Yang [TIDAK] Berada di Balik Jeruji Besi

Hei, kawan. Tidak mudah memulai tulisan ini. Tidak mudah menggambar dalam bentuk rangkaian kata seperti ini. Terlebih lagi, tidak mudah menuliskan tentang kalian yang berada di balik jeruji besi.

Sempat terbesit di pikiranku, kurang ajar sekali anak-anak dimasukkan dalam penjara yang bercampur dengan orang dewasa. Aku mengenal anak-anak, belum lama aku melepas “gelar” itu. Memang, anak-anak di balik jeruji besi ini “berbeda” dengan anak-anak pada umumnya. Tapi mereka tetap ANAK, bukan? Bukankah dulu aku mengkoar-koarkan tentang perlindungan anak. Hak-hak anak. Berkubang bersama anak-anak yang “nakal”. Tapi kenakalan seorang anak bisakah disandingkan dengan kejahatan orang dewasa? TIDAK. Lalu bagaimana dengan fenomena ini? Hei, napi anak di dalam LAPAS dewasa!

Bukankah dengan berbaur, bisa jadi mereka justru akan menjadi semakin “nakal”? Bukankah ada lembaga pemasyarakatan khusus untuk anak? Lalu, mengapa mereka tidak ditempatkan di sana? Kemana wajah keadilan, heh? Membayangkan anak-anak hidup di dalam penjara semacam itu, pastilah tidak ada bahagia-bahagianya. Bukankah mengurung anak seperti itu sama dengan tidak memenuhi hak-hak mereka? Membatasi tumbuh dan kembangnya?

Gagasan dan bayangan seperti itu aku rasakan sebelum kaki ini menginjak tanah LAPAS. Membayangkannya saja sudah ngeri. Saat akan memasuki LAPAS pun banyak sekali hal yang harus diperhatikan. Tidak boleh inilah, itulah, beginilah, begitulah. Harus seperti ini dan itu karena bla bla bla. Dua hal yang terbesit, sungguh menyeramkan sekali keadaannya dan aku semakin penasaran ingin segera ke sana.

Kondisi LAPAS tidak seseram yang aku bayangkan sebelumnya: gelap, menyeramkan, menakutkan, dan menyedihkan. Ternyata tidak. Petugas di sana memang terkesan seram, tapi cukup ramah. Para napi yang masih berjemur (disebut angin-angin di Lapas Klaten) untuk sedikit menghirup segarnya udara di luar jeruji besi yang sudah menjadi bagian hidup mereka, terbengong dengan tatapan menyelidik pada sosok baru yang datang. Sangar. Gelap? Di dalam sel iya. Di luar semua bangunan dicat abu-abu. Prosedur atasan, katanya. Cukup menarik dengan polesan abu-abu cerah, tidak terlalu gelap lah. Mana sel untuk anak-anak? Sel mereka disendirikan. Tidak dijadikan satu dengan yang dewasa. Cukup melegakan.

Hei, kalian di sana kawan. Berjalan membelah lapangan tempat berjemur. Kalian terlihat, DATAR. Bahagiakah? Sedihkah? Bagiku, kalian terlihat menyedihkan. Kasihan. Tapi kalian tidak untuk dikasihani! Kalian tidak perlu itu! Sudah cukup penderitaan kalian. Itu kan yang namanya keadilan? Saya berani mengatakan bahwa itu bukan keadilan.

Setelah tahu pasal apa yang mereka langgar, keterlaluan sekali bila akhirnya mereka harus mendekam di balik jeruji besi. Apa dipikir mereka akan jera jika sudah dipenjara? Bagaimana kalau justru ketagihan? Siapa yang bertanggung jawab jika muncul residivis anak? Lantas, inikah wajah keadilan negeri ini? Anak-anak ini perlu dorongan, sokongan. Mereka butuh uluran tangan. Setidaknya membuat jiwanya bebas, walau tubuhnya terpenjara. Apa mereka menginginkannya? TIDAK. Mereka butuh, bukan ingin.

Bahagia sekali bisa mengenal mereka. Setidaknya aku jadi tahu, belum kenal dekat juga. Sudah baik mereka berada di LAPAS yang masih peduli dengan anak. Lantas bagaimana dengan lapas-lapas lainnya? Lapas dewasa yang menampung napi anak. Mereka peduli pada anak jugakah? Memperhatikan kebutuhan anak? Yang saya tahu, baru satu LAPAS ini yang mampu “mendengar” kebutuhan anak. Yang lain, mana saya tahu? Harapannya semua lapas bisa mengikuti jejak ini.

Melihat kenyataan bahwa banyak penjahat “lahir” dari jalanan, kerasnya hidup jalanan mencetak penghuninya menjadi jahat. Semata-mata untuk mempertahankan diri dari ketatnya persaingan. Di situlah, anak-anak pun “lahir” menjadi penjahat. Bisa jadi mereka memang hidup di jalanan, atau mungkin terpengaruh oleh kehidupan jalan. Rata-rata, mereka adalah anak yang diterlantarkan oleh orang tuanya. Atau anak yang kurang kasih dan perhatian keluarga hingga akhirnya memutuskan untuk terjun ke jalan. Siapa yang mengira, satu atau beberapa dari mereka adalah penghuni LAPAS saat ini?

Kita perlu buka mata dan buka hati. Aku, kau, dia, mereka. Anak-anak itu pun bagian dari dunia ini, bumi tempat kita semua hidup. Mereka bukan makhluk asing! Mereka manusia seperti kita juga. Sudah tugas kita untuk mengurus bumi ini, bukan? Ingatlah konstitusi yang berkata, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” di Pasal 34 ayat (1). Hei, bukankah kita merupakan bagian dari negara?

Bukalah mata dan hati wahai engkau yang [TIDAK] berada di balik jeruji besi …

 

Ditulis oleh Risa (Relawan Sahabat Kapas)

You Might Also Like

Published by

admin

Sahabat Kapas adalah organisasi nonpemerintah dan nonprofit, yang berkedudukan di Karanganyar, Jawa Tengah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.