Oleh: Apriliani Kusumawati & Evi Baiturohmah
Keterlibatan anak muda dalam demonstrasi yang menyebabkan insiden kekerasaan dan perusakan fasilitas publik mengundang perhatian khalayak. Gonjang-ganjing terkait penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Cipta Kerja merebak di tahun 2020. Ada sisi lain yang disorot tajam dalam pemberitaan media selain substansi undang-undang. Tak lain dan tak bukan adalah kehadiran anak muda.
Anak-anak muda yang kebanyakan merupakan adalah pelajar sekolah laki-laki ini oleh khalayak luas kemudian dilabeli sebagai remaja kemarin sore yang tidak tahu apa-apa, mudah terprovokasi, dan enteng melakukan kekerasan. Mereka adalah objek empuk yang gampang ditunggangi kepentingan politik terselubung, begitulah persepsi populer masyarakat awam di luar sana.
Tindakan kekerasan dan pelanggaran norma dalam kehidupan sehari-hari lebih sering ditemukan di kalangan remaja laki- laki. Kantor Bapas se-Jawa tengah mencatat 85% lebih anak berkonflik hukum adalah laki-laki. Dalam risetnya tentang perbedaan jenis kelamin dalam perilaku agresi, Wölfer dan Hewstone (2015) menyebutkan bahwa perilaku agresi remaja laki-laki cenderung lebih tinggi daripada perempuan baik di dalam kelompok laki-laki maupun kelompok lawan jenis. Perilaku lain seperti membolos, memiliki gambar atau bacaan porno, mabuk, berkelahi dan tawuran, juga banyak dilakukan remaja laki-laki dibanding remaja perempuan (Bao, Haas, & Xie dalam Kurniawan et.al, 2019).
Sering kita bertanya- tanya, mengapa remaja laki- laki ini mudah sekali tersulut emosi dan kemudian lepas kendali?
Fase Kritis Perkembangan Remaja, Periode Badai, dan Tekanan
“Senggol sitik bacok!”
Sebagai orang dewasa, kita sering kita mengucapkan kalimat di atas untuk bahan lelucon. Tetapi di kalangan remaja laki-laki, ucapan tersebut bisa jadi merupakan refleksi realitas yang sangat dekat dengan situasi di sekitar mereka. Sedikit saja merasa ego laki-laki mereka disepelekan, mulut, kaki, dan tangan bisa hilang kendali dan pegangan.
Perilaku lepas kendali yang seringkali berujung dengan keinginan untuk menyakiti orang lain biasa kita kenal dengan istilah agresi. Perilaku ini dapat berbentuk umpatan verbal, intimidasi psikologis, maupun kontak fisik langsung. Agresi pada anak remaja, khususnya laki-laki, disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya ada faktor genetik dan lingkungan, lemahnya pengawasan orangtua, tekanan teman sebaya, lingkungan yang tidak aman, periode kritis transisi remaja, nilai patriarki di masyarakat, serta regulasi diri yang lemah.
Masa remaja adalah masa yang penuh dengan “badai dan tekanan jiwa”, adolescence is a time of storm and stress. Pada fase ini, remaja harus menghadapi tugas perkembangan yang cenderung kompleks dan relatif berat. Mereka mengalami perubahan yang besar, baik secara fisik, intelektual, maupun emosional. Jika ada trigger dan provokasi yang tidak disertai regulasi diri yang mumpuni, sudah barang tentu akan berpotensi menimbulkan konflik, frustasi, dan tekanan lain yang memungkinkan mereka bertindak agresif.
Di usia remaja, laki-laki menghadapi berbagai masalah seperti konflik perasaan dengan lawan jenis, tekanan kelompok sebaya, gesekan dengan remaja laki- laki lain, penolakan kepada aturan orangtua, serta pergumulan antara keinginan mencoba hal baru dan norma sosial dan hukum yang ketat membatasinya. Semua ini menjadi rantai yang saling berkesinambungan dan akhirnya membentuk gejolak emosional yang kompleks dalam diri remaja.
Memahami Kompleksitas Remaja
Pada kasus remaja yang menyebabkan kerusakan pada peristiwa demonstrasi tahun 2020 lalu, turunnya mereka ke jalan dan berdemonstrasi sebenarnya merefleksikan kehidupan remaja dari banyak sisi. Tentang identitas mereka sebagai seseorang yang mempunyai pendapat, tentang agensi diri mereka yang tidak digubris oleh aparat, tentang pengasuhan yang mempengaruhi respon terhadap situasi krisis, serta bagaimana agresi adalah respon akumulasi dari semua hal tersebut di atas.
Sebetulnya kompleksitas masalah pada kehidupan remaja merupakan hal yang alami. Adanya kompleksitas ini dapat membentuk remaja menjadi pribadi lebih tangguh. Ia bisa berkembang menjadi individu yang memiliki banyak kemampuan untuk menyelesaikan krisis, bertahan hidup, dan bahkan meningkatkan taraf hidupnya di fase perkembangan yang akan datang.
Memang, banyak remaja yang mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya, juga kebutuhan dan harapan orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Tak sedikit yang mengalami kesulitan dalam menghadapinya sehingga menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan pada kemandirian emosional.
Lalu, bagaimana menyikapinya?
Penting untuk memahami, mendampingi, mendukung, dan mengawasi proses perkembangan remaja khususnya laki-laki agar bisa berjalan sehat, baik secara fisik, nalar, maupun emosi. Dalam menghadapi remaja dan kecenderungan agresinya dibutuhkan kesabaran ekstra untuk memberi mereka ruang berproses dengan emosi dan kontrol diri.
Kita harus siap dan bersedia untuk memfasilitasi, bukan memaksa, perubahan positif dalam diri mereka. Keterlibatan orang dewasa berkontribusi penting agar remaja memiliki pengetahuan yang baik tentang diri mereka sendiri, lingkungan, dan bagaimana memberikan respon yang tidak membahayakan orang lain. Hal ini menjadi bekal penting untuk masa depan mereka agar menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab.
*Apriliani Kusumawati adalah pegiat isu anak dan asisten dosen mata kuliah Hukum Pidana di Universitas Islam Batik Surakarta dan Institut Agama Islam Negeri Surakarta.
*Evi Baiturohmah adalah penerjemah lepas dan fasilitator untuk isu anak dan remaja.
Published by