Oleh Tri Dyah Rastiti*

Anak- anak menampilkan drama tentang perundungan yang terjadi di lingkungan sekitar
Tindakan perundungan (bullying) kini tak asing lagi di Indonesia. Perilaku negatif yang kian hari kian parah ini jumlahnya terus bertambah dan dapat kita temui dalam berbagai bentuk, di antaranya diskriminasi dan senioritas, di mana senior mengintimidasi juniornya secara fisik maupun nonfisik. Perilaku negatif yang dari waktu ke waktu menghantui anak-anak ini sayangnya belum mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana kita memahami tindakan perundungan?
Perundungan sering dikenal dengan istilah pemalakan, pengucilan, intimidasi, dan tindakan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Bullying juga diartian sebagai tindakan yang menyakiti orang lain, di mana korban biasanya dianggap lebih lemah dari pelaku. Selain diskriminasi senoritas, perilaku yang termasuk perundungan antara lain memukul, mendorong, menampar, menghina, mengejek nama orang tua, menyebarkan fitnah, gosip, mempermalukan, dan sebagainya.
Latitude News mengadakan suatu survei megenai tindakan perundungan di 40 negara. Dari survei tersebut, dapat diketahui negara-negara dengan kasus bullying tertinggi di dunia dan Indonesia adalah salah satu negara yang masuk dalam daftar hitam ini. Di urutan pertama ditempati oleh Jepang, yang diikuti Indonesia, Kanada, Amerika Serikat, dan Finlandia di posisi kelima (http://uniqpost.com/50241/negara-negara-dengan-kasus-bullying-tertinggi-indonesia-di-urutan-ke-2/).
Kondisi yang memprihatinkan ini makin parah dengan fakta bahwa kasus perundungan yang ada di Indonesia paling sering terjadi di institusi pendidikan. Tingginya kasus perundungan yang terjadi di institusi pendidikan ini menampakkan fakta bahwa anak-anak paling rentan menjadi korban dan pelaku perundungan. Fenomena bullying yang seringkali terjadi di antara anak-anak adalah bullying di media sosial, seperti yang terjadi pada salah satu siswi SMP di Thamrin City.
Pada kasus di Thamrin City, para senior (kakak kelas) menjadi pelaku perundungan dan yang menjadi targetnya adalah junior (adik kelas). Pada umummya, penyebab kasus bullying di suatu institusi pendidikan antara lain adik kelas yang terlihat mencolok dalam hal fisik, perilaku, atau gaya berpakaian. Sebab lainnya adalah rasa senioritas, di mana kakak kelas merasa lebih kuat dan lebih berkuasa jika melakukan tindak kekerasan terhadap junior. Selain itu, kakak kelas sering merasa iri dengan adik kelasnya dalam penampilan fisik dan prestasi akademik. Hal ini karena senior merasa takut tersaingi dan tidak mau adik kelas tersebut menjadi populer di sekolah. Berbagai kecemburuan sosial tersebut seringkali menjadi dalih terjadinya tindakan perundungan.
Kedua Belah Pihak adalah Korban
Perundungan yang terjadi di sekolah memiliki dampak buruk bagi korban maupun pelaku. Korban biasanya akan merasakan berbagai emosi negatif, seperti marah, dendam, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam, dan perasaan tidak berdaya. Bahkan, ada juga yang sampai ingin berhenti atau pindah sekolah. Hal ini karena mereka merasa trauma dan khawatir bila masih bertahan di sekolah yang sama, tindakan perundungan bisa terjadi terus menerus. Korban biasanya juga terganggu konsentrasinya dan sering sengaja tidak masuk sekolah. Dampak psikologis yang lebih berat adalah kemungkinan timbulnya masalah pada korban, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, dan keinginan bunuh diri.
Selain berdampak buruk pada korban, pelaku perundungan pun tak bisa mengelak dari dampak negatif perundungan. Pelaku perundungan pada saat dewasa memiliki kecenderungan melakukan tindakan kriminal. Selain itu, mereka juga sering mengalami kesulitan menjalin pertemanan sehingga timbul rasa dikucilkan.
Perundungan yang terjadi di institusi pendidikan harus mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak. Selain tindakan kuratif, berbagai tindakan preventif perlu digalakkan untuk meminimalkan tindakan negatif ini. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan guru untuk mencegah perundungan di sekolah, yaitu bertindak tegas pada semua murid terutama bagi pelaku bullying. Selain itu, sekolah juga melakukan monitoring pada para siswa, sehingga siswa bisa berbagi pengelaman maupun permasalahan yang dialami di sekolah. Tindakan pencegahan ini juga memerlukan peran serta orang tua. Dalam hal ini, orang tua sebaiknya menaruh perhatian ekstra pada anak-anaknya, seperti menanyakan kondisi belajar dan sosial anak di sekolah.

Dokumentasi solo.tribunnews.com (http://solo.tribunnews.com/tag/sahabat-kapas?url=2016/05/02/kopka-bagyo-dan-sahabat-kapas-surakarta-kampanyekan-stop-bullying-di-hari-pendidikan-nasional)
Selain sekolah dan orang tua, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga resmi yang bertujuan menjamin hak-hak anak, harus ikut serta dalam upaya mengantisipasi dan mengurangi tindakan perundungan di sekolah. Tindakan yang mungkin bisa dilakukan adalah mengadakan survei ke sekolah-sekolah mengenai kasus yang terjadi, memberikan himbauan kepada guru agar memberikan pengawasan ekstra bagi anak didiknya, dan memberi pengetahuan tentang akibat serta cara penanganan yang tepat dari perilaku perundungan.
Sudah seharusnya kasus perundungan yang terjadi di sekolah menjadi mendapat perhatian serius dari semua pihak, baik orang tua, masyarakat umum, institusi pendidikan, dan para penyelenggara negara. Kita tidak bisa membiarkan begitu saja, racun perundungan menjangkiti generasi penerus bangsa. So, Stop Bullying! (*)
*Penulis adalah mahasiswa magang di Sahabat Kapas.
Published by