Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual: Peran Siapa?

 

Mbak Dian, panggilan akrab Dian Sasmita, adalah pendiri Sahabat Kapas dan saat ini menjabat sebagai Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Selama lebih dari 15 (lima belas) tahun, Mbak Dian secara konsisten bekerja untuk mendorong sistem dan layanan yang mendukung perlindungan bagi Anak-anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan (AKKR), khususnya dengan memberikan pendampingan psikososial dan dukungan reintegrasi bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH). Dalam wawancara dengan Sahabat Kapas kali ini, Mbak Dian menyoroti tentang isu kekerasan seksual pada anak yang membutuhkan kerja cepat dan kerja cepat semua pihak.

  • Bagaimana situasi kekerasan seksual pada anak di Indonesia saat ini?

Status darurat kekerasan seksual masih berlangsung karena tingginya aduan kasus. Data SIMFONI PPA mencatat sepanjang 2023 ada 10.832 kasus kekerasan terhadap anak dengan 59,7% berupa kekerasan seksual. Pada tahun yang sama, KPAI menerima pengaduan 403 kasus berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang mengalami hambatan keadilan di tahap proses hukum dan akses layanan pendampingan.  

Saat ini kasus kekerasan seksual tidak sebatas kasus kekerasan seksual konvensional, seperti pelecehan, pencabulan, perkosaan, dan lain-lain, tapi berkembang menjadi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang semakin meningkat jumlahnya dan beragam bentuknya. KBGO tidak hanya menyerang anak perempuan tapi juga anak laki-laki. Semua punya kerentanan yang sama. Seperti kasus terbaru yang terjadi di Tangerang, beberapa anak laki-laki dijadikan objek dalam pembuatan konten pornografi. 

Berkembangnya bentuk-bentuk kekerasan seksual mengharuskan kita memperkuat jaring pengaman bagi anak. Upaya ini harus melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua melalui pengasuhan, institusi pendidikan melalui edukasi kesehatan reproduksi dan seksualitas, juga mendorong kemampuan anak membentengi diri, dan Pemerintah melalui berbagai kebijakan/program/aksi penghapusan kekerasan seksual pada anak.  

  • Apakah ada relasi kedekatan dalam kasus kekerasan seksual pada anak? Apakah ada pola-pola tertentu?

Pola relasi mudah diidentifikasi pada kasus kekerasan seksual konvensional atau yang sifatnya interaksi langsung, berbeda dengan kasus KBGO. Sama seperti kejahatan ranah digital lainnya, KBGO punya karakteristik/kekhasan, yaitu (1) borderless atau tanpa batas, sehingga pelaku bisa berasal dari mana saja, baik dalam negeri maupun luar negeri; dan (2) anonimitas atau ketidakjelasan informasi mengenai identitas, sehingga pelaku bisa memalsukan nama, alamat, usia, dan detail lainnya. 

Kedua karakteristik/kekhasan itu membuat penanganan hukum kasus KBGO menjadi penuh tantangan. Kapasitas alat pelacakan atau digital forensik dan Sumber Daya Manusia (SDM) pada Aparat Penegak Hukum (APH) belum mampu mengikuti derasnya arus kejahatan ranah digital. Akhirnya, kasus KBGO masih ditangani dengan model penanganan kasus kekerasan seksual konvensional sehingga prosesnya menjadi sangat lambat atau bahkan tidak selesai. Padahal semakin lama proses pengungkapan kasus akan membuat korban semakin menderita karena dihantui rasa takut, was-was, dan khawatir. 

Sama halnya dengan salah satu kasus yang didampingi Sahabat Kapas yang sampai hari ini jalan di tempat disebabkan ketidaktersediaan alat pelacak dari Polresta Solo.  

  • Apakah regulasi di Indonesia sudah cukup melakukan intervensi dalam memberikan perlindungan dalam kasus kekerasan seksual pada anak?

Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) sudah sangat elaboratif dalam merumuskan arah kebijakan sekaligus strategi pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak. Ada 7 (tujuh) strategi dalam Stranas PKTA, antara lain (1) penyediaan kebijakan, pelaksanaan regulasi, dan penegakan hukum; (2) penguatan norma dan nilai anti kekerasan; (3) penciptaan lingkungan yang aman dari kekerasan; (4) peningkatan kualitas pengasuhan dan ketersediaan dukungan orang tua/pengasuh; (5) pemberdayaan ekonomi keluarga rentan; (6) ketersediaan dan akses layanan terintegrasi; dan (7) pendidikan kecakapan hidup untuk ketahanan diri anak. 

Tapi perlu diingat bahwa regulasi sebaik apapun akan menjadi tumpul ketika tidak dioperasionalkan dengan maksimal. Artinya, diperlukan komitmen tinggi dari para pemangku kepentingan untuk memastikan efektivitas ketersediaan, kecukupan, dan kualitas penyelenggaraannya. Setiap aksi harus dipantau dan dievaluasi berkala untuk memastikan perlindungan anak bisa terlaksana dengan optimal dan komprehensif.  

Beban Pemerintah memang besar, tapi menurut saya beban akan semakin besar jika tidak dilakukan pencegahan dan penanganan. Ketidakseriusan Pemerintah bisa menyebabkan efek domino dalam jangka panjang. Misalnya dalam hal penanganan, saya membayangkan ketika anak korban kekerasan seksual tidak mendapatkan akses pemulihan, maka anak tersebut rentan mengalami depresi, mudah sakit, dan berujung putus sekolah. Kondisi kesehatan anak yang mudah sakit berkaitan dengan beban biaya kesehatan yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), sedangkan kondisi pendidikan anak yang putus sekolah membuatnya rentan berada di garis kemiskinan sehingga berkaitan dengan beban biaya Bantuan Sosial (Bansos) yang harus dikeluarkan Pemerintah. 

Bukan hanya anak sebagai korban, anak sebagai pelaku atau yang disebut sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH) juga punya hak yang sama atas penanganan, perlindungan, pemulihan, dan rehabilitasi. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menyebutkan kewajiban untuk merehabilitasi pelaku. Dari 7 (tujuh) aturan pelaksana UU TPKS yang 3 (tiga) di antaranya sudah disahkan, saya belum melihat ketersediaan aturan pelaksana yang mengcover dengan tegas kebutuhan rehabilitasi AKH. Padahal upaya rehabilitasi adalah bagian penting untuk mencegah keberulangan tindak pidana. Perlu keseriusan agar tidak menimbulkan efek domino secara jangka panjang. 

