistem hingga pelaku lapangan. Rasa-rasanya kita selalu dituntut untuk harus banyak bersabar, mengelus dada, dan berdoa.

Berbicara tentang pendidikan, Kak Bee, seorang spesialis media sosial domisili Solo, mengungkapkan bahwa dirinya pernah mengalami jebakan kelas menengah tanggung saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dengan posisi ayahnya yang seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) kabupaten, ia kesulitan untuk mendapatkan keringanan biaya kuliah. Padahal biaya pendidikan dan perintilannya sebagai anak perantauan tidaklah murah. Tak ayal ia harus bekerja kesana- kemari untuk bisa bertahan sambil terus mencoba untuk berprestasi.

Lain kak Bee, lain pula dengan teman- teman yang berada di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Bagi sebagian dari mereka, ada yang lebih mendesak daripada mengejar pendidikan.

“Bukannya saya tidak mau melanjutkan pendidikan. Saya hanya ingin bekerja dan membuat kedua orang tua saya bahagia.”

Begitulah jawaban yang seringkali keluar dari anak-anak saat ditanya mengenai rencana pendidikan mereka. Bagi anak-anak di LPKA, puncak sukses itu adalah tentang membuat orangtua bangga kepada mereka. Jalan cepat yang ada di pikiran mereka adalah dengan bekerja sehingga mampu berdiri di atas kaki sendiri, bukan melanjutkan sekolah dengan segala prosedur panjang dan biaya yang menyertai.

Apakah anak- anak ini tidak paham pentingnya pendidikan?

Tentu paham. Mereka paham betul bahwa pendidikan itu penting. Kita pun sama. Kita semua setuju bahwa pendidikan itu penting. Pendidikan menjadikan seseorang berpengetahuan, memberikan kesempatan untuk berjejaring, serta membuka kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup.Tujuan pendidikan seperti ini juga yang diharapkan dapat digapai oleh anak- anak yang mengikuti pendidikan di lembaga pembinaan.

Namun, sebuah pertanyaan menyeruak. Apakah pendidikan yang mereka dapatkan di LPKA masih relevan dan memberikan “keuntungan” yang dapat merubah kehidupan mereka?

Sebuah meta analisis yang dilakukan dua peneliti Amerika dalam American Journal of Criminal Justice menyimpulkan bahwa mengikuti pendidikan di dalam penjara mampu menurunkan angka residivisme. Setiap jenis pendidikan juga memberikan efek yang positif tergantung jenis dan level pendidikan yang ditempuh. Pendidikan vokasi memberikan timbal balik paling besar per satu dolar yang dikeluarkan, sedangkan pendidikan tinggi memberikan timbal balik terbesar secara dampak.

Meskipun studi ini menyasar narapidana dewasa, namun penelitian ini bisa menjadikan salah satu acuan dalam melihat bagaimana pendidikan mampu memberikan timbal balik positif kepada mereka yang tercerabut kemerdekaannya.

Pendidikan adalah hak setiap manusia termasuk untuk anak yang menjalani proses pidana. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan Permen KemenPPPA, pemerintah menjamin anak bisa mendapatkan pendidikan meskipun mereka sedang berada di lembaga pembinaan.

Di dalam LPKA, ada beberapa skema penyelenggaraan pendidikan, antara lain Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) kerjasama dengan Dinas Pendidikan, PKBM mandiri, dan juga sekolah filial. Selain itu lembaga pembinaan juga menyediakan pendidikan vokasi berupa latihan kerja untuk ketrampilan-ketrampilan yang banyak dibutuhkan dalam dunia kerja. Beberapa program dilaksanakan oleh lembaga profesional dengan sertifikasi, sebagian besar dari lembaga swasta. Hanya saja yang disayangkan adalah banyak program latihan kerja yang tidak sustainable (berkelanjutan), belum terukur dampak, dan terkendala dalam proses implementasinya sehingga luaran yang diharapkan belum tercapai.

Pendidikan formal dan nonformal di LPKA hendaknya dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kebutuhan anak. Namun tak bisa dipungkiri, banyak sekali kendala yang terjadi di lapangan. Di antaranya adalah adanya perbedaan kemampuan kognitif anak yang cukup signifikan satu sama lain, keterbatasan tenaga pengajar, minimnya fasilitas yang berkualitas, serta program pasca LPKA yang mampu melacak hasil dan impak dari program pendidikan di dalam LPKA.

Hingga kini, analisis data administratif pemasyarakatan menunjukkan hanya 49% anak yang berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan di dalam lembaga. Sumber data tersebut  belum dapat menunjukkan jenis pendidikan formal atau nonformal yang diikuti anak. Namun dengan segala kekurangan yang ada dalam pendidikan yang disediakan untuk anak LPKA, mari tetap mengapresiasi ikhtiar yang sudah dilakukan pemerintah serta petugas- petugas yang berdedikasi memberikan layanan untuk anak. Sambil tak lupa untuk kita selalu berbenah dan mengusahakan perbaikan,- dengan pendidikan, demi masa depan.

Kabar Dari Seberang: Kisah Bob

2018 menjadi tahun yang berat bagi Bob. Saat ia belum mampu meregulasi emosinya, ia melakukan kesalahan yang kemudian menjadi sesalnya. Dia divonis lima tahun penjara dan ditempatkan di LPKA.

Menjalani hidup jauh dari keluarga di tempat baru bukanlah perkara mudah. Dia harus menjalani hari- hari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan mencoba untuk memperbaiki diri sebagai jalan penyesalannya. Di tengah situasi sulit itu, Bob merasa lebih baik ketika ia diperlakukan sebagai teman dan keluarga.

Selama Bob menjalani proses hukumnya dia bertemu dengan banyak orang, mulai dari aparatur negara hingga teman yang silih berganti di LPKA. Banyak yang menyisakan kenangan baik di hatinya. Meski tak dapat dipungkiri, tetap ada yang menorehkan luka. Banyak yang menjalani hidup yang lebih keras darinya. Umur, pengalaman hidup, dan ketidakhadiran keluarga membuat banyak orang bertahan dalam posisi yang tidak mengenakkan dan menguntungkan. Ia memaklumi akan selalu ada konflik yang terjadi di sekelilingnya.

Di antara kenangan yang ia miliki, Bob menyampaikan terima kasihnya kepada pegawai Bapas, Lapas, Rutan, dan LPKA yang sudah berbuat baik padanya. Di Lapas Plantungan, mereka mau menasehati dan memberinya kepercayaan sehingga dia benar- benar merasa kemerdekaannya perlahan- lahan dikembalikan. Dia juga mengingat kakak pendamping di Sahabat Kapas yang mau menjadi temannya untuk belajar dan tertawa bersama. Terkadang dia tak bisa menyebutkan dengan satu kata tentang bentuk pertolongannya seperti apa yang dia dapatkan, tapi hatinya bisa merasa dan meyakini bahwa ada Sahabat Kapas yang menjadi bagian dari proses baiknya.

Sekarang Bob menatap masa depan dengan optimis. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalani hidup yang baik dan merawat cita- cita dengan niat dan usaha kerasnya.

Penulis: Evi B.

Siapkah Kita Membuka Sekolah Tatap Muka?

Oleh: Apriliani Kusumawati & Evi Baiturohmah*

Pecah rekor lagi!

