Suatu hari ketika saya membantu saudara yang sedang mengadakan hajatan, para tetangga sibuk menggunjingkan seorang anak yang tertangkap basah mencuri HP dan sedang diadili di balai desa. Meskipun dikerumuni warga, anak tersebut [katanya] tidak tampak menyesali apa yang telah ia perbuat. Banyak tetangga yang kemudian menunjukkan ketidaksukaan mereka dengan kalimat – kalimat yang kasar kurang bijak. Mendengar hal ini, saya kemudian meminta cerita selengkapnya kepada tetangga tersebut. Usut punya usut, ternyata anak yang sedang duduk di bangku kelas 5 SD tersebut tidak punya ayah dan ibu serta hidup bersama neneknya yang buta. Hati saya langsung miris. Dengan perlahan saya mencoba masuk ke pembicaraan ibu – ibu tersebut. Saya menggiring pembicaraan tentang realitas seorang anak kecil yang menjalani hidupnya tanpa kasih sayang orangtua dan harus menjalani masa kanak – kanak di bawah asuhan nenek yang buta. Saya mencoba mengajak ibu – ibu tersebut untuk ikut membayangkan bagaimana anak itu menjalani masa kanak – kanaknya. Bisa dipastikan dalam masa tumbuh kembangnya, ia kehilangan banyak kasih sayang dan bimbingan moral yang vital yang seharusnya diberikan oleh orangtuanya. Saya mencoba memberikan sebuah perspektif baru kepada ibu – ibu tersebut tentang kondisi anak itu yang mungkin menjadi alasan kenapa ia berbuat sedemikian rupa. Beberapa dari mereka terlihat mengagguk – anggukan kepala tanpa berbicara tentang anak itu lebih lanjut. Lain waktu, saya pernah ngobrol dengan adik tingkat saya tentang pendapat yang ia sampaikan di akun media sosialnya. Beberapa kali ia memposting status di facebook mengenai seorang anak yang melakukan tindakan asusila dan di – ‘bela’ oleh orang dewasa di sekitarnya. Dari bahasa konotatif yang ia tuangkan, saya melihat sebuah amarah [yang saya maklumi] terhadap situasi tersebut. Namun sayangnya, kata- kata yang ia gunakan untuk mengekspresikan amarahnya terhadap anak yang berperilaku salah tersebut tampak kurang bijak. Konsekuensinya, beberapa orang merespon negatif dengan mengomentari status tersebut dengan kalimat pedas yang cenderung menghina anak itu. Kemudian saya mengirim pesan terhadap adik tingkat saya itu dan mengajaknya berdiskusi tentang kasus yang ia paparkan. Saya pun memberikan pendapat tentang statusnya yang mungkin bisa membuat khalayak umum mislead terhadap anak – anak. Kami membahas tentang latar belakang keluarga anak itu dan bagaimana kami sebagai orang dewasa hendaknya memberikan penilaian yang meskipun objektif namun tetap pro terhadap anak. Kemudian kami sama – sama mengamini bahwa keadaan anak itu, yang tumbuh dalam pengawasan neneknya tanpa kehadiran orangtua menjadi salah satu faktor besar dalam perkembangan psikologinya. Dua peristiwa tersebut cukup memberikan gambaran betapa banyak dari kita belum mau meminjamkan telinga untuk mendengar sebuah cerita. Masih banyak dari kita yang lebih senang menyebar bumbu cerita daripada mendalami lapisan cerita yang lebih utama. Kita seringkali melihat sesuatu hanya di permukaannya saja dan abai terhadap hal – hal substantif yang menjadi motif atau latar belakangnya. Hasilnya, banyak yang terjebak dalam kubangan pemikiran yang skeptis dan kehilangan nalar yang kritis. Alangkah baiknya jika kita mau mendengarkan cerita dan melihat anak sebagaimana ia adalah titipan Tuhan yang sangat berharga. Di balik semua perbuatan yang mereka lakukan, ada campur tangan kita sebagai orang dewasa. Sudah selayaknya kita menjadi pribadi yang mampu andil dalam menyikapi persoalan secara bijaksana dan berprespektif ramah anak. Dengan mendengarkan mereka dan mengutamakan pemenuhan hak mereka, kita menghidupkan semangat untuk membantu anak – anak menjadi bahagia dan mempunyai harapan cerah di masa depan mereka.
Ditulis oleh Evi Baiturohmah (Relawan Sahabat Kapas).
Published by