Fokus perhatian Pemerintah tentu tidak hanya pada penanganan, tapi juga memastikan semua pihak serius dalam upaya pencegahan. Setiap Kementerian/Lembaga pusat maupun daerah diharapkan terlibat aktif melalui kebijakan/program/aksi untuk melindungi anak dari kekerasan seksual, misalnya: 

  • Pemerintah Desa (Pemdes); mengalokasikan anggaran Desa untuk mendukung upaya perlindungan anak. Dalam hal ini, harus diperjelas berapa persen besaran anggaran yang ideal.
  • Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR); memberikan dukungan untuk memfasilitasi pendirian atau pembangunan lembaga layanan, rumah aman, dan sebagainya.
  • Kementerian Perhubungan (Kemenhub); menyediakan transportasi publik yang aman dan nyaman untuk anak, memberikan edukasi tentang kekerasan seksual di transportasi publik, menyebarluaskan informasi tentang layanan pelaporan jika melihat dan/atau mengalami kekerasan di transportasi publik, dan sebagainya. Perlu mencontoh praktik baik yang dilakukan perusahaan Kereta Api Indonesia (PT KAI). 

Selain peran Pemerintah, peran masyarakat juga besar. Masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok, bisa ikut serta menyebarluaskan informasi, mengedukasi, dan/atau mendampingi yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Praktik baik seperti ini sudah sering dilakukan (NGO)/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perlu sekali memaksimalkan kolaborasi dan sinergi antara Pemerintah dan masyarakat agar dampaknya semakin besar. 

  • Bagaimana keterkaitan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) dengan pencegahan kekerasan seksual? Seperti apa model PKRS yang bisa dikembangkan di Indonesia?

Jangan melakukan edukasi hanya untuk menggugurkan kewajiban semata. Edukasi harus dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus agar melekat dalam ingatan masyarakat dan berubah menjadi suatu tindakan positif. Edukasi diharapkan selalu ada meski masyarakatnya terus berganti. 

Beberapa inisiatif dan strategi yang diperhatikan agar edukasi bisa berkelanjutan, seperti (1) anak harus diberikan edukasi terkait PKRS sejak dini; (2) materi harus disesuaikan dengan bahasa dan kapasitas/kemampuan anak agar mudah dicerna; (3) memastikan semua materi tersebarluaskan dengan maksimal; dan (4) melakukan pembaharuan materi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

  • Adakah yang berbeda ketika dulu Mbak Dian bekerja dari grassroot/ akar rumput dan sekarang bekerja di level kebijakan dan komisioner? Apa gap dalam perlindungan anak yang menjadi tantangan antara kebijakan dengan implementasi?

Seringkali pemerintah pusat hanya sebatas membuat kebijakan, setelahnya kurang melakukan pengawasan pada tahap implementasi. Padahal pengawasan diperlukan untuk memastikan agar setiap kebijakan mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Dalam lingkup perlindungan anak, fungsi pengawasan memang menjadi tanggung jawab KPAI. Lembaga ini mengawasi apakah setiap Kementerian/Lembaga, baik pusat maupun daerah, menjalankan perannya dengan optimal. Namun melihat kondisi KPAI saat ini, semua tanggung jawab tersebut tidak bisa hanya diserahkan pada KPAI. Sebaiknya tidak hanya mengandalkan kepada satu mekanisme pengawasan saja. Setiap Kementerian/Lembaga bisa memfungsikan Inspektorat agar tidak hanya fokus mengecek laporan keuangan, tapi juga memastikan apakah program berjalan tepat sasaran. 

Seringkali program pemerintah ketika turun ke masyarakat masih menggunakan bahasa ala pemerintah yang sulit dimengerti. Pemerintah perlu membahasakannya dengan lebih membumi sehingga masyarakat, Pemerintah Desa, dan Pemerintah Daerah paham bahwa kekerasan seksual adalah masalah bersama, bukan semata untuk menegakkan Undang-Undang Perlindungan Anak dan/atau Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual saja. Jadi perlu ada manajemen/pola/strategi komunikasi yang lebih positif untuk membangun kesadaran bersama. Kalo teman-teman Sahabat Kapas menyebutnya sikap asertif.

-oleh Aprilia Kusuma dan Evi B.

Tantangan Dunia Pendidikan Anak Berkonflik Hukum

Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal, kesejahteraan pendidik kurang, perundungan banyak terjadi di sekolah, ijazah pun tak menjamin mencari pekerjaan semakin mudah. Seperti tidak ada habisnya membahas kemelut dunia pendidikan di Indonesia. Banyak sekali kekurangan, baik dari sistem hingga pelaku lapangan. Rasa-rasanya kita selalu dituntut untuk harus banyak bersabar, mengelus dada, dan berdoa.

Berbicara tentang pendidikan, Kak Bee, seorang spesialis media sosial domisili Solo, mengungkapkan bahwa dirinya pernah mengalami jebakan kelas menengah tanggung saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dengan posisi ayahnya yang seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) kabupaten, ia kesulitan untuk mendapatkan keringanan biaya kuliah. Padahal biaya pendidikan dan perintilannya sebagai anak perantauan tidaklah murah. Tak ayal ia harus bekerja kesana- kemari untuk bisa bertahan sambil terus mencoba untuk berprestasi.

Lain kak Bee, lain pula dengan teman- teman yang berada di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Bagi sebagian dari mereka, ada yang lebih mendesak daripada mengejar pendidikan.

“Bukannya saya tidak mau melanjutkan pendidikan. Saya hanya ingin bekerja dan membuat kedua orang tua saya bahagia.”

Begitulah jawaban yang seringkali keluar dari anak-anak saat ditanya mengenai rencana pendidikan mereka. Bagi anak-anak di LPKA, puncak sukses itu adalah tentang membuat orangtua bangga kepada mereka. Jalan cepat yang ada di pikiran mereka adalah dengan bekerja sehingga mampu berdiri di atas kaki sendiri, bukan melanjutkan sekolah dengan segala prosedur panjang dan biaya yang menyertai.

Apakah anak- anak ini tidak paham pentingnya pendidikan?

Tentu paham. Mereka paham betul bahwa pendidikan itu penting. Kita pun sama. Kita semua setuju bahwa pendidikan itu penting. Pendidikan menjadikan seseorang berpengetahuan, memberikan kesempatan untuk berjejaring, serta membuka kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup.Tujuan pendidikan seperti ini juga yang diharapkan dapat digapai oleh anak- anak yang mengikuti pendidikan di lembaga pembinaan.

Namun, sebuah pertanyaan menyeruak. Apakah pendidikan yang mereka dapatkan di LPKA masih relevan dan memberikan “keuntungan” yang dapat merubah kehidupan mereka?

Sebuah meta analisis yang dilakukan dua peneliti Amerika dalam American Journal of Criminal Justice menyimpulkan bahwa mengikuti pendidikan di dalam penjara mampu menurunkan angka residivisme. Setiap jenis pendidikan juga memberikan efek yang positif tergantung jenis dan level pendidikan yang ditempuh. Pendidikan vokasi memberikan timbal balik paling besar per satu dolar yang dikeluarkan, sedangkan pendidikan tinggi memberikan timbal balik terbesar secara dampak.

