Ayah dan Bahasa Cintanya yang Sederhana

Hari ini aku menamatkan film berjudul “Jendela (Home)” dari Studio Sanak yang bisa kalian nikmati di youtube. Film ini membingkai hubungan antara ayah dan anak laki-laki. Sekilas tak ada yang aneh dalam film ini, tapi detik-detik kecanggungan itu akan mulai terasa saat kereta melaju. Sang anak laki-laki hanya sibuk memperhatikan jendela kereta, sedangkan sang ayah pun malu-malu untuk membuka obrolan. Mereka saling melempar pandangan tanpa keluar satu patah kata pun. Dada kita akan dibuat sangat nyeri justru ketika ayah dan anak laki-laki ini membuka suara.

Setelah menonton film ini, aku seketika langsung terbayang lagu dari Iksan Skuter berjudul “Bapak”. Lagu yang menggambarkan kecanggungan dari hubungan anak laki-laki dengan ayahnya, seperti tergambar pada lirik:

Ada manusia yang paling ingin aku peluk

Tapi aku malu

Tidak juga malu sebenarnya

Hanya angkuh sebagai lelaki dewasa

Bisa kita lihat di sini bahwa kecanggungan antara anak laki-laki dan ayah banyak dialami oleh hampir semua orang yang diwujudkan dalam bentuk puisi, lirik lagu, maupun film. Akan tetapi, mengapa begitu besar dan kokoh tembok antara ayah dan anak laki-laki ini? Bahasa ayah yang sederhana ditambah kekhasan naluri laki-laki yang cenderung lebih banyak aksi ketimbang bicara menambah kecanggungan alami anak laki-laki dan ayah.

Memahami Bahasa Cinta Ayah 

Siang tadi ayah minta dipijat punggungnya lalu ayah berkata, “Kamu sekarang nggak seberat dulu, berat badanmu turun ya?” satu kalimat tanya sederhana dari ayah yang menunjukan perhatiannya ke kita. Itulah bahasa cinta sederhana yang bisa mereka sampaikan. Terlalu malu untuknya menyampaikan perhatian dengan berbusa-busa. Ayah mungkin saja malu bertanya apakah “kamu makan dengan baik?”, “apakah kamu sedang ada masalah?”, dan pertanyaan lain yang mungkin menggantung di pikirannya. 

Bahasa yang terbangun antara ayah dan anak sebaiknya terbentuk dan dibentuk sejak kecil, mengutip dari kids.grid.id. Hubungan anak dan ayah yang dibangun sejak kecil, bagaimana kedekatan itulah yang akhirnya membentuk bahasa. Bahasa sendiri menjadi cara manusia untuk berkomunikasi antara satu sama lain. Dalam ilmu linguistik, semakin sering seseorang berbicara dengan lawan bicaranya, mereka akan memilki common ground atau kesamaan antara dua pihak.

Hal tersebut menyebabkan apabila hubungan anak dan ayah yang dibangun sejak kecil renggang dan jarang berkomunikasi, common ground di antara mereka juga terbatas. Sang ayah yang tidak ingin nampak berlebihan akhirnya justru hanya mengeluarkan bahasa sederhana dan cenderung dangkal. Lalu anak, utamanya laki-laki juga tidak ingin terlihat cengeng karena sang ayah jarang menunjukkan emosi itu sehingga ia pun melakukan hal yang sama, yaitu berbicara seperlunya.

Di sisi lain, rupanya dalam diri mereka ini butuh sekali obrolan yang lebih deep dan intens. Ayah sering kali meminta perantara ibu untuk mengetahui kondisi anak. Contoh kecil ketika aku skripsi ayah tidak berani bertanya bagaimana perjalanan skripsiku dan meminta tolong ibu untuk bertanya langsung padaku. Sampai di situ ayah sudah merasa cukup, begitu pun sang anak, dia tidak berani bercerita kepada ayahnya karena menurutnya ayah adalah orang yang tegas dan tak banyak bicara.

Kedekatan ayah dengan anak laki-lakinya sebaiknya dibangun sejak kecil. Peran ayah dan ibu sama imbangnya karena anak-anak adalah peniru ulung. Ketika sang ibu menampakkan sisi keibuannya yang tidak malu-malu untuk perhatian, anak pun merasa lebih nyaman dan aman. Ketika sang ayah menunjukan sikap yang tahan banting, anti cengeng pada anak, maka anak pun mungkin akan berpikir dua kali untuk mendekati sang ayah. Maka dari itu, kecanggunggan ayah dan anak laki-laki bisa dikurangi dengan selalu mengajak anak berkomunikasi, tidak hanya dengan menunjukan aktivitas fisik saja.

You Might Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.