Sebulan sebelum pembelajaran tatap muka yang dianjurkan pemerintah resmi dimulai, kasus COVID-19 di Indonesia kembali meroket. Bahkan, memecahkan rekor kasus tertinggi selama pandemi.

Parahnya, anak-anak yang sempat digolongkan sebagai kelompok dengan risiko lebih rendah, kini menjadi kelompok dengan kerentanan yang mengkhawatirkan. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) per 20 Juni 2021, sebanyak 12,5% dari kasus positif di Indonesia adalah anak (usia 0-18 tahun). Sebanyak 3-5% di antaranya meninggal dunia. Dari jumlah anak yang meninggal, 50% dari mereka adalah balita. Aman Pulungan sebagai Ketua IDAI menyatakan persentase kematian anak Indonesia akibat COVID-19 adalah yang tertinggi di dunia!

Data ini semakin meresahkan orang tua dan pihak-pihak yang peduli terhadap isu anak. Bagaimana tidak? Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, Pemerintah telah mengizinkan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) pada tahun ajaran baru, Juli 2021. 

Orang tua dan tenaga pendidik memang semula berharap anak bisa segera kembali ke sekolah setelah melihat tren penurunan kasus COVID-19 pada awal 2021. Kini, hampir semua pihak merasa gamang melihat situasi pandemi yang kian genting tiap harinya. 

Kebelet kembali ke sekolah

Banyak yang bertanya mengapa Pemerintah terkesan kebelet membuka sekolah dan melangsungkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM)? Apakah tidak takut jika anak-anak akan terinfeksi COVID-19 di sekolah? 

Penting diketahui, pemerintah mengizinkan PTM dilaksanakan dengan pengaturan yang ketat. Pemerintah sekaligus memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah (Pemda) dan orang tua terkait pelaksanaan PTM ini. Pemda berhak menerapkan regulasi terkait PTM untuk satuan pendidikan di wilayah administrasi mereka. Di sisi lain, orang tua juga diberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih jenis pembelajaran terbaik untuk anak mereka, sehingga anak juga berhak untuk tidak mengikuti PTM di sekolah.

Keputusan pemerintah bukan tanpa pertimbangan yang matang. Tempo merilis data bahwa pada November 2020 yang memaparkan sebanyak 532 ribu satuan pendidikan mengajukan permohonan izin melangsungkan PTM. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dinilai sangat jauh dari efektif. Pada awalnya, PJJ diterima sebagai alternatif jangka pendek menggantikan PTM di saat pandemi. Akan tetapi, semakin lama pelaksanaan PJJ yang tak kunjung usai memunculkan masalah dan tantangan baru.

Learning loss yang menghantui

PJJ yang bersandar pada keberadaan teknologi menjadi pengganti yang payah untuk pembelajaran tatap muka. Sebelum ribut tentang menurunnya kualitas pembelajaran, masalah utama yang perlu diselesaikan adalah tentang ketersediaan akses

SMERU Research Institute pada 2020 menemukan fakta bahwa peserta didik di sekolah negeri yang berlokasi di wilayah pedesaan, khususnya di luar Pulau Jawa, berada di situasi amat sulit untuk melaksanakan PJJ. Mulai dari akses terhadap gawai dengan fitur yang memadai untuk pembelajaran daring, akses terhadap internet, guru yang adaptif, orang tua yang mampu mendampingi saat belajar atau menyediakan fasilitas untuk pembelajaran daring, hingga sekolah yang belum bisa memberikan dukungan memadai.

Fakta serupa terlihat dalam rilis analisis survei oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Guru di daerah Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal (3T) mengungkapkan 93,3% siswa mengalami hambatan berupa kurang memadainya fasilitas pendukung, antara lain listrik, jaringan internet, gawai, laptop, dan sebagainya. 

Survei juga menunjukkan bahwa tantangan terbesar lainnya adalah kurangnya konsentrasi dalam belajar dan kemampuan mengoptimalkan media digital. Jika masalah-masalah tersebut berlanjut, dapat dipastikan bahwa peserta didik yang berada dalam situasi kurang beruntung berpotensi mengalami penurunan kemampuan belajar (learning loss). 

The Education and Development Forum mengartikan learning loss sebagai situasi di mana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan, baik umum atau khusus, atau kemunduran secara akademis yang terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau ketidakberlangsungannya proses pendidikan. Tentu, dampaknya baru akan terasa dalam jangka panjang. Beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan kemampuan belajar seorang murid saat ini akan mempengaruhi perkembangan pengetahuannya kelak yang berpotensi menciptakan ketimpangan pendapatan di masa depan.

Pada Agustus 2020, World Bank merilis publikasi yang menyatakan estimasi dampak learning loss yang dialami oleh anak-anak Indonesia karena penutupan sekolah akibat pandemi COVID-19. Dalam kurun waktu empat bulan, sejak Maret hingga Juli 2020, diperkirakan skor PISA anak Indonesia menurun sebanyak 11 poin di kategori membaca dan pendapatan tahunan mereka di masa depan akan mengalami penurunan sebesar 249 dolar. 

Sederet implikasi lain yang tak kalah penting

Badan dunia seperti World Bank, United Nations Children’s Fund (UNICEF), United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), serta organisasi otoritatif lainnya sepakat mendorong pentingya pembukaan sekolah dengan pemberlakuan standar ketat. Hal ini tentu saja karena sekolah mempunyai peran krusial dalam tumbuh kembang anak. Bukan saja menjadi tempat anak memperoleh keterampilan kognitif, sekolah juga merupakan wadah di mana anak bisa bermain tanpa terbebani pekerjaan domestik. Sekolah adalah tempat mereka mendapatkan perlindungan aman serta yang menyediakan nutrisi penting untuk tumbuh kembang bagi sebagian anak. 

Penutupan sekolah dan pemberlakuan PJJ menutup semua akses tersebut sehingga banyak anak yang bukan hanya mengalami keterlambatan progres akademik, tetapi juga kehilangan kesempatan bersosialisasi dengan sebaya. Lebih dari itu, anak-anak pun tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan hak yang layak. Hasilnya, kasus kekerasan terhadap  anak meningkat, dispensasi pernikahan usia anak naik drastis, serta kesehatan mental anak terganggu.

Melansir Katadata, UNICEF mencatat sebanyak 938 anak usia 7 hingga 18 tahun putus sekolah karena terdampak pandemi. Dari jumlah tersebut, 74% anak putus sekolah karena tidak ada biaya, 12% karena tidak ada keinginan, 3% karena pengaruh lingkungan, 2% karena bekerja, dan 8% karena alasan lainnya. Situasi ini dianggap menjadi lonceng tanda bahaya karena berpotensi meningkatkan potensi permasalahan sosial, salah satunya pernikahan anak.

Data dari situs resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung menunjukkan fakta bahwa angka dispensasi pernikahan melonjak tajam terutama saat pandemi. Pada 2016 ada 6.488 dispensasi yang dikabulkan; 2017 ada 11.819; 2018 ada 12.504; 2019 ada 23.126; dan 2020 sebanyak 64.211. Melonjaknya angka pernikahan anak nantinya turut meningkatkan angka kematian ibu, anak stunting, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat terdapat 3.087 kasus kekerasan terhadap anak dalam kurun 1 Januari sampai dengan 19 Juni 2020. Jenis kekerasan tersebut di antaranya 852 kasus kekerasan fisik, 768 kasus kekerasan psikis, 1.848 kasus kekerasan seksual, 50 kasus eksploitasi anak, 60 kasus tindak pidana perdagangan orang, dan 228 kasus penelantaran.