Meskipun studi ini menyasar narapidana dewasa, namun penelitian ini bisa menjadikan salah satu acuan dalam melihat bagaimana pendidikan mampu memberikan timbal balik positif kepada mereka yang tercerabut kemerdekaannya.

Pendidikan adalah hak setiap manusia termasuk untuk anak yang menjalani proses pidana. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan Permen KemenPPPA, pemerintah menjamin anak bisa mendapatkan pendidikan meskipun mereka sedang berada di lembaga pembinaan.

Di dalam LPKA, ada beberapa skema penyelenggaraan pendidikan, antara lain Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) kerjasama dengan Dinas Pendidikan, PKBM mandiri, dan juga sekolah filial. Selain itu lembaga pembinaan juga menyediakan pendidikan vokasi berupa latihan kerja untuk ketrampilan-ketrampilan yang banyak dibutuhkan dalam dunia kerja. Beberapa program dilaksanakan oleh lembaga profesional dengan sertifikasi, sebagian besar dari lembaga swasta. Hanya saja yang disayangkan adalah banyak program latihan kerja yang tidak sustainable (berkelanjutan), belum terukur dampak, dan terkendala dalam proses implementasinya sehingga luaran yang diharapkan belum tercapai.

Pendidikan formal dan nonformal di LPKA hendaknya dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kebutuhan anak. Namun tak bisa dipungkiri, banyak sekali kendala yang terjadi di lapangan. Di antaranya adalah adanya perbedaan kemampuan kognitif anak yang cukup signifikan satu sama lain, keterbatasan tenaga pengajar, minimnya fasilitas yang berkualitas, serta program pasca LPKA yang mampu melacak hasil dan impak dari program pendidikan di dalam LPKA.

Hingga kini, analisis data administratif pemasyarakatan menunjukkan hanya 49% anak yang berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan di dalam lembaga. Sumber data tersebut  belum dapat menunjukkan jenis pendidikan formal atau nonformal yang diikuti anak. Namun dengan segala kekurangan yang ada dalam pendidikan yang disediakan untuk anak LPKA, mari tetap mengapresiasi ikhtiar yang sudah dilakukan pemerintah serta petugas- petugas yang berdedikasi memberikan layanan untuk anak. Sambil tak lupa untuk kita selalu berbenah dan mengusahakan perbaikan,- dengan pendidikan, demi masa depan.

Sulitnya Menjadi Laki-laki untuk Bebas Terbuka dalam Bercerita

Oleh Janggan Aulia Agastya

 

Judul di atas mengingatkan saya pada sebuah lagu yang cukup populer semasa saya kecil. Lagu yang dibawakan oleh putra-putra musisi Ahmad Dhani dan Maia Estianty, yaitu Al, El, dan Dul yang berjudul “Aku Bukan Superman”. Kurang lebih lagu tersebut menceritakan tentang seorang laki-laki yang menangis karena ditinggal oleh pacarnya. Namun ada beberapa bagian lirik yang membuat saya berpikir sejenak. Liriknya berbunyi seperti ini. 

 

Ayahku selalu berkata padaku

Laki-laki tak boleh nangis

Harus selalu kuat harus selalu tangguh

Harus bisa jadi tahan banting

Ayahku tersayang maafkanlah aku

Jika aku masih menangis

Masih belum bisa

Menjadi seperti apa yang ayah selalu mau

Memang sejatinya dari kecil kita, bahkan saya juga ditanamkan tangisan adalah tanda bahwa seseorang itu lemah. Kesedihan tidak identik dengan kejantanan yang tegar dan tahan banting. Anggapan laki-laki sebagai makhluk yang superior memang masih sangat melekat di masyarakat kita. Anggapan tersebut membuat laki-laki cenderung enggan atau bahkan kesulitan untuk mengekspresikan emosi lainnya. Sejak 2020 sampai sekarang, layanan KCO telah melayani 50 klien remaja laki-laki and 1 klien perempuan  LPKA Kutoarjo. Data dari layanan Konseling dan Curhat Online (KCO) Sahabat Kapas untuk remaja non LPKA dari  tahun 2020, terdapat 53 orang mengakses layanan KCO, dengan 86,4% pengakses layanannya adalah perempuan. Hal ini menunjukkan minimnya partisipasi laki-laki untuk mengakses layanan yang berkaitan dengan membuka diri. 

Dengan data yang dimiliki Sahabat Kapas tersebut, stereotip laki-laki terbiasa memendam masalah, dan perempuan lebih mudah untuk terbuka dan bercerita mungkin ada benarnya. Ini menandakan kemungkinan laki-laki mengalami masalah emosional akan sangat tinggi sehingga kondisi kesehatan mental pada laki-laki juga kemungkinan lebih buruk dari pada perempuan. Lantas apa yang membuat begitu banyak laki-laki masih saja sulit untuk membuka diri di tengah perkembangan zaman yang sudah sangat modern?

Budaya Patriarki

Agaknya, hal ini pula yang menjadi latar belakang dan membuat peranan laki-laki kemudian sangat besar dan tidak jarang menganggap diri mereka yang paling baik, benar, berkuasa, dan berhak memimpin dibandingkan dengan gender lain. Dalam budaya patriarki yang banyak diimplementasikan, sadar atau tidak sadar menuntut laki-laki untuk tumbuh dewasa dan tidak boleh menunjukkan emosi. Hal ini dapat membuat mereka terlihat lebih kuat dan maskulin. Kepercayaan yang salah tentang sikap atau sifat yang harus ditunjukkan oleh seorang pria disebut Toxic Masculinity menurut Oxford Dictionary (katadata.co.id). Yaitu ketika maskulinitas menjadi yang mutlak dan harus ada pada diri seorang laki-laki.

Budaya patriarki jelas merugikan semua gender baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini menandakan bahwa patriarki adalah sebuah gagasan kuno yang sudah seharusnya tidak diturunkan kembali ke generasi berikutnya. Kembali lagi, sekuat-kuatnya laki-laki, ia juga manusia biasa. Dapat lelah, dapat letih, dapat bersedih dan bahkan tidak menjadi masalah jika ingin mengeluh. Karena itu menandakan emosi kita sebagai manusia bekerja sesuai dengan tugasnya.

