Laki-laki_Baru

Sulitnya Menjadi Laki-laki untuk Bebas Terbuka dalam Bercerita

Oleh Janggan Aulia Agastya

 

Judul di atas mengingatkan saya pada sebuah lagu yang cukup populer semasa saya kecil. Lagu yang dibawakan oleh putra-putra musisi Ahmad Dhani dan Maia Estianty, yaitu Al, El, dan Dul yang berjudul “Aku Bukan Superman”. Kurang lebih lagu tersebut menceritakan tentang seorang laki-laki yang menangis karena ditinggal oleh pacarnya. Namun ada beberapa bagian lirik yang membuat saya berpikir sejenak. Liriknya berbunyi seperti ini. 

 

Ayahku selalu berkata padaku

Laki-laki tak boleh nangis

Harus selalu kuat harus selalu tangguh

Harus bisa jadi tahan banting

Ayahku tersayang maafkanlah aku

Jika aku masih menangis

Masih belum bisa

Menjadi seperti apa yang ayah selalu mau

Memang sejatinya dari kecil kita, bahkan saya juga ditanamkan tangisan adalah tanda bahwa seseorang itu lemah. Kesedihan tidak identik dengan kejantanan yang tegar dan tahan banting. Anggapan laki-laki sebagai makhluk yang superior memang masih sangat melekat di masyarakat kita. Anggapan tersebut membuat laki-laki cenderung enggan atau bahkan kesulitan untuk mengekspresikan emosi lainnya. Sejak 2020 sampai sekarang, layanan KCO telah melayani 50 klien remaja laki-laki and 1 klien perempuan  LPKA Kutoarjo. Data dari layanan Konseling dan Curhat Online (KCO) Sahabat Kapas untuk remaja non LPKA dari  tahun 2020, terdapat 53 orang mengakses layanan KCO, dengan 86,4% pengakses layanannya adalah perempuan. Hal ini menunjukkan minimnya partisipasi laki-laki untuk mengakses layanan yang berkaitan dengan membuka diri. 

Dengan data yang dimiliki Sahabat Kapas tersebut, stereotip laki-laki terbiasa memendam masalah, dan perempuan lebih mudah untuk terbuka dan bercerita mungkin ada benarnya. Ini menandakan kemungkinan laki-laki mengalami masalah emosional akan sangat tinggi sehingga kondisi kesehatan mental pada laki-laki juga kemungkinan lebih buruk dari pada perempuan. Lantas apa yang membuat begitu banyak laki-laki masih saja sulit untuk membuka diri di tengah perkembangan zaman yang sudah sangat modern?

Budaya Patriarki

Agaknya, hal ini pula yang menjadi latar belakang dan membuat peranan laki-laki kemudian sangat besar dan tidak jarang menganggap diri mereka yang paling baik, benar, berkuasa, dan berhak memimpin dibandingkan dengan gender lain. Dalam budaya patriarki yang banyak diimplementasikan, sadar atau tidak sadar menuntut laki-laki untuk tumbuh dewasa dan tidak boleh menunjukkan emosi. Hal ini dapat membuat mereka terlihat lebih kuat dan maskulin. Kepercayaan yang salah tentang sikap atau sifat yang harus ditunjukkan oleh seorang pria disebut Toxic Masculinity menurut Oxford Dictionary (katadata.co.id). Yaitu ketika maskulinitas menjadi yang mutlak dan harus ada pada diri seorang laki-laki.

Budaya patriarki jelas merugikan semua gender baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini menandakan bahwa patriarki adalah sebuah gagasan kuno yang sudah seharusnya tidak diturunkan kembali ke generasi berikutnya. Kembali lagi, sekuat-kuatnya laki-laki, ia juga manusia biasa. Dapat lelah, dapat letih, dapat bersedih dan bahkan tidak menjadi masalah jika ingin mengeluh. Karena itu menandakan emosi kita sebagai manusia bekerja sesuai dengan tugasnya.

Pengalaman Buruk Masa Lalu

Kenangan bisa menjadi hal yang kuat dan akan sangat dipertimbangkan bagi seorang laki-laki untuk mau terbuka. Seorang laki-laki akan menutup rapat-rapat buku yang menuliskan pengalaman buruk masa lalunya. Namun bukan berarti hal tersebut hilang, melainkan sewaktu-waktu juga dapat terbuka kembali. Hal ini menunjukkan laki-laki cenderung mencari katarsis yang bersifat sementara sebagai stress release tanpa menyelesaikan suatu permasalahan sampai ke akarnya. Akan tetapi hanya memendam saja. Regulasi emosi yang buruk dan perilaku tersebut juga berdampak pada keterbukaan laki-laki terhadap apa yang sedang dialami. 

Takut Akan Penolakan

Bagaimana jika laki-laki sudah mau mencoba terbuka secara emosional terhadap orang lain, tetapi orang itu tidak menyukai apa yang dikatakannya? Ini bisa menjadi salah satu ketakutan bagi sebagian laki-laki untuk mulai membuka dirinya kepada orang lain. Laki-laki cenderung melihat proses tersebut sebagai tindakan yang berisiko. Laki-laki tidak selalu yakin apa yang akan dikatakannya dan bagaimana kiranya orang akan bereaksi. Bisa jadi mereka justru menjadi tidak disukai, dan itu adalah ketakutan yang normal. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya peduli dengan apa yang dipikirkan orang tentangnya. Oleh sebab itu, kegiatan membuka diri secara emosional dan membagikan hal-hal yang sangat pribadi memunculkan kekhawatiran akan dihakimi. Karenanya mereka lebih memilih untuk menutup diri dan tidak mengatakan apa-apa. 

You Might Also Like

Published by

admin

Sahabat Kapas adalah organisasi nonpemerintah dan nonprofit, yang berkedudukan di Karanganyar, Jawa Tengah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.