Selama masa pandemi, anak juga harus memikul beban ganda: belajar dan melakukan kerja domestik. Banyak dari mereka yang juga harus membantu orang tua bekerja karena pandemi mengurangi penghasilan atau bahkan menghilangkan pekerjaan para orang tua. 

Anak-anak terus dibayangi pekerjaan sekolah yang menumpuk dengan interaksi sosial yang sangat terbatas. Di usia muda, mereka terpaksa harus berhadapan dengan keadaan yang serba tidak kondusif. Hal tersebut mengakibatkan anak kelelahan, mudah marah, stres, khawatir berlebih, hingga menimbulkan gejala depresi.

Dikutip dari BBC Indonesia, Survei KemenPPPA terhadap lebih dari 3.200 anak SD hingga SMA pada Juli 2020 lalu menemukan 13% responden mengalami gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan hingga berat selama masa “kenormalan baru”. Sebanyak 93% yang menunjukkan gejala depresi berada pada rentang 14-18 tahun, sementara 7% di rentang usia 10-13 tahun.

Pertanyaan besarnya adalah proyeksi berkurangnya penghasilan serta risiko kesehatan mental yang menjadi alasan utama Pemerintah menganjurkan PTM ini sebenarnya, at what cost? 

Risiko pembelajaran tatap muka

Sayangnya, kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka ternyata juga berisiko besar bagi keselamatan dan kesehatan anak, bahkan untuk komunitas.

  • Anak terinfeksi COVID-19

Meskipun anak-anak mempunyai tingkat kerentanan 30-50% lebih rendah dibandingkan orang dewasa dan bila terinfeksi akan menampakkan tanpa gejala atau bergejala ringan, tetap saja sekecil apapun persentasenya akan ada anak yang berisiko terinfeksi. Bahkan, temuan IDAI menunjukkan Indonesia adalah negara dengan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi pada anak akibat COVID-19 di kawasan Asia Tenggara.

Kekhawatiran bertambah sejak munculnya varian baru yang menyebabkan situasi menjadi lebih tak menentu, salah satunya varian Delta. Varian ini berisiko menular dengan cepat dan menimbulkan gejala berat pada anak dan remaja. 

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menemukan kecenderungan COVID-19 varian Delta menyerang mereka yang berusia di bawah 18 (delapan) tahun pada sejumlah daerah yang sedang mengalami lonjakan kasus. Situasi ini dilaporkan berdasarkan laporan penelitian Whole Genom Sequencing dari Kudus yang didominasi oleh kasus varian Delta.  

  • Kluster sekolah

Ancaman terburuk dari penyebaran yang terjadi di sekolah, baik antarmurid, antarguru dan murid, maupun di antara tenaga kependidikan yang ada di lingkungan sekolah, adalah adanya transmisi penularan dari anak ke orang tua dan/atau kakek/nenek yang berusia lanjut, yang sangat rawan mengalami infeksi COVID-19 dalam bentuk gejala klinis berat. Kondisi ini pada akhirnya juga berkontribusi pada besarnya penularan yang terjadi di komunitas.

Kemungkinan tersebut menjadi lebih besar mengingat saat ini anak belum menjadi prioritas vaksinasi. Pemerintah masih fokus memberikan vaksin untuk kelompok rentan di atas 19 tahun. Padahal dengan vaksinasi, risiko anak terinfeksi COVID-19 akan berkurang saat kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka di sekolah dimulai.

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak 

Di tengah badai kebimbangan antara menjaga anak dari risiko COVID-19 dan memenuhi hak anak akan pendidikan layak serta kesehatan mental yang terjaga, maka setiap tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa hendaknya berdasarkan pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Pada situasi ini, posisikan setiap dari kita sebagai orang tua. 

Orang tua, mau tak mau, menjadi ujung tombak dari keputusan apapun terkait kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan anak di masa sulit ini. Seperti apa dunia mereka besok, dan seperti apa masa depan mereka nantinya, menjadi tanggung jawab kita hari ini. Keputusan harus mempertimbangkan dengan baik situasi dan kondisi anak, kemampuan orang tua dan sekolah, serta kebijakan pemerintah daerah dalam regulasi PTM dan kemampuan mitigasi risiko. Sebelum menentukan keputusan, ada tiga pilihan yang layak untuk dipertimbangkan. 

Pertama, orang tua yang mampu menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran daring termasuk memfasilitasi pembelajaran mandiri yang nyaman, dan keluarga berada di daerah dengan kasus COVID-19 yang mengkhawatirkan, sangat disarankan untuk tetap mendukung sepenuhnya kegiatan belajar-mengajar dari rumah. 

Kedua, orang tua yang tidak memiliki bekal yang memadai atau berada pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran daring termasuk memfasilitasi pembelajaran mandiri yang nyaman, dan keluarga berada di daerah yang aman dari lonjakan kasus COVID-19, dapat mempertimbangkan persetujuan kegiatan belajar-mengajar tatap muka di sekolah. 

Namun, keputusan partisipasi anak dalam PTM tetap harus memperhatikan:

  • Sekolah sudah memenuhi standar protokol kesehatan.
  • Persiapan kebutuhan penunjang untuk anak, seperti rencana transportasi, masker, pembersih tangan, bekal makanan dan minuman, serta persiapan tindak lanjut jika dikemudian hari anak terpapar atau bahkan terinfeksi COVID-19 dari lingkungan sekolah. 
  • Anak diberi pemahaman tentang aturan dan tata cara melindungi diri dari penyebaran dan penularan COVID-19.

Ketiga, orang tua yang tidak mampu menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran daring termasuk memfasilitasi pembelajaran mandiri yang nyaman, dan keluarga berada di daerah zona merah sehingga tidak dimungkinkan untuk melaksanakan PTM, dapat menyampaikan kendala pelaksanaan PJJ kepada pihak sekolah, ketua Rukun Warga (RW) setempat, atau bahkan Pemerintah Desa untuk dicarikan solusinya bersama-sama.

Ada beragam praktik baik gotong royong pendidikan yang dapat kita temui di tengah pandemi. Ambil contoh program “Wi-Fi Desa” yang diinisiasi oleh Kepala Desa Kelapapati di Bengkalis di Riau, program “Biznet Free Wi-Fi Program for Education” yang dilakukan oleh perusahaan Biznet Networks, atau bahkan inisiatif warga menyediakan akses Wi-Fi gratis dan gawai di Kecamatan Sunggal di Deli Serdang di Sumatera Utara.

Berbagai program tersebut dapat dijadikan rujukan bagaimana Pemerintah dan masyarakat dapat memberikan dukungan bagi anak-anak dari keluarga kurang beruntung agar tidak semakin tertinggal dalam menjalankan proses pendidikannya. Terlebih pada masa pandemi yang berpotensi memperlebar jurang yang sudah ada. 

Pandemi telah menjungkir-balikkan dunia anak dan remaja dalam banyak hal. Dengan mempertimbangkan situasi-situasi di atas,  diharapkan skenario yang dipilih tetap mampu memberi anak pendidikan yang berkualitas dan sistem dukungan untuk resiliensi menghadapi pandemi COVID-19.

*Apriliani Kusumawati adalah pegiat isu anak dan asisten dosen mata kuliah Hukum Pidana di Universitas Islam Batik Surakarta dan Institut Agama Islam Negeri Surakarta. 