Pengalaman Buruk Masa Lalu

Kenangan bisa menjadi hal yang kuat dan akan sangat dipertimbangkan bagi seorang laki-laki untuk mau terbuka. Seorang laki-laki akan menutup rapat-rapat buku yang menuliskan pengalaman buruk masa lalunya. Namun bukan berarti hal tersebut hilang, melainkan sewaktu-waktu juga dapat terbuka kembali. Hal ini menunjukkan laki-laki cenderung mencari katarsis yang bersifat sementara sebagai stress release tanpa menyelesaikan suatu permasalahan sampai ke akarnya. Akan tetapi hanya memendam saja. Regulasi emosi yang buruk dan perilaku tersebut juga berdampak pada keterbukaan laki-laki terhadap apa yang sedang dialami. 

Takut Akan Penolakan

Bagaimana jika laki-laki sudah mau mencoba terbuka secara emosional terhadap orang lain, tetapi orang itu tidak menyukai apa yang dikatakannya? Ini bisa menjadi salah satu ketakutan bagi sebagian laki-laki untuk mulai membuka dirinya kepada orang lain. Laki-laki cenderung melihat proses tersebut sebagai tindakan yang berisiko. Laki-laki tidak selalu yakin apa yang akan dikatakannya dan bagaimana kiranya orang akan bereaksi. Bisa jadi mereka justru menjadi tidak disukai, dan itu adalah ketakutan yang normal. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya peduli dengan apa yang dipikirkan orang tentangnya. Oleh sebab itu, kegiatan membuka diri secara emosional dan membagikan hal-hal yang sangat pribadi memunculkan kekhawatiran akan dihakimi. Karenanya mereka lebih memilih untuk menutup diri dan tidak mengatakan apa-apa. 

Duka untuk RF Jelang Hari Anak Nasional

Peringatan Hari Anak Nasional dinantikan dengan sukacita oleh anak-anak dari berbagai wilayah. Tidak hanya anak perkotaan, anak dari berbagai wilayah pun (diharapkan) ikut merayakan. Termasuk anak-anak yang membutuhkan langkah-langkah perlindungan khusus. Salah satunya anak yang berkonflik hukum dan berada di dalam institusi.

LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak)  adalah salah satu institusi yang diamanatkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak untuk mendukung rehabilitasi anak selama menjalani hukuman pidana. Mereka yang berada di dalam LPKA adalah anak-anak yang berani bertanggung jawab terhadap kesalahannya. Meskipun ketika kecil, mereka diasuh dengan keterbatasan kasih sayang serta perhatian. Bahkan tak sedikit yang diabaikan atau ditelantarkan orang tuanya.

Pembinaan atau rehabilitasi anak di dalam LPKA bukan hal mudah. Namun tidak juga sulit ketika dilakukan oleh semua kementerian/lembaga dan stakeholder. Bukan hanya tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM semata. Sistem pemasyarakatan anak yang ideal dapat terealisasi jika didukung dengan kebijakan yang mampu memastikan pemenuhan dan perlindungan hak anak di LPKA/LPAS. Serta SDM yang berkualitas sehingga mampu mendukung upaya perubahan perilaku anak. Dukungan SOP yang menjamin anak diperlakukan secara manusiawi serta penghargaan martabat dan harga diri anak (UU Perlindungan Anak, UU SPPA).

Ketiga hal tersebut diharapkan dapat mengeliminasi praktik-praktik prisonisasi, bullying, kekerasan, atau praktik-praktik buruk lainnya. Karena anak-anak yang berada di LPKA adalah anak yang rapuh psikis dan mentalnya. Sehingga bukan cara penjeraan yang digunakan. Namun pendekatan dengan penuh kasih sayang lewat konseling, menjadi cara ampuh untuk perubahan perilaku mereka.

Selain itu, anak-anak yang berada dalam LPKA sesuai dalam Havana Rules adalah mereka yang dicabut kebebasannya saja. Namun hak-hak dasar lain sebagai manusia tetap harus dipenuhi. Seperti anak tidak boleh disiksa oleh aparat penegak hukum maupun dianiaya oleh sesama penghuni LPKA. Diperhatikan kebutuhannya seperti pendidikan, waktu luang dan rehabilitasi/pemulihan. Terhubung dengan keluarga dan kesehatan. Aspek kesehatan sendiri dijelaskan lebih lanjut dalam The Nelson Mandela Rules. 

Aturan tersebut menekankan penyediaan perawatan kesehatan bagi narapidana adalah tanggung jawab negara. Dan aturan-aturan mengenai hubungan profesional petugas kesehatan dengan pasien diatur sama seperti hubungan petugas kesehatan dengan pasien yang berlaku di masyarakat umum. Layanan yang diberikan ditekankan untuk mengevaluasi kesehatan fisik maupun mental termasuk narapidana yang berkebutuhan khusus. 

Pelaku kekerasaan pada RF jika dilakukan oleh teman sebayanya, sebaiknya diberikan intervensi yang melibatkan ahli psikolog, psikiater, pekerja sosial, petugas kemasyarakatan. Agar pelaku dapat dipulihkan perilakunya dan tidak mengulangi kekerasan di kemudian hari. Selain itu, duka mendalam untuk RF dan keluarganya. Mereka berhak atas informasi yang sebenar-benarnya tentang penyebab meninggalnya anak mereka. Baik pelaku maupun korban diberikan akses terhadap keadilan restoratif, keadilan yang memulihkan.

Kasus RF menjadi alarm pemerintah bahwa reformasi sistem pemasyarakatan anak perlu segera dilakukan. Bukan sekedar menciptakan slogan LPKA ramah anak, namun juga pembenahan dari elemen norma/kebijakan, struktur/kelembagaan, dan proses/praktiknya. 

Jangan menunggu hadir RF RF lainnya. Mari bergerak bersama untuk meningkatkan kesejahteraan psikososial anak-anak di lembaga pembinaan.

 

Dian Sasmita/ Sahabat Kapas

Pengacara dan penggiat isu anak berkonflik hukum

Anak Berkonflik dengan Hukum Juga Butuh Ruang Katarsis

Masihkah Anda ingat dengan salah satu lirik lagu ini?

Yang sebaiknya kau jaga 

Adalah 

Dirimu sendiri

Ya, penggalan lirik lagu “Sulung” karya Kunto Aji menjadi sangat bermakna akhir-akhir ini. Kita sering kali terlalu keras pada diri sendiri untuk memenuhi standar sosial yang ada. Kita bahkan mencoba sekeras mungkin untuk diterima dan menjadi sama. Mengabaikan fakta bahwa diri kita sedang tidak baik-baik saja. 

Perasaan cemas mengenai tanggapan orang serta kurangnya rasa percaya terhadap seseorang membuat kita enggan menceritakan apa yang kita rasakan. Memendam dan mengabaikan, berharap waktu yang menyembuhkan bukanlah solusi. Perasaan-perasaan negatif yang tidak dikeluarkan, sedikit demi sedikit akan menumpuk dan BOOM! Ia akan meledak jika telah mencapai puncaknya.

