Kekerasan dapat dicegah salah satunya perlu menjaga kesehatan mental remaja laki-laki. Tumbuh dewasa dengan segala kepribadian yang melekat dalam diri merupakan bentuk dari perjalanan yang kita alami sedari kecil. Keluarga adalah support system terdekat dan pertama bagi setiap individu. Pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak, memengaruhi bagaimana anak itu tumbuh, berpikir, dan berperilaku.
Pameo “children see, children do” mewakili gambaran seberapa besar dampak pengasuhan pada anak. Beberapa penelitian menggunakan Teori Attachment Style yang mengatakan bahwa adanya pengaruh antara pengasuh dan anak menunjukkan bahwa anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang positif, cemas, atau tertutup dikarenakan pola asuh yang ia alami saat kecil.
Dewasa ini, masih ada pola asuh orang tua yang menggunakan konsep budaya patriarki. Budaya patriarki membangun narasi bahwa anak laki-laki tidak boleh mengeluh, harus kuat, tidak boleh menangis, dan lain sebagainya. Mewajarkan kekerasan ketika menyelesaikan suatu masalah. Potret laki-laki yang demikian melekat di alam bawah sadar remaja sehingga tanpa disadari mempengaruhi cara pandang dan perilaku mereka. Kondisi ini lambat laun menjadi penyumbang terbesar perilaku-perilaku kekerasaan, termasuk kekerasaan terhadap perempuan.
Dampak buruk pengasuhan patriarki tampak dari perilaku yang secara tidak sadar terbawa sampai anak tumbuh dewasa. Anak laki-laki yang dibiasakan untuk tidak mengekspresikan kesedihan atau kelemahannya, sehingga mereka pun kesulitan mengerti bagaimana harus menyikapi ataupun mengendalikan perasaan atau emosi yang dirasakan. Data dari layanan Konseling dan Curhat Online (KCO) Sahabat Kapas menunjukan 86,4% pengakses adalah remaja perempuan dengan rentang umur 16 sampai 20 tahun. Artinya masih sangat minim anak/remaja laki-laki yang tahu ataupun mau mengakses layanan KCO.
Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa remaja laki-laki cenderung memiliki literasi kesehatan mental yang rendah dibandingkan perempuan. Terkait dengan konsep literasi kesehatan mental yang dikemukakan Jorm (2000) artinya yakni pengetahuan dan keyakinan mengenai gangguan mental (Rachmayani & Kurniawati, 2017).
Literasi Kesehatan Mental Rendah pada Remaja Laki-laki
Lantas apa yang bisa terjadi jika banyak remaja laki-laki memiliki literasi kesehatan mental yang rendah?
Kesehatan mental seseorang berkaitan dengan kesehatan fisik, kedua hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Bahkan menurut Dr. Brock Chilsom (1954) seorang psikiater dari Canada mengatakan tanpa kesehatan mental kita tidak akan mendapatkan kesehatan fisik yang sebenarnya dan terganggunya kehidupan sosial. Jika seseorang kurang peduli dan tidak menjaga kesehatan mentalnya, akan memiliki kecenderungan kurang mampu dalam mengatasi stres yang mereka alami serta kurang dapat mengontrol emosi dan tindakan mereka dengan baik.
Menurut Gibson, Mitchell dan Basile (dalam Rahman, 2003) salah satu cara membantu seseorang untuk mengembangkan keterampilan sosial, mengontrol emosi, dan mengembangkan konsep diri positif dapat dilakukan lewat konseling. Konseling merupakan suatu proses antara individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu agar klien memecahkan masalah tersebut.
Program Konseling dan curhat online (KCO) Sahabat Kapas kali pertama hadir bulan April 2020 hingga kini terdapat 57 remaja yang telah akses. Beragam topik permasalahan yang telah difasilitasi oleh konselor Sahabat Kapas, seperti konflik dengan anggota keluarga, sekolah, relasi pertemanan, kebosanan, pengembangan diri, dan asmara (gebetan/pacar). Sebesar 27% urutan pertama terbanyak adalah masalah keluarga, banyak anak yang mengalami konflik dengan anggota keluarga atau orang tuanya. Misalnya pertengkaran, perbedaan pendapat, dan kurangnya kelekatan.
Komunikasi baik dimulai dari orang tua
Kenapa banyak anak yang berkonflik dengan anggota keluarga?
Tidak semua orang tua membiasakan komunikasi yang baik dengan anak-anaknya. Padahal komunikasi merupakan dasar bagaimana orang tua dan anak membentuk hubungan. Komunikasi yang terjalin dengan buruk dapat membuat anak tidak nyaman, sering terjadi pertengkaran, dan perasaan tidak berharga pada anak.
Penelitian menemukan bahwa anak yang menjalin komunikasi yang baik dengan orang tuanya memiliki risiko yang lebih rendah untuk melakukan hal-hal buruk, seperti penyimpangan dan kekerasan. Kurangnya komunikasi juga lebih banyak ditemukan dalam pola asuh patriarki, terutama menekan anak laki-laki untuk bisa mengatasi permasalahannya tanpa mengungkapkan ke orang lain.
Anak/ remaja laki-laki pun butuh tempat untuk bercerita akan masalah mereka, tetapi karena dibiasakan untuk tumbuh dengan kuat dan tahan banting, mereka jadi lupa bagaimana cara untuk meminta bantuan ataupun mengekspresikan emosi yang mereka rasakan. Seperti ungkapan dari salah satu anak usai sesi konseling Desember lalu.
“Terima kasih, mbak. Saya sebenarnya pengen cerita tapi gak tau mau gimana dan sama siapa” ucap S, remaja laki-laki usai sesi konseling.
Hal tersebut semakin menguatkan bahwa tidak apa-apa untuk menjadi tidak baik-baik saja, baik remaja laki-laki maupun perempuan. Meminjam pesan dalam Drama Korea yang hits tahun 2020 yakni It’s Okay Not To Be Okay dengan pemain Kim Soo- hyun dan Seo Yea-ji. Siapa saja dapat berkonflik dengan mental dan siapa saja berhak untuk mendapatkan pertolongan atau dukungan tanpa distigma.
Semakin kita dapat mengelola emosi dan paham cara mengatasi emosi dengan sehat maka kita akan punya daya untuk eliminir hasrat atau keinginan melakukan kekerasaan pada orang lain. Bagi remaja, hal ini akan berdampak di ruang interaksi sosial mereka baik dengan keluarga, teman bermain, atau bahkan teman dekatnya.