*Evi Baiturohmah adalah penerjemah lepas dan fasilitator untuk isu anak dan remaja.

Bahan Bacaan:

Harususilo, Yohanes Enggar. 2020. “Wifi Desa”, Praktik Baik Gotong Royong Pendidikan di Tengah Pandemi dari Riau. Kompas.com. Diakses dari https://www.kompas.com/edu/read/2020/08/08/145237571/wifi-desa-praktik-baik-gotong-royong-pendidikan-di-tengah-pandemi-dari-riau pada 28 Juni 2021.

IDAI. 2021. Press Conference 5 Organisasi Profesi Dokter Melonjaknya Kasus COVID-19. IDAI TV. Diakses dari  https://www.youtube.com/watch?v=e4ZlSJm5FSI pada 23 Juni 2021.

Jayani, Dwi Hadya. 2021. Dampak Pandemi Mayoritas Anak Indonesia Putus Sekolah Karena Ekonomi. Katadata. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/08/dampak-pandemi-mayoritas-anak-indonesia-putus-sekolah-karena-ekonomi.

Kemdikbud. 2020. Analisis Survei Cepat Pembelajaran dari Rumah dalam Masa Pencegahan COVID-19. Jakarta: Kemdikbud.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2020. Profil Anak Indonesia Tahun 2020. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Nugraheny, Dian Erika. 2021, Varian Baru Virus Corona Berisiko Menular ke Anak. Kompas. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2021/05/11/21364661/varian-baru-virus-corona-berisiko-menular-ke-anak-anak-pemerintah-diminta?page=all pada 26 Juni 2021.

Milana, Robby. 2021. Gotong Royong Tingkatkan Pendidikan saat Pandemi COVID-19. Revolusi Mental. Diakses dari https://revolusimental.go.id/kabar-revolusi-mental/detail-berita-dan-artikel?url=gotong-royong-tingkatkan-pendidikan-saat-pandemi-covid-19 pada 27 Juni 2021.

Tempo.co. 2021. Nadiem Makarim Sebut Pembelajaran Tatap Muka 2021 Bisa Dilakukan. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1442577/nadiem-makarim-sebut-pembelajaran-tatap-muka-juli-2021-bisa-dilakukan/full&view=ok pada 26 Juni 2021.

The Smeru Research Institute. 2020. Belajar dari Rumah: Potret Ketimpangan Pembelajaran Pada Masa Pandemi COVID-19. Jakarta: The Smeru Research Institute.

Tim Kompas. 2020. Gotong Royong Internet yang Dibutuhkan. Kompas. Diakses dari  https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/08/01/gotong-royong-internet-yang-dibutuhkan pada 25 Juni 2021.

UKFIET. 2020. The Covid-19 Induced Learning Loss: What is it and How it can be Mitigated?. Diakses dari https://www.ukfiet.org/2020/the-covid-19-induced-learning-loss-what-is-it-and-how-it-can-be-mitigated/how-it-can-be-mitigated/ pada 25 Juni 2021.

Wijaya, Callistasia. 2021. Covid-19: ‘Stres, mudah marah, hingga dugaan bunuh diri’, persoalan mental murid selama sekolah dari rumah. BBC Indonesia. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55992502 pada 25 Juni 2021.

Yarrow, Noah; Masood, Eema; Afkar, Rythia. 2020. Estimated Impacts of COVID-19 on Learning and Earning in Indonesia: How to Turn the Tide. Jakarta: World Bank.  

Aku dan Miras: Seteguk Nikmat vs. Sebaper Curhat

Gonjang ganjing terkait Perpres investasi miras (yang akhirnya dicabut oleh Presiden Jokowi) mengingatkan saya pada obrolan ngalor ngidul dengan anak-anak yang pernah saya dampingi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Banyak di antara mereka mengaku tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan terjadi karena efek miras. Mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir panjang dan merasa jauh lebih berani melakukan kekerasan saat tersulut amarah.

Percakapan dengan para remaja ini selalu menjadi highlight proses saya mendampingi mereka. Saat istirahat kegiatan, di sela-sela permainan, atau saat duduk di depan kelas, saya bisa mendengarkan cerita mereka berjam-jam. Tidak ada yang membuat lebih bahagia daripada mereka yang percaya pada saya sehingga bisa bercerita dengan santai. 

Banyak yang mereka bagi, tentang enaknya ciu yang dicampur Ale-Ale, mudahnya membeli miras oplosan, atau bahagianya mereka karena bisa melupakan masalah dengan sebotol bir murahan meski hanya untuk sementara.

Sebenarnya, para remaja ini sadar betul jika miras bisa  mengakibatkan kecanduan dan merusak kesehatan. Namun, risiko-risiko itu serasa minor dibandingkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan: menjadi bagian dari kelompok pertemanan, menghilangkan beban pikiran, hingga meningkatnya kepercayaan diri dan keberanian.

Seorang anak pernah bercerita bahwa miras membuatnya lebih ‘berani’ saat chatting dengan teman perempuannya. Jika tidak minum, dia tidak punya nyali untuk flirting atau sekedar membuat percakapan lebih mengasyikkan.

Anak lainnya berujar jika ayahnya sering berbagi miras dengannya. Dia bebas menenggak minuman beralkohol itu kapanpun dia mau. Banyak pula yang mengaku tak kuasa menolak ajakan kawannya untuk meneguk ciu dari botol bekas Aqua saat nongkrong di alun-alun kota.

Kelindan Miras dan Remaja

Masalah miras dan remaja ini memang njlimet dan tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan saja. Bukan hanya di Indonesia, banyak negara maju yang juga kesulitan menangani kompleksitas isu remaja, miras, dan dampaknya di masyarakat.  Meskipun demikian, ternyata ada loh negara yang berhasil dengan gemilang menurunkan angka konsumsi alkohol dan narkoba pada remaja!

Pada tahun 2018, World Economy Forum menurunkan sebuah artikel panjang tentang bagaimana Islandia berhasil menurunkan angka remaja yang mengonsumsi alkohol dan narkoba. Di negara Nordik, tren remaja mengonsumsi miras memang cenderung turun. Namun, Islandia mencetak statistik mengagumkan dalam mengubah perilaku remaja dalam mengonsumsi miras. 

Berangkat dari hasil riset tentang perilaku keseharian remaja, Pemerintah Islandia kemudian merumuskan rencana nasional yang dikenal dengan istilah Youth in Iceland. Pada intinya, pemerintah berinvestasi pada program penguatan orang tua dan sekolah, penyediaan fasilitas olah raga dan kesenian gratis, serta pemberlakuan larangan keluar malam. Voila! Angka konsumsi miras di remaja turun drastis dan partisipasi mereka dalam kegiatan olah raga dan seni naik pesat.

Apakah strategi ini bisa diterapkan di Indonesia?


Sebagai jawaban, ada kutipan sarkas di twitter yang mungkin cukup mewakili:

Warga Indonesia itu mau antre dan buang sampah pada tempatnya saja sudah bagus. 

Netizen Indonesia

Rasa-rasanya mimpi replikasi pendekatan di Islandia ke konteks Indonesia tampak hampir mustahil. Paling tidak, bukan dalam waktu dekat. Selain rasio jumlah remaja yang sangat jomplang, warga dan pemerintah Indonesia masih jauh dari kata siap. Seperti yang kita tahu bersama, semua pihak inginnya hasil bagus, tapi hanya sibuk menuntut, susah sekali untuk nurut dan runut. 