Selama kita tidak bisa atau tidak mampu mencurahkan dan mengekspresikan emosi maka bom waktu akan meledak dan mencelakai orang sekitarnya, dan juga orang itu sendiri. Keadaan ini sangat memprihatinkan, bahwa “yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri” memang benar adanya. Sehingga menjadi penting untuk dapat mengerti cara mengekspresikan emosi yang cocok dengan diri sendiri. 

Katarsis dalam ilmu psikologi biasa disebut sebagai cara untuk meluapkan emosi dalam hati secara positif agar hati dan pikiran menjadi lebih lega. Dikutip dalam Alodokter.com beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai ruang katarsis adalah:

  1. Bercerita atau curhat dengan teman 
  2. Berolahraga 
  3. Bernyanyi
  4. Berteriak 
  5. Menulis 

Cara-cara diatas mudah dan dapat dilakukan oleh semua orang, namun bagaimana dengan remaja yang berkonflik dengan hukum? Bagaimana dengan mereka yang berada dibalik jeruji besi? Anak berkonflik dengan hukum adalah anak yang sangat rentan terpapar stress. Berdasarkan pengalaman pendampingan dari Sahabat Kapas terhadap anak berkonflik dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, ditemukan anak yang mengalami gejala stres. Seperti hilang nafsu makan, menarik diri dari lingkaran pertemanan, dan sikap yang agresif. Sayangnya mereka tidak dapat bergerak bebas melakukan aktivitas seperti remaja pada umumnya. Kita tahu bahwa kebebasan mereka dicabut sementara. Terlebih lagi lingkungan, aturan dan orang-orang baru dengan latar belakang yang berbeda semakin menyempitkan kepercayaan diri anak dalam mengekspresikan emosinya. 

Sering melamun, malas dan munculnya konflik di antara anak menjadi jalan pintas mengekspresikan emosi, atau bahkan anak sering tidak mengenali emosinya. Kembali lagi bahwa “yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri” seharusnya juga berlaku untuk anak-anak berkonflik hukum. Kebutuhan untuk didengarkan tanpa mendapatkan judgment menjadi penekanan dalam membantu menciptakan ruang katarsis untuk mereka. Sederhana, namun mari sejenak renungkan sudahkah ruang-ruang katarsis dikenalkan dan diciptakan untuk  anak berkonflik hukum? 

 

Referensi 

https://www.alodokter.com/memahami-katarsis-pelepasan-emosi-yang-baik-untuk-kesehatan-mental

Tips Lancar Berbicara di Depan Umum

Berbicara di depan umum sama halnya dengan kita sedang berbicara tentang Take and Give. Terimalah setiap informasi yang baik, lalu kembangkan menjadi formasi yang baik bagi diri sendiri dan sekitar. Berbicara di depan umum adalah hal yang sering kali dengan sadar atau tidak kita lakukan. Mulai dari hal yang penting sampai tidak penting, misalnya bercanda dengan sekelompok teman. Kegiatan tersebut salah satu bagian dari berbicara di depan umum.

Nah, kali ini ada hal yang menarik dari berbicara di depan umum. Kita akan coba menggali potensi diri dan beberapa tips yang harus diketahui saat berbicara di depan umum.

Berbicara di depan umum kenapa bisa menjadi topik untuk menggali potensi diri? Ya, hal itu karena berbicara di depan umum termasuk skill yang kita miliki dari lahir dan dapat kita kembangkan saat kita menjalani hidup selanjutnya. Potensi ini akan sangat terlihat dan menonjol ketika kita sedang memimpin sebuah rapat atau acara, menjadi pembicara atau narasumber, dan lainnya.

Dalam keadaan seperti itulah, kita mulai tersadar untuk menggali sejauh mana kita dapat menguasai tentang berbicara di depan umum ini atau sering juga disebut dengan public speaking. Di bawah ini ada beberapa tips yang bisa kita persiapkan untuk berbicara di depan umum, antara lain:

  1. Mempersiapkan Diri

Hal yang utama adalah persiapan dari dalam diri sendiri, yaitu kita harus mempersiapkan diri untuk dapat berbicara di depan umum. Mempersiapkan diri dalam hal ini kita bisa artikan dengan mempersiapkan secara mental, materi, dan tujuan saat berbicara di depan umum.

  1. Mengambil Ruang

Salah satu cara untuk menghilangkan nervous dan mengelola rasa takut sebelum memulai berbicara adalah dengan mengambil ruang. Banyak hal yang bisa kita lakukan dan biasanya setiap orang memiliki caranya tersendiri. Salah satu contohnya, kita mengaca dan berbicara di depan cermin, menyendiri, dan menjauh dari kebisingan untuk memfokuskan diri. Selain itu,  masih banyak lagi contoh lainnya yang dapat dicoba untuk mengelola rasa takut sesuai dengan kenyamanan diri kita masing-masing.

  1. Menjadi Diri Sendiri

Dalam hal ini, poin yang penting saat berbicara di depan umum adalah menjadi diri sendiri. Kita tidak perlu mengelola terlalu ekstra apa yang akan kita sampaikan. Masing-masing orang mempunyai caranya sendiri. Bisa dengan humor yang diberikan ditengah penyampaian materi, yaitu dengan memberikan umpan pertanyaan kepada pendengar yang lain ketika mulai nervous dan tidak fokus.

  1. Memilih Diksi yang Ringan

Gunakan bahasa yang mudah dipahami. Ketika berbicara sebaiknya kita menggunakan intonasi secara jelas dan pembahasan singkat sesuai topik dan tujuan pembicaraan. Hal itu bertujuan agar saat kita berbicara tidak terlalu bertele-tele.

Ayah dan Bahasa Cintanya yang Sederhana

Hari ini aku menamatkan film berjudul “Jendela (Home)” dari Studio Sanak yang bisa kalian nikmati di youtube. Film ini membingkai hubungan antara ayah dan anak laki-laki. Sekilas tak ada yang aneh dalam film ini, tapi detik-detik kecanggungan itu akan mulai terasa saat kereta melaju. Sang anak laki-laki hanya sibuk memperhatikan jendela kereta, sedangkan sang ayah pun malu-malu untuk membuka obrolan. Mereka saling melempar pandangan tanpa keluar satu patah kata pun. Dada kita akan dibuat sangat nyeri justru ketika ayah dan anak laki-laki ini membuka suara. Continue reading “Ayah dan Bahasa Cintanya yang Sederhana”

Menjaga Kesehatan Mental Bantu Remaja Laki-laki Cegah Kekerasan

Kekerasan dapat dicegah salah satunya perlu menjaga kesehatan mental remaja laki-laki. Tumbuh dewasa dengan segala kepribadian yang melekat dalam diri merupakan bentuk dari perjalanan yang kita alami sedari kecil. Keluarga adalah support system terdekat dan pertama bagi setiap individu. Pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak, memengaruhi bagaimana anak itu tumbuh, berpikir, dan berperilaku.

