Sekolah Warga jilid terakhir terlaksana dalam suasana yang penuh dengan energi dan semangat positif. Kali ini peserta belajar tentang mediasi dalam penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH). Perwakilan warga di 10 (sepuluh) Kelurahan Kota Surakarta yang tergabung dalam Pos Pelayanan Terpadu (PPT) mendapat ilmu baru mengenai mediasi dan tujuannya, teknik bermediasi, proses atau tahapan bermediasi, dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mediasi AKH.
Ada hal menarik yang saya temui ketika sesi role play. Dalam sesi ini peserta dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok. Tiap kelompok diberikan waktu 30 (tiga puluh) menit untuk kemudian mempraktikkan proses mediasi penanganan AKH sesuai kasus yang diberikan. Salah satu warga dalam sesi ini berpendapat “Kalau bisa, ya tidak perlu melibatkan orang tua pelaku agar hemat waktu sehingga masalah cepat selesai”.
Seringnya orang dewasa yang terlibat dalam proses mediasi lupa bahwa fokus utama bukan hanya demi memenuhi keinginan korban atau cepatnya waktu penyelesaian, tetapi pada dasarnya segala bentuk penyelesaian kasus AKH harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak. Karena itu, keterlibatan orang tua dalam proses mediasi tidak boleh diabaikan. Orang tua harus ikut bertanggung jawab memulihkan perilaku anak yang kurang tepat. Orang tua nantinya diharapkan memberikan pendampingan, perhatian dan dukungan kepada anak karena mereka memiliki peran penting dalam menumbuhkan mental positif dan membentengi anak dari pengaruh negatif lingkungan.
Lalu bagaimana jika AKH tersebut tidak memiliki hubungan yang kuat dengan orang tua mereka? Dalam kasus seperti ini, sangat penting untuk mengidentifikasi orang dewasa lain yang memiliki pengaruh positif terhadap anak, tertama yang masih menjadi anggota keluarga seperti kakek, bibi, atau paman. Agar dapat menangani AKH secara efektif, orang dewasa tersebut harus diidentifikasi dan turut dilibatkan dalam proses mediasi [1].
Bukan hanya mengenai pentingnya keterlibatan orang tua, hal menarik lainnya yang saya dapatkan adalah mengenai bentuk ganti rugi yang diberikan sebagai bentuk pertanggung jawaban AKH. Salah satu peserta Sekolah Warga dalam sesi tanya jawab mengajukan pertanyaan “Apakah kesepakatan diversi harus berupa kompensasi/ganti rugi kepada korban? Apakah fokus mediator ada pada mengusahakan penggantian kerugian korban?”.
Kembali kita harus mengingat kepentingan terbaik bagi anak. Dian Sasmita, Direktur Sahabat Kapas yang ikut dalam Sekolah Warga, membantu menjelaskan bahwa kompensasi atau ganti rugi memang wajib tetapi yang lebih utama adalah bentuk tanggung jawab yang memiliki nilai edukasi bagi anak. Mengapa hal ini penting? Dalam konteks pendidikan, tujuan pemberian hukuman sebagai bentuk tanggung jawab yang memiliki nilai edukasi bagi anak dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Adapun tujuan jangka pendek adalah untuk menghentikan tingkah laku yang salah, sedangkan tujuan jangka panjang tak lain adalah untuk mengajar dan mendorong anak agar dapat menghentikan sendiri tingkah lakunya yang salah [2].
Untuk kesekian kalinya, saya banyak belajar hal baru terkait penanganan AKH. Sekolah Warga kali ini memberikan pemahaman bahwa dalam semua tindakan penyelesaian kasus AKH, masyarakat atau siapa pun itu yang bertindak sebagai mediator atau penengah untuk mencapai perdamaian antara AKH dan korban harus menjadikan kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama.
Referensi:
[1] Santi Kusumaningrum. Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum (Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson). Hlm 2.
[2] A. Yanuar. 2012. Jenis-jenis Hukuman Edukatif Untuk Anak SD. Jogjakarta: Diva Press. Hlm 59.
Ditulis oleh Apriliani K. (Koordinator #OnJail)
Foto diambil dari facebook Solidaritas Kapas.