Mau ndakik-ndakik meniru Islandia? Mustahil wa mustahila.

Kenyataan ini membuat saya jengkel. Pikiran saya sering mentok. Ketika mendengarkan curhatan mereka, otomatis saya memikirkan alternatif apa yang bisa saya tawarkan agar mereka bisa beralih dari kebiasan mengonsumi miras. Sayangnya, semua opsi tampak tidak doable.

Mau menyarankan agar aktif di kegiatan seni dan olahraga, sarana dan prasarananya tidak tersedia. Menyodorkan ide untuk mengganti lingkaran pertemanan, tidak banyak yang pede dengan riwayat hukum mereka. Ingin  menyarankan supaya lebih aktif berkegiatan dengan keluarga, lah ini kan mereka banyak masalahnya malahan dengan keluarga. Nah.

Curhat Pelipur Lara

Sebagai kakak pendamping, jalan ninja yang bisa saya tempuh adalah meminjamkan telinga untuk mendengar curhat mereka. Sambil sesekali saya memberi tips agar mereka lebih percaya diri saat pedekate dengan gebetan mereka tentunya.

Saya teringat ketika suatu sore ada pesan pendek dari adik dampingan masuk di ponsel saya.

 “Mbak, aku mumet, pengen ngobrol. Ketemuan yo, gak penak lek lewat hp”

Esok harinya kami saling berbagi curcol panjang dan lama. Dia yang masih belum tahu potensi diri dan keinginannya apa, sementara saya yang masih lajang meskipun usia sudah cukup untuk berumah tangga. Dengan jujur dia mengaku bahwa dia takut jika tidak kuat dengan beban pikirannya, dia akan lari ke obat dan miras. Dari situ, dia memutuskan untuk curhat ke saya.

Maknyes. Saya baper. Berkata saya dalam hati, jika miras masih gampang ditemukan, setidaknya saya lebih gampang diajak bercanda dan bisa mentraktir makan. Dengan sepiring lontong tahu di warung dekat taman kota, saya senang percakapan hangat di Minggu pagi itu bisa menggantikan nikmatnya seteguk minuman setan dalam melipur laranya.

Artikel ini adalah bagian dari campaign “Semua bisa dibicarakan #tanpakekerasan”, hasil kerja sama antara Sahabat Kapas dan Plain Movement, kunjungi pula https://plainmovement.id/

Peluncuran Modul Konseling Kelompok Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender untuk Anak Laki-Laki di LPKA Disambut Antusias

Bertempat di Hotel Redtop, Jakarta Pusat pada hari Kamis (19/12) 2019, Sahabat Kapas meluncurkan “Modul Konseling Kelompok Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender untuk Anak Laki-Laki di LPKA”. Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kemenkumham RI, Budi Sarwono. Secara simbolis, Dian Sasmita selaku Direktur Yayasan Sahabat Kapas menyerahkan modul kepada Bapak Budi Sarwono disaksikan puluhan undangan yang hadir.

Peluncuran modul ini merupakan tindak lanjut dari kerja sama antara Sahabat Kapas, Ditjen PAS, dan Rutgers WPF Indonesia dalam upaya merespons tingginya kasus kekerasan seksual pada anak. Dimulai pada tahun 2018, Sahabat Kapas telah melakukan proyek percontohan implementasi modul di dua LPKA, yakni LPKA Tangerang dan LPKA Kutoarjo selama kurang lebih 4 bulan. Proyek percontohan tersebut melibatkan para konselor yang merupakan petugas LPKA. Sebelumnya, para petugas yang menjadi konselor juga telah mengikuti pelatihan konseling dan psikoedukasi terkait isu kekerasan serta kesehatan seksualitas dan reproduksi.

Pelaksanaan kegiatan konseling kelompok di LPKA Kutoarjo.

Dari kegiatan konseling kelompok selama 13 sesi bersama anak di LPKA, banyak luaran positif yang dihasilkan. Untuk itu, pada tahun 2019 kegiatan konseling kelompok ini direplikasi di LPKA Yogyakarta. Modul yang digunakan dalam konseling kelompok ini merupakan sumbangsih bersama dari para pegiat anak, pakar konseling, spesialis bidang gender dan kesehatan reproduksi, serta telah direvisi berdasarkan input selama implementasi program, peserta anak, petugas konselor LPKA, dan pihak lain terkait.

Penuh Semangat dan Antusias

“Modul ini diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif bagi petugas LPKA atau pendamping anak untuk melakukan intervensi dan rehabilitasi bagi AKH dengan kasus kekerasan seksual yang mempunyai riwayat seksual aktif dan berisiko,” terang Evi Baiturohmah selaku Manajer Program Sahabat Kapas. Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Ditjen PAS dalam paparan presentasinya menyatakan tentang harapan agar implementasi modul konseling kelompok ini bisa dilakukan di 33 LPKA di Indonesia pada tahun 2020 nanti. Dengan demikian, persentase anak yang mendapatkan layanan konseling dalam proses rehabilitasi pun akan meningkat.

Diskusi tentang praktik konseling dan rehabilitasi anak.

Selain mendiskusikan mengenai modul konseling kelompok, para peserta yang hadir juga diajak untuk saling berbagi mengenai praktik-praktik konseling dan rehabilitasi di masing-masing LPKA. Kegiatan ini pun dilakukan dengan penuh semangat dan antusias oleh seluruh peserta. Kegiatan kemudian ditutup dengan diskusi dan pemberian rekomendasi terhadap Ditjen PAS terkait inovasi yang perlu dilakukan dan dorongan untuk peningkatan kualitas pembinaan di LPKA.

Lindungi Anak dengan Optimalisasi Fungsi Keluarga

Oleh Uthie Awamiroh*

Anak-anak dan balita yang sudah dapat mengoperasikan gawai sendiri menjadi pemandangan yang lumrah di masa sekarang. Hal ini tentu tidak terlepas dari perilaku orang-orang terdekat anak, misalnya para orang tua yang membiarkan anak-anak dengan bebas memainkan gawai tanpa pengawasan. Pembiaran ini bisa dikatakan sebagai dukungan tidak langsung yang sebenarnya sangat disayangkan. Anak-anak yang sedari dini sibuk dengan gawai bisa mengalami berbagai dampak buruk yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya. Selain itu, anak-anak yang semestinya menikmati masa-masa bermain dan bereksplorasi di lingkungan sekitar, cenderung memilih berdiam diri di rumah dengan telepon pintar di tangan. Hal ini mengakibatkan proses sosialisasi anak terhadap lingkungan menjadi tidak maksimal.

Remaja bersosialisasi di Car Free Day Solo

Akses gawai yang mudah dan tanpa pengawasan mendukung adanya kebebasan anak dalam mengakses internet. Padahal, hal tersebut bisa berdampak negatif bagi anak-anak, terutama pada anak dalam keluarga yang mengalami disfungsi. Data yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan sepanjang tahun 2017 terdapat 514 laporan kasus pornografi dan cybercrime yang masuk ke KPAI (netralnews.com). Ini tentu saja menjadi perhatian kita semua sebagai sebuah sistem sosial. Continue reading “Lindungi Anak dengan Optimalisasi Fungsi Keluarga”

Perjalanan Hari Ini

Deru mesin lokomotif dan peluit penjaga stasiun mulai terdengar di Stasiun Kutoarjo. Panasnya terik matahari di kota yang baru sekali kukunjungi ini terasa menembus sampai ke dalam tulang. Pikiranku siang ini melayang entah kemana, hal yang aku alami pagi ini benar-benar di luar batas logikaku.