Pameo “children see, children do” mewakili gambaran seberapa besar dampak pengasuhan pada anak. Beberapa penelitian menggunakan Teori Attachment Style yang mengatakan bahwa adanya pengaruh antara pengasuh dan anak menunjukkan bahwa anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang positif, cemas, atau tertutup dikarenakan pola asuh yang ia alami saat kecil. Continue reading “Menjaga Kesehatan Mental Bantu Remaja Laki-laki Cegah Kekerasan”

Agresi dan Kompleksitas Remaja Laki- Laki

Oleh: Apriliani Kusumawati & Evi Baiturohmah

Keterlibatan anak muda dalam demonstrasi yang menyebabkan insiden kekerasaan dan perusakan fasilitas publik mengundang perhatian khalayak. Gonjang-ganjing terkait penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Cipta Kerja merebak di tahun 2020. Ada sisi lain yang disorot tajam dalam pemberitaan media selain substansi undang-undang. Tak lain dan tak bukan adalah kehadiran anak muda.

Anak-anak muda yang kebanyakan merupakan adalah pelajar sekolah laki-laki ini oleh khalayak luas kemudian dilabeli sebagai remaja kemarin sore yang tidak tahu apa-apa, mudah terprovokasi, dan enteng melakukan kekerasan. Mereka adalah objek empuk yang gampang ditunggangi kepentingan politik terselubung, begitulah persepsi populer masyarakat awam di luar sana.

Continue reading “Agresi dan Kompleksitas Remaja Laki- Laki”

Siapkah Kita Membuka Sekolah Tatap Muka?

Oleh: Apriliani Kusumawati & Evi Baiturohmah*

Pecah rekor lagi!

Sebulan sebelum pembelajaran tatap muka yang dianjurkan pemerintah resmi dimulai, kasus COVID-19 di Indonesia kembali meroket. Bahkan, memecahkan rekor kasus tertinggi selama pandemi.

Parahnya, anak-anak yang sempat digolongkan sebagai kelompok dengan risiko lebih rendah, kini menjadi kelompok dengan kerentanan yang mengkhawatirkan. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) per 20 Juni 2021, sebanyak 12,5% dari kasus positif di Indonesia adalah anak (usia 0-18 tahun). Sebanyak 3-5% di antaranya meninggal dunia. Dari jumlah anak yang meninggal, 50% dari mereka adalah balita. Aman Pulungan sebagai Ketua IDAI menyatakan persentase kematian anak Indonesia akibat COVID-19 adalah yang tertinggi di dunia!

Data ini semakin meresahkan orang tua dan pihak-pihak yang peduli terhadap isu anak. Bagaimana tidak? Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, Pemerintah telah mengizinkan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) pada tahun ajaran baru, Juli 2021. 

Orang tua dan tenaga pendidik memang semula berharap anak bisa segera kembali ke sekolah setelah melihat tren penurunan kasus COVID-19 pada awal 2021. Kini, hampir semua pihak merasa gamang melihat situasi pandemi yang kian genting tiap harinya. 

Kebelet kembali ke sekolah

Banyak yang bertanya mengapa Pemerintah terkesan kebelet membuka sekolah dan melangsungkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM)? Apakah tidak takut jika anak-anak akan terinfeksi COVID-19 di sekolah? 

Penting diketahui, pemerintah mengizinkan PTM dilaksanakan dengan pengaturan yang ketat. Pemerintah sekaligus memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah (Pemda) dan orang tua terkait pelaksanaan PTM ini. Pemda berhak menerapkan regulasi terkait PTM untuk satuan pendidikan di wilayah administrasi mereka. Di sisi lain, orang tua juga diberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih jenis pembelajaran terbaik untuk anak mereka, sehingga anak juga berhak untuk tidak mengikuti PTM di sekolah.

Keputusan pemerintah bukan tanpa pertimbangan yang matang. Tempo merilis data bahwa pada November 2020 yang memaparkan sebanyak 532 ribu satuan pendidikan mengajukan permohonan izin melangsungkan PTM. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dinilai sangat jauh dari efektif. Pada awalnya, PJJ diterima sebagai alternatif jangka pendek menggantikan PTM di saat pandemi. Akan tetapi, semakin lama pelaksanaan PJJ yang tak kunjung usai memunculkan masalah dan tantangan baru.

Learning loss yang menghantui

PJJ yang bersandar pada keberadaan teknologi menjadi pengganti yang payah untuk pembelajaran tatap muka. Sebelum ribut tentang menurunnya kualitas pembelajaran, masalah utama yang perlu diselesaikan adalah tentang ketersediaan akses

SMERU Research Institute pada 2020 menemukan fakta bahwa peserta didik di sekolah negeri yang berlokasi di wilayah pedesaan, khususnya di luar Pulau Jawa, berada di situasi amat sulit untuk melaksanakan PJJ. Mulai dari akses terhadap gawai dengan fitur yang memadai untuk pembelajaran daring, akses terhadap internet, guru yang adaptif, orang tua yang mampu mendampingi saat belajar atau menyediakan fasilitas untuk pembelajaran daring, hingga sekolah yang belum bisa memberikan dukungan memadai.

Fakta serupa terlihat dalam rilis analisis survei oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Guru di daerah Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal (3T) mengungkapkan 93,3% siswa mengalami hambatan berupa kurang memadainya fasilitas pendukung, antara lain listrik, jaringan internet, gawai, laptop, dan sebagainya. 

Survei juga menunjukkan bahwa tantangan terbesar lainnya adalah kurangnya konsentrasi dalam belajar dan kemampuan mengoptimalkan media digital. Jika masalah-masalah tersebut berlanjut, dapat dipastikan bahwa peserta didik yang berada dalam situasi kurang beruntung berpotensi mengalami penurunan kemampuan belajar (learning loss). 

The Education and Development Forum mengartikan learning loss sebagai situasi di mana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan, baik umum atau khusus, atau kemunduran secara akademis yang terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau ketidakberlangsungannya proses pendidikan. Tentu, dampaknya baru akan terasa dalam jangka panjang. Beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan kemampuan belajar seorang murid saat ini akan mempengaruhi perkembangan pengetahuannya kelak yang berpotensi menciptakan ketimpangan pendapatan di masa depan.

Pada Agustus 2020, World Bank merilis publikasi yang menyatakan estimasi dampak learning loss yang dialami oleh anak-anak Indonesia karena penutupan sekolah akibat pandemi COVID-19. Dalam kurun waktu empat bulan, sejak Maret hingga Juli 2020, diperkirakan skor PISA anak Indonesia menurun sebanyak 11 poin di kategori membaca dan pendapatan tahunan mereka di masa depan akan mengalami penurunan sebesar 249 dolar. 

Sederet implikasi lain yang tak kalah penting

Badan dunia seperti World Bank, United Nations Children’s Fund (UNICEF), United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), serta organisasi otoritatif lainnya sepakat mendorong pentingya pembukaan sekolah dengan pemberlakuan standar ketat. Hal ini tentu saja karena sekolah mempunyai peran krusial dalam tumbuh kembang anak. Bukan saja menjadi tempat anak memperoleh keterampilan kognitif, sekolah juga merupakan wadah di mana anak bisa bermain tanpa terbebani pekerjaan domestik. Sekolah adalah tempat mereka mendapatkan perlindungan aman serta yang menyediakan nutrisi penting untuk tumbuh kembang bagi sebagian anak. 

Penutupan sekolah dan pemberlakuan PJJ menutup semua akses tersebut sehingga banyak anak yang bukan hanya mengalami keterlambatan progres akademik, tetapi juga kehilangan kesempatan bersosialisasi dengan sebaya. Lebih dari itu, anak-anak pun tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan hak yang layak. Hasilnya, kasus kekerasan terhadap  anak meningkat, dispensasi pernikahan usia anak naik drastis, serta kesehatan mental anak terganggu.

Melansir Katadata, UNICEF mencatat sebanyak 938 anak usia 7 hingga 18 tahun putus sekolah karena terdampak pandemi. Dari jumlah tersebut, 74% anak putus sekolah karena tidak ada biaya, 12% karena tidak ada keinginan, 3% karena pengaruh lingkungan, 2% karena bekerja, dan 8% karena alasan lainnya. Situasi ini dianggap menjadi lonceng tanda bahaya karena berpotensi meningkatkan potensi permasalahan sosial, salah satunya pernikahan anak.

Data dari situs resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung menunjukkan fakta bahwa angka dispensasi pernikahan melonjak tajam terutama saat pandemi. Pada 2016 ada 6.488 dispensasi yang dikabulkan; 2017 ada 11.819; 2018 ada 12.504; 2019 ada 23.126; dan 2020 sebanyak 64.211. Melonjaknya angka pernikahan anak nantinya turut meningkatkan angka kematian ibu, anak stunting, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat terdapat 3.087 kasus kekerasan terhadap anak dalam kurun 1 Januari sampai dengan 19 Juni 2020. Jenis kekerasan tersebut di antaranya 852 kasus kekerasan fisik, 768 kasus kekerasan psikis, 1.848 kasus kekerasan seksual, 50 kasus eksploitasi anak, 60 kasus tindak pidana perdagangan orang, dan 228 kasus penelantaran.

Selama masa pandemi, anak juga harus memikul beban ganda: belajar dan melakukan kerja domestik. Banyak dari mereka yang juga harus membantu orang tua bekerja karena pandemi mengurangi penghasilan atau bahkan menghilangkan pekerjaan para orang tua. 

Anak-anak terus dibayangi pekerjaan sekolah yang menumpuk dengan interaksi sosial yang sangat terbatas. Di usia muda, mereka terpaksa harus berhadapan dengan keadaan yang serba tidak kondusif. Hal tersebut mengakibatkan anak kelelahan, mudah marah, stres, khawatir berlebih, hingga menimbulkan gejala depresi.

Dikutip dari BBC Indonesia, Survei KemenPPPA terhadap lebih dari 3.200 anak SD hingga SMA pada Juli 2020 lalu menemukan 13% responden mengalami gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan hingga berat selama masa “kenormalan baru”. Sebanyak 93% yang menunjukkan gejala depresi berada pada rentang 14-18 tahun, sementara 7% di rentang usia 10-13 tahun.

Pertanyaan besarnya adalah proyeksi berkurangnya penghasilan serta risiko kesehatan mental yang menjadi alasan utama Pemerintah menganjurkan PTM ini sebenarnya, at what cost? 

Risiko pembelajaran tatap muka

Sayangnya, kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka ternyata juga berisiko besar bagi keselamatan dan kesehatan anak, bahkan untuk komunitas.

  • Anak terinfeksi COVID-19

Meskipun anak-anak mempunyai tingkat kerentanan 30-50% lebih rendah dibandingkan orang dewasa dan bila terinfeksi akan menampakkan tanpa gejala atau bergejala ringan, tetap saja sekecil apapun persentasenya akan ada anak yang berisiko terinfeksi. Bahkan, temuan IDAI menunjukkan Indonesia adalah negara dengan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi pada anak akibat COVID-19 di kawasan Asia Tenggara.

Kekhawatiran bertambah sejak munculnya varian baru yang menyebabkan situasi menjadi lebih tak menentu, salah satunya varian Delta. Varian ini berisiko menular dengan cepat dan menimbulkan gejala berat pada anak dan remaja. 

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menemukan kecenderungan COVID-19 varian Delta menyerang mereka yang berusia di bawah 18 (delapan) tahun pada sejumlah daerah yang sedang mengalami lonjakan kasus. Situasi ini dilaporkan berdasarkan laporan penelitian Whole Genom Sequencing dari Kudus yang didominasi oleh kasus varian Delta.  

  • Kluster sekolah

Ancaman terburuk dari penyebaran yang terjadi di sekolah, baik antarmurid, antarguru dan murid, maupun di antara tenaga kependidikan yang ada di lingkungan sekolah, adalah adanya transmisi penularan dari anak ke orang tua dan/atau kakek/nenek yang berusia lanjut, yang sangat rawan mengalami infeksi COVID-19 dalam bentuk gejala klinis berat. Kondisi ini pada akhirnya juga berkontribusi pada besarnya penularan yang terjadi di komunitas.

Kemungkinan tersebut menjadi lebih besar mengingat saat ini anak belum menjadi prioritas vaksinasi. Pemerintah masih fokus memberikan vaksin untuk kelompok rentan di atas 19 tahun. Padahal dengan vaksinasi, risiko anak terinfeksi COVID-19 akan berkurang saat kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka di sekolah dimulai.

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak 

Di tengah badai kebimbangan antara menjaga anak dari risiko COVID-19 dan memenuhi hak anak akan pendidikan layak serta kesehatan mental yang terjaga, maka setiap tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa hendaknya berdasarkan pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Pada situasi ini, posisikan setiap dari kita sebagai orang tua. 

Orang tua, mau tak mau, menjadi ujung tombak dari keputusan apapun terkait kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan anak di masa sulit ini. Seperti apa dunia mereka besok, dan seperti apa masa depan mereka nantinya, menjadi tanggung jawab kita hari ini. Keputusan harus mempertimbangkan dengan baik situasi dan kondisi anak, kemampuan orang tua dan sekolah, serta kebijakan pemerintah daerah dalam regulasi PTM dan kemampuan mitigasi risiko. Sebelum menentukan keputusan, ada tiga pilihan yang layak untuk dipertimbangkan. 