Terdengar kembali panggilan untuk penumpang tujuan Solo untuk segera bersiap di jalur satu. Aku bergegas mendekati kereta yang sudah butut namun ditunggu banyak orang ini. Keadaan kereta yang masih kosong membuatku leluasa untuk memilih tempat duduk di pojok dekat toilet.

Perlahan kereta mulai meninggalkan Stasiun Kutoarjo, kembali pikiranku melayang ke kejadian yang aku alami. Pengalaman pertama pendampingan di sebuah tempat bernama Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo. Kegiatan yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Sungguh tak pernah kubayangkan, hari ini aku masuk dan mendengar banyak cerita dari mereka.

Siapa mereka? Mereka adalah teman-teman baruku yang menjadikanku seakan gila hari ini. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di LPKA Kutoarjo. Mereka telah sukses membuatku kagum, sehingga kekaguman itu membuatku menjadi seperti orang gila yang terus memikirkan kegiatan tadi. Mereka tak segan bermain dengan penuh keceriaan tanpa ada batas denganku, orang baru yang pastilah asing bagi mereka.

Tak terasa perjalananku sudah memasuki kota kesenian Yogyakarta, terdengar pengumuman bahwa kereta telah sampai di Stasiun Tugu. Bertambahnya penumpang membuat lamunanku dipaksa buyar seketika.

Ketika kereta melewati perlintasan dan membunyikan klakson, tiba-tiba aku teringat pada salah satu anak di LPKA Kutoarjo yang menitipkan kertas kepadaku. Penasaran, kubuka satu lembar kertas yang dilipat dengan rumit. Seperti sengaja agar tidak sembarang orang bisa membukanya. Seperti disambar petir di siang hari, aku membaca beberapa larik puisi di sana.

“Maafkan Aku”

Tuhan, maafkan aku yang tak pernah menjalankan kewajibanku

Ayah dan Ibu, maafkan aku yang tak pernah mendengarkan perkataanmu

Semua ini terjadi karena kesalahanku

Maafkan aku.

Aku mengulang beberapa kali membaca puisi sederhana yang sangat mengena itu, hingga air mataku benar-benar menetes. Aku menangis karena aku menginggat benar ceritanya. Teman baruku ini sangat merindukan ayah ibunya. Ayahnya telah lama pergi. Hanya ada ibunya yang tinggal seorang diri di rumah. Di sebuah kota dengan jarak ratusan kilometer dari Kutoarjo.

Membaca puisi ini aku jadi merasakan apa yang dirasakannya di LPKA. Membaca puisi ini aku teringat banyaknya kesalahanku kepada orang tuaku dan Tuhan. Mungkin lewat teman baruku ini Tuhan memberikan banyak teguran untukku.

“Kereta jurusan Solo akan segera berangkat”

Wah, ternyata sudah hampir meninggalkan Klaten. Aku kembali tersadar. Tak berhenti merasa bersyukur atas pengalaman hari ini. Semoga ada lain waktu untukku bertemu mereka lagi. Anak-anak remaja yang tengah berjuang menghadapi konsekuensi perbuatannya.

Ditulis oleh Haidar Fikri (Relawan Sahabat Kapas).

Anak, Si Peniru Ulung

“Ketika kita berbohong di depan anak, maka kita telah mengajarkan kepada anak kita untuk menjadi pembohong. Ketika kita marah di depan anak, maka telah kita ajari anak kita untuk jadi pemarah.”

Kalimat itu sering saya dengar dari Pak Hadi Utomo, salah satu pejuang hak anak Indonesia, dalam berbagai acara bertema perlindungan anak. Kalimat Pak Hadi tersebut, secara jelas tergambar dalam sebuah video karya National Association for Prevention of Child Abuse and Neglect (NAPCAN) dan menjadi viral di Indonesia beberapa waktu lalu. Video berjudul Children see, children do tersebut menjadi teguran bagi orang dewasa di sekitar anak, orang tua khususnya, untuk bisa lebih bijaksana dalam berperilaku dan memilih kata-kata mereka di depan anak.

Anak meniru apa yang mereka lihat. Bobo doll experiment[1] yang dilakukan oleh Albert Bandura menunjukkan hal tersebut. Eksperimen yang dilakukan pada tahun 1961 dan 1965 tersebut menjadi bukti bahwa anak yang melihat orang dewasa melakukan perilaku agresif akan meniru perilaku agresif tersebut.

Mengobservasi, meniru/mengimitasi dan menjadikan orang dewasa di sekitar menjadi contoh/panutan adalah cara anak belajar tentang berbagai hal. Termasuk belajar berperilaku dan bersikap. Anak cenderung menjadikan orang yang mengasuhnya, idealnya orang tua, sebagai model/panutan. Oleh sebab itu, pola asuh yang diterapkan oleh orang tua menjadi hal yang mempengaruhi pembentukan kepribadian anak.

Pola asuh adalah sikap dan cara orang tua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih muda termasuk anak agar dapat mengambil keputusan dan bertindak  sendiri, sehingga mengalami perubahan dari keadaan bergantung kepada orang tua menjadi berdiri dan bertanggung jawab sendiri.[2]

Tiga tipe pola asuh yang paling sering dibahas adalah pola asuh permisif, otoriter dan demokratis. Pola asuh permisif terlihat dari longgarnya aturan dan tidak adanya tuntutan dari orang tua terhadap anak. Tidak ada kedisiplinan dalam pola asuh ini. Orang tua cenderung menuruti kemauan anak. Orang tua dengan pola asuh ini akan menghasilkan anak yang cenderung impulsif, agresif dan tidak memiliki kontrol diri.

Sebaliknya, pola asuh otoriter adalah pola asuh dimana orang tua menerapkan aturan yang ketat disertai ancaman dan hukuman. Selain itu, orang tua dengan pola asuh otoriter menerapkan tuntutan yang tinggi terhadap anak. Anak menjadi menarik diri, takut dan tidak memiliki tujuan ketika tumbuh dan berkembang dengan pola asuh ini.

Pola asuh demokratis dipandang sebagai pola asuh yang paling ideal. Orang tua menerapkan aturan dan menentukan tuntutan yang sesuai dengan situasi dan kondisi anak. Pola asuh ini akan menghasilkan anak yang memiliki kepercayaan diri dan kontrol diri, bersahabat dengan lingkungan dan bahagia.

Sumber: https://www.goodreads.com/book/show/28916420-parenthink

Indonesia sebenarnya memiliki pola asuh yang lebih sesuai untuk diterapkan oleh warganya. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Republik Indonesia, telah merumuskan semboyan yang selama ini digunakan dalam pendidikan di Indonesia : “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Ternyata, semboyan ini cocok untuk diterapkan dalam pola asuh orang tua terhadap anak. Pengetahuan mengenai pola asuh ala Indonesia ini baru saya ketahui setelah membaca buku ParenThink karya Mona Ratuliu.[3]

Pada fase awal kehidupan anak, yaitu 0-5 tahun, orang tua berperan sebagai figur yang selalu diamati, diobservasi dan ditiru oleh anak. Orang tua diharapkan mampu menjadi contoh bagi anak. Apapun yang dilakukan oleh orang tua, baik atau buruk, akan ditiru oleh anak. Orang tua yang menunjukkan kasih sayang satu sama lain akan membuat anak mampu meniru ekspresi kasih sayang tersebut. Begitu pula ketika orang tua melakukukan kekerasan, seperti membanting barang misalnya. Maka jangan heran jika anak tidak segan membanting mainan-mainannya. Orang tua yang menginginkan anaknya menjadi anak yang jujur, sopan dan taat beragama, harus mencontohkan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua harus Ing Ngarso Sung Tuladha, di depan menjadi contoh.