Pertama, orang tua yang mampu menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran daring termasuk memfasilitasi pembelajaran mandiri yang nyaman, dan keluarga berada di daerah dengan kasus COVID-19 yang mengkhawatirkan, sangat disarankan untuk tetap mendukung sepenuhnya kegiatan belajar-mengajar dari rumah. 

Kedua, orang tua yang tidak memiliki bekal yang memadai atau berada pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran daring termasuk memfasilitasi pembelajaran mandiri yang nyaman, dan keluarga berada di daerah yang aman dari lonjakan kasus COVID-19, dapat mempertimbangkan persetujuan kegiatan belajar-mengajar tatap muka di sekolah. 

Namun, keputusan partisipasi anak dalam PTM tetap harus memperhatikan:

  • Sekolah sudah memenuhi standar protokol kesehatan.
  • Persiapan kebutuhan penunjang untuk anak, seperti rencana transportasi, masker, pembersih tangan, bekal makanan dan minuman, serta persiapan tindak lanjut jika dikemudian hari anak terpapar atau bahkan terinfeksi COVID-19 dari lingkungan sekolah. 
  • Anak diberi pemahaman tentang aturan dan tata cara melindungi diri dari penyebaran dan penularan COVID-19.

Ketiga, orang tua yang tidak mampu menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran daring termasuk memfasilitasi pembelajaran mandiri yang nyaman, dan keluarga berada di daerah zona merah sehingga tidak dimungkinkan untuk melaksanakan PTM, dapat menyampaikan kendala pelaksanaan PJJ kepada pihak sekolah, ketua Rukun Warga (RW) setempat, atau bahkan Pemerintah Desa untuk dicarikan solusinya bersama-sama.

Ada beragam praktik baik gotong royong pendidikan yang dapat kita temui di tengah pandemi. Ambil contoh program “Wi-Fi Desa” yang diinisiasi oleh Kepala Desa Kelapapati di Bengkalis di Riau, program “Biznet Free Wi-Fi Program for Education” yang dilakukan oleh perusahaan Biznet Networks, atau bahkan inisiatif warga menyediakan akses Wi-Fi gratis dan gawai di Kecamatan Sunggal di Deli Serdang di Sumatera Utara.

Berbagai program tersebut dapat dijadikan rujukan bagaimana Pemerintah dan masyarakat dapat memberikan dukungan bagi anak-anak dari keluarga kurang beruntung agar tidak semakin tertinggal dalam menjalankan proses pendidikannya. Terlebih pada masa pandemi yang berpotensi memperlebar jurang yang sudah ada. 

Pandemi telah menjungkir-balikkan dunia anak dan remaja dalam banyak hal. Dengan mempertimbangkan situasi-situasi di atas,  diharapkan skenario yang dipilih tetap mampu memberi anak pendidikan yang berkualitas dan sistem dukungan untuk resiliensi menghadapi pandemi COVID-19.

*Apriliani Kusumawati adalah pegiat isu anak dan asisten dosen mata kuliah Hukum Pidana di Universitas Islam Batik Surakarta dan Institut Agama Islam Negeri Surakarta. 

*Evi Baiturohmah adalah penerjemah lepas dan fasilitator untuk isu anak dan remaja.

Bahan Bacaan:

Harususilo, Yohanes Enggar. 2020. “Wifi Desa”, Praktik Baik Gotong Royong Pendidikan di Tengah Pandemi dari Riau. Kompas.com. Diakses dari https://www.kompas.com/edu/read/2020/08/08/145237571/wifi-desa-praktik-baik-gotong-royong-pendidikan-di-tengah-pandemi-dari-riau pada 28 Juni 2021.

IDAI. 2021. Press Conference 5 Organisasi Profesi Dokter Melonjaknya Kasus COVID-19. IDAI TV. Diakses dari  https://www.youtube.com/watch?v=e4ZlSJm5FSI pada 23 Juni 2021.

Jayani, Dwi Hadya. 2021. Dampak Pandemi Mayoritas Anak Indonesia Putus Sekolah Karena Ekonomi. Katadata. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/08/dampak-pandemi-mayoritas-anak-indonesia-putus-sekolah-karena-ekonomi.

Kemdikbud. 2020. Analisis Survei Cepat Pembelajaran dari Rumah dalam Masa Pencegahan COVID-19. Jakarta: Kemdikbud.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2020. Profil Anak Indonesia Tahun 2020. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Nugraheny, Dian Erika. 2021, Varian Baru Virus Corona Berisiko Menular ke Anak. Kompas. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2021/05/11/21364661/varian-baru-virus-corona-berisiko-menular-ke-anak-anak-pemerintah-diminta?page=all pada 26 Juni 2021.

Milana, Robby. 2021. Gotong Royong Tingkatkan Pendidikan saat Pandemi COVID-19. Revolusi Mental. Diakses dari https://revolusimental.go.id/kabar-revolusi-mental/detail-berita-dan-artikel?url=gotong-royong-tingkatkan-pendidikan-saat-pandemi-covid-19 pada 27 Juni 2021.

Tempo.co. 2021. Nadiem Makarim Sebut Pembelajaran Tatap Muka 2021 Bisa Dilakukan. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1442577/nadiem-makarim-sebut-pembelajaran-tatap-muka-juli-2021-bisa-dilakukan/full&view=ok pada 26 Juni 2021.

The Smeru Research Institute. 2020. Belajar dari Rumah: Potret Ketimpangan Pembelajaran Pada Masa Pandemi COVID-19. Jakarta: The Smeru Research Institute.

Tim Kompas. 2020. Gotong Royong Internet yang Dibutuhkan. Kompas. Diakses dari  https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/08/01/gotong-royong-internet-yang-dibutuhkan pada 25 Juni 2021.

UKFIET. 2020. The Covid-19 Induced Learning Loss: What is it and How it can be Mitigated?. Diakses dari https://www.ukfiet.org/2020/the-covid-19-induced-learning-loss-what-is-it-and-how-it-can-be-mitigated/how-it-can-be-mitigated/ pada 25 Juni 2021.

Wijaya, Callistasia. 2021. Covid-19: ‘Stres, mudah marah, hingga dugaan bunuh diri’, persoalan mental murid selama sekolah dari rumah. BBC Indonesia. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55992502 pada 25 Juni 2021.

Yarrow, Noah; Masood, Eema; Afkar, Rythia. 2020. Estimated Impacts of COVID-19 on Learning and Earning in Indonesia: How to Turn the Tide. Jakarta: World Bank.