Ing Madya Mangun Karsa, di tengah memberi semangat. Ketika anak berusia 6-12 tahun, anak sedang senang berinteraksi dengan orang lain. Anak menjadi lebih senang berteman. Teman adalah sosok yang dipersepsikan anak sebagai orang menyenangkan dan mampu mengerti. Sehingga tidak jarang, anak lebih memilih temannya untuk berbagi cerita daripada orang tua. Di sini lah peran orang tua sebagai sosok yang menyenangkan dan mengerti anak diperlukan. Orang tua diharapkan menjadi si pemberi semangat untuk anak. Sehingga anak akan datang kepada orang tua ketika dia membutuhkan teman bercerita dan nasihat bagi permasalahannya.

Terakhir, di usia 12 tahun ke atas, orang tua diharapkan menjadi sosok yang mampu mendukung kemandirian anak. Tut Wuri Handayani, di belakang memberi dorongan. Ketika anak telah mendapatkan contoh yang baik dan sosok menyenangkan yang selalu memberikan semangat, anak membutuhkan dorongan untuk dapat menjadi pribadi yang mantap dalam menjalani tantangan dari dunia luar. Mona Ratuliu menggambarkan orang tua sebagai kamus dalam fase usia anak 12 tahun ke atas. “Persis seperti kamus, yang diam saja disimpan di rak buku saat tidak digunakan dan selalu siap memberikan informasi saat diminta.” (Hal. 72) Karena anak biasanya telah memiliki kewenangan atas diri dan lingkungannya sendiri pada usia ini.

Setiap keluarga akan memiliki pola asuhnya sendiri. Pola asuh menjadi hal yang sangat personal dan khas bagi masing-masing keluarga. Tidak semua keluarga cocok menerapkan satu pola asuh. Orang tua dituntut untuk bisa memilih dan menerapkan pola asuh yang paling sesuai dengan kondisi anak.

Saya kembali mengingat satu-persatu cerita anak di Lapas/Rutan/LPKA. Pola asuh yang kurang tepat menjadi hal yang sering saya dengar: Orang tua yang terlalu sibuk mencari uang sehingga mengabaikan kebutuhan anak akan sosok yang menyenangkan dan mampu memahami anak. Kekerasan sebagai bentuk perilaku yang dipilih untuk mendisiplinkan anak. Pembiaran atau justru pembelaan ketika anak melakukan kesalahan. Ternyata, pola asuh yang kurang tepat, jika tidak bisa dikatakan salah, ikut mengantarkan anak-anak tersebut ke Lapas/Rutan/LPKA.

Ditulis oleh Febi Dwi S. (Relawan Sahabat Kapas).

Referensi:

[1] Bobo Doll Experiment, http://www.simplypsychology.org/bobo-doll.html, diakses 29 September 2016, jam 22.00.

[2] Ny.  Y.  Singgih D. Gunarsa dan Gunarsa, Singgih  D, Psikologi Remaja, Gunung Mulia, Jakarta, 2007, cet. 16, hlm. 109.

[3] Mona Ratuliu, ParenThink, Noura Books, Jakarta Selatan, 2015, cet. 2, hlm.57.

Hentikan Perundungan

Sepekan terakhir, dua video perundungan yang dilakukan sekelompok mahasiswa dan pelajar sekolah menengah pertama di Jakarta menjadi viral. Miris adalah satu kata yang muncul ketika melihat tayangan tersebut.

Ribuan orang ikut membagikan video tersebut. Di laman media sosial saya sendiri terdapat lebih dari sepuluh orang yang membagikan setiap harinya. Saya dipaksa ikut menontonnya.

Video tersebut membangkitkan ingatan di masa lalu, pengalaman menjadi korban cemoohan karena kondisi fisik yang berbeda dan kekerasaan yang dilakukan senior. Kedua pengalaman tersebut sangat tidak mengenakan. Menghantui masa remaja.

Selain membangkitkan memori buruk, video tersebut juga dmemberi dampak pada penontonnya. Tayangan yang sama dan hadir berulang akan mempengaruhi alam bawah sadar penontonnya, tak terkceuali tayangan kekerasaan. Jika penonton tersebut memiliki kemampuan kognitif yang baik, tentu tidak menjadi masalah. Namun, jika yang menonton adalah remaja tanpa pendampingan orang dewasa, maka dia akan mendapatkan contoh yang menarik untuk ditiru. Siklusnya diawali dari melihat, kemudian mengamati dan mencontohnya.

Perundungan adalah padanan kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk bullying. Perundungan yaitu proses, cara, perbuatan merudung seseorang dengan menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang yang lebih lemah. Perundungan dapat dilakukan secara fisik, verbal, sosial, dan di dunia maya (cyber).

Perundungan bukan berita baru. Praktik demikian selalu berulang karena pemahaman kita tentang apa itu perundungan dan aksi pencegahannya masih minim. Baru tiga tahun terakhir, mulai banyak diskusi dan informasi tentang perundungan ini disebarkan. Sasaran utama adalah lingkungan pendidikan yang banyak terdapat praktik perundungan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data pada Juli 2016, terdapat 247 kasus perundungan anak (korban dan pelaku) di sekolah yang dilaporkan terjadi sepanjang tahun 2015. Sedangkan hingga pertengahan tahun 2016 sendiri terdapat 174 kasus.[1]

Kementrian Pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan peraturan Nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasaan di lingkungan sekolah. Bentuk kekerasaan yakni pelecehan, penganiayaan, perundungan, perpeloncoan, perkelahian, pencabulan, dan bentuk kekerasaan lainnya sesuai undang-undang. Perundungan menjadi salah satu perhatian serius karena mengandung aktifitas terus-menerus yang mengusik atau mengganggu.

Dan Olweus dalam tulisannya tentang A Profile of Bullying at School (2003) mengungkapkan lingkaran perundungan yang melibatkan beberapa pihak. Pertama, the bully yakni dia yang memulai dan aktif melakukan perundungan. Kedua, followers/henchmen ikut aktif mengambil bagian tapi bukan pemicu awal. Ketiga, supporters yang mendukung perundungan namun tidak ambil bagian secara aktif. Keempat, passive supporters menyukai aktifitas perundungan tersebut namun tidak menunjukan sikap dukungannya. Kelima, disengaged onlookers yakni mereka yang ikut melihat saja dan tidak ambil sikap mendukung atau menentang. Keenam, possible defenders tidak menyukai perundungan dan tahu jika harus menolong korban tapi tidak melakukan apa-apa. Ketujuh, defenders of the victim menunjukan sikap tidak suka dan membantu korban. Kedelapan, the vctim yang biasanya tunggal.

Lingkaran orang dalam aktifitas perundungan diatas dapat menjadi bahan refleksi kita. Selama ini kita berada dimana? Apakah di nomor enam? Atau malah di nomor dua?

Sepanjang tahun 2016, Sahabat Kapas sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu anak, telah melakukan edukasi menghentikan perundungan. Lima lokasi sekolah menjadi sasaran di wilayah Soloraya. Mayoritas peserta kegiatan mengungkapkan pernah menjadi korban. Bahkan 90% peserta laki-laki mengakui pernah melakukan atau menjadi korban stater.

Stater adalah aktifitas kolektif dikalangan anak laki-laki. Dimana kedua tangan korban dipegang dan organ genitalnya diinjak layaknya nyetater sepeda motor. Biasanya korban adalah anak baru, anak pendiam, anak lebih junior, atau badannya lebih kecil. Sedangkan pelakunya teman sebaya atau senior. Pelaku stater sebelumnya pernah menjadi korban kemudian melakukan hal serupa pada orang yang lebih lemah. Hal ini telah berlangsung sekian tahun dan dianggap sebagai bahan becandaan. Padahal semua korban statermengakui jika aktifitas tersebut sangat tidak mengenakan karena menimbulkan rasa sakit, sedih, dan marah.

Selama ini, apakah kita (orang dewasa) sudah tahu tentang stater ini? Jika iya, apakah kita sudah ikut untuk menolong korbannya? Atau hanya melihat tapi tidak pernah bersikap apapun?

Masih ingatkah dengan sosok Lex Luthor di film Superman atau Green Goblin di film Spiderman. Kedua sosok antagonis tersebut digambarkan memiliki masa kecil tidak bahagia. Kerap dicemooh atau dipukul dan tidak ada yang membantunya. Timbunan rasa sedih, kecewa, marah, dan sakit fisik bergumul menjadi satu dibawa hingga dewasa. Semuanya tercermin dalam perilaku dan karakter kedua tokoh tersebut.

Dalam kehidupan nyata, praktek demikian juga ada. Pelaku kriminal penghuni penjara tak sedikit yang pernah mendapatkan cemoohan atau ejekan ketika masa anak. Pengalaman tersebut masih diingat jelas hingga dewasa dan ada (sebagian) menduplikasinya.

Merundung orang yang lebih lemah atatu berbeda kondisi dianggap bagian dari bahan candaan oleh masyarakat kita. Sehingga ketika ada praktek merundung, tidak banyak orag yang bereaksi menolong korban karena dianggap hanya guyonan. Sikap permisif ini menjadi zat pengawet perundungan disekitar kita.

Karenanya dibutuhkan upaya bersama untuk menghentikan perundungan yang dimulai dari lingkungan keluarga dan pendidikan. Edukasi bagi orang tua dan tenaga pendidik tentang pengasuhan dan perlindungan anak sangat penting. Tiap sekolah membuat aturan yang serius ditegakkan untuk menghentikan perundungan sesuai dengan Permendikbud No.82/2015. Tersedia juga wadah konseling sebaya atau individu bagi korban maupun pelaku perundungan yang dibimbing tenaga pendidik terlatih.

Kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang dampak buruk perundungan perlu ditingkatkan. Tayangan berbau unsur perundungan juga perlu dibatasi ketat oleh pemerintah lewat Komisi Penyiaran, misalnya.

Semua pihak memiliki andil berarti untuk menyelamatkan karakter anak bangsa yang menolak perundungan dan lebih humanis pada sesama. Wong kece ora ngece.

 

Ditulis oleh Dian Sasmita (Direktur Sahabat Kapas).

Tulisan ini telah diterbitkan dengan judul Menghentikan Perundungan dalam Gagasan di media cetak Solopos, dan situs solopos.com pada tanggal 29 Juli 2017.

Foto diambil dari facebook Solidaritas Kapas.

Sumber:

[1] http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016

Touch and Talk sebagai Peredam Stressor Akibat Perundungan

Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini rentan dengan keadaan stres. Tekanan bertubi-tubi baik fisik dan psikologis yang dialami oleh remaja paling banyak datang dari lingkungan pergaulan, tekanan tugas sekolah dan tekanan peran sosial yang berubah. Bahkan pengalaman dirundung menyebabkan stres lebih cepat menyerang. Individu yang mengalami stres tak jarang menginginkan solusi yang paling ampuh dalam mengatasi gangguan stres.

Tren masalah yang dihadapi anak-anak adalah perundungan. Kasus perundungan (bullying) sendiri tahun 2017 ini meningkat. Hasil data survei kasus perundungan menunjukkan sebanyak 84%  anak usia 12 sampai 17 tahun pernah menjadi korban perundungan [1]. Seorang anak yang pernah menjadi korban perundungan pasti merasakan stres bahkan depresi, seperti kasus pertengahan Juli 2017 lalu di Thamrin City, Jakarta.

Definisi dari perundungan itu sendiri adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain [2]. Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar rasagamagenderseksualitas atau kemampuan. Tindakan perundungan terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan cyber.

Perundungan membuat kita, para orang dewasa, merasa was-was jika salah satu anak kita, ataupun adik dan saudara kita menjadi korban. Sebagai orang dewasa yang mengerti kita dapat membantu para korban dengan melakukan hal sepele. Seperti menyentuh (touch) dan ajak berbicara (talk) anak yang pernah menjadi korban. Touch and talk tidak hanya baik bagi anak yang menjadi korban perundungan, namun juga bagi penyelesaian masalah yang dihadapi anak yang membuatnya stres ataupun depresi.

Terapi touch and talk dapat dilakukan oleh orang terdekat anak, baik orang tua maupun keluarga lainnya. Tujuannya membuat kegelisahan anak mereda dan memberi dampak positif pada anak yang mempunyai gangguan perilaku. Hal tersebut didukung oleh penelitian Kemper dan Kelly pada tahun 2004 yang menyatakan perasaan nyaman akibat sentuhan juga akan merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormon endorphin [3]. Peningkatan endorphin dapat mempengaruhi suasana hati dan dapat menurunkan kecemasan seseorang, hormon ini menyebabkan otot menjadi rileks dan tenang. Jika stressor kecemasan yang dialami anak dapat diatasi maka kecemasan yang dialami anak dapat menurun (Haruyama, 2011) [4].

Kemampuan kognitif anak terutama remaja masih dalam proses berkembang. Sehingga ketika stressor datang menyerang, para remaja cenderungmencari solusi dari orang terdekat. Nah, kita sebagai orang dewasa diharapkan dapat menempati posisi tersebut, sebagai orang terdekat mereka. Berikanlah kasih sayang dan perhatian tulus lewat komunikasi. Ajak mereka bicara mengenai apa yang dirasakan, apa saja yang telah dikerjakan sehingga membuat hari-hari mereka begitu menyenangkan atau menyedihkan. Sentuhlah mereka dengan lembut dan penuh cinta, maka para remaja iniakan lupa dengan masalah yang sedang mereka hadapi karena sudah terfokuskan akan kasih sayang yang mereka dapatkan.

 

Ditulis oleh Euis Ulfa Z. (Relawan Sahabat Kapas).

Foto diambil dari facebook Solidaritas Kapas.

Sumber:

[1] http://www.viva.co.id/berita/nasional/938446-kasus-bullying-anak-meningkat-pada-2017

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Penindasan

[3] Kemper, Kathi J., & Kelly, Erica A. (2004). Treating Children With Therapeutic and Healing Touch. Pediatric Annals. 33, 4. Pg. 248.

[4] Haruyama, S. (2011). The Miracle of Endorphin. Bandung: Qanita.