Belajar Menjadi Mediator di Sekolah Warga Jilid 3

Sekolah Warga jilid terakhir terlaksana dalam suasana yang penuh dengan energi dan semangat positif. Kali ini peserta belajar tentang mediasi dalam penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH). Perwakilan warga di 10 (sepuluh) Kelurahan Kota Surakarta yang tergabung dalam Pos Pelayanan Terpadu (PPT) mendapat ilmu baru mengenai mediasi dan tujuannya, teknik bermediasi, proses atau tahapan bermediasi, dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mediasi AKH.

Ada hal menarik yang saya temui ketika sesi role play. Dalam sesi ini peserta dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok. Tiap kelompok diberikan waktu 30 (tiga puluh) menit untuk kemudian mempraktikkan proses mediasi penanganan AKH sesuai kasus yang diberikan. Salah satu warga dalam sesi ini berpendapat “Kalau bisa, ya tidak perlu melibatkan orang tua pelaku agar hemat waktu sehingga masalah cepat selesai”.

Sekolah Warga Jilid 3
Sekolah Warga Jilid 3

Seringnya orang dewasa yang terlibat dalam proses mediasi lupa bahwa fokus utama bukan hanya demi memenuhi keinginan korban atau cepatnya waktu penyelesaian, tetapi pada dasarnya segala bentuk penyelesaian kasus AKH harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak. Karena itu, keterlibatan orang tua dalam proses mediasi tidak boleh diabaikan. Orang tua harus ikut bertanggung jawab memulihkan perilaku anak yang kurang tepat. Orang tua nantinya diharapkan memberikan pendampingan, perhatian dan dukungan kepada anak karena mereka memiliki peran penting dalam menumbuhkan mental positif dan membentengi anak dari pengaruh negatif lingkungan.

Lalu bagaimana jika AKH tersebut tidak memiliki hubungan yang kuat dengan orang tua mereka? Dalam kasus seperti ini, sangat penting untuk mengidentifikasi orang dewasa lain yang memiliki pengaruh positif terhadap anak, tertama yang masih menjadi anggota keluarga seperti kakek, bibi, atau paman. Agar dapat menangani AKH secara efektif, orang dewasa tersebut harus diidentifikasi dan turut dilibatkan dalam proses mediasi [1].

Bukan hanya mengenai pentingnya keterlibatan orang tua, hal menarik lainnya yang saya dapatkan adalah mengenai bentuk ganti rugi yang diberikan sebagai bentuk pertanggung jawaban AKH. Salah satu peserta Sekolah Warga dalam sesi tanya jawab mengajukan pertanyaan “Apakah kesepakatan diversi harus berupa kompensasi/ganti rugi kepada korban? Apakah fokus mediator ada pada mengusahakan penggantian kerugian korban?”.

Kembali kita harus mengingat kepentingan terbaik bagi anak. Dian Sasmita, Direktur Sahabat Kapas yang ikut dalam Sekolah Warga, membantu menjelaskan bahwa kompensasi atau ganti rugi memang wajib tetapi yang lebih utama adalah bentuk tanggung jawab yang memiliki nilai edukasi bagi anak. Mengapa hal ini penting? Dalam konteks pendidikan, tujuan pemberian hukuman sebagai bentuk tanggung jawab yang memiliki nilai edukasi bagi anak dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Adapun tujuan jangka pendek adalah untuk menghentikan tingkah laku yang salah, sedangkan tujuan jangka panjang tak lain adalah untuk mengajar dan mendorong anak agar dapat menghentikan sendiri tingkah lakunya yang salah [2].

Untuk kesekian kalinya, saya banyak belajar hal baru terkait penanganan AKH. Sekolah Warga kali ini memberikan pemahaman bahwa dalam semua tindakan penyelesaian kasus AKH, masyarakat atau siapa pun itu yang bertindak sebagai mediator atau penengah untuk mencapai perdamaian antara AKH dan korban harus menjadikan kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama.

Referensi:
[1] Santi Kusumaningrum. Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum (Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson). Hlm 2.
[2] A. Yanuar. 2012. Jenis-jenis Hukuman Edukatif Untuk Anak SD. Jogjakarta: Diva Press. Hlm 59.

Ditulis oleh Apriliani K. (Koordinator #OnJail)

Foto diambil dari facebook Solidaritas Kapas.

Sekolah Ini, Sekolah Warga

Sudah biasa dengan sekolah-sekolah formal seperti SD, SMP, SMA? Dengan guru-guru yang berbicara di depan murid-muridnya. Menjelaskan materi pelajaran yang sering kali membuat murid-muridnya mengantuk. Sekolah seperti itu adalah sekolah yang dulu pernah atau saat ini sedang Anda alami.

Berbeda dengan sekolah yang ini. Sekolah yang tidak mungkin menemukan murid-murid duduk di bangku kayu. Tidak ada guru yang berceloteh sementara muridnya asyik merajut mimpi di saat mata mereka terpejam. Atau sekolah dengan tembok-tembok berjendela bercat muram. Terus? Sekolah macam apa ini?

11162198_1076900585656856_2815021677083965775_nSekolah Warga di Surkarta adalah kegiatan hasil kerja sama antara Sahabat Kapas, LPA Klaten, Yayasan Setara, UNICEF, dan Bapermas PPAKB Kota Surakarta. Sekolah Warga merupakan ruang belajar bagi warga mengenai isu perlindungan anak. Murid di sini adalah perwakilan warga masyarakat di 10 kelurahan mewakili 5 kecamatan.

Pelaksanaan Sekolah Warga dilakukan di dua lokasi yakni Klaten dan Surakarta. Khusus Sekolah Warga di Surakarta diselenggarakan oleh Sahabat Kapas. Sekolah Warga Jilid 1 telah diselenggarakan sebanyak lima kali pada bulan April 2015. Sepuluh kelurahan yang terlibat adalah Kadipiro, Punggawan, Penumping, Sondakan, Serengan, Kemlayan, Joyosuran, Sangkrah, Gandekan, dan Sewu.

541588_1073745999305648_8863112858233195613_nDalam kegiatan Sekolah Warga Jilid 1 ini ada pemaparan materi mengenai Kebijakan Kota Surakarta mengenai penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), restorative justice dan diversi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru. Ibu Supraptiningsih dari Bapermas PPAKB Kota Surakarta dan Kak Erry Pratama Putra dari Pro Child Comunity dan LPA Klaten berperan sebagai narasumber. Dalam kegiatan ini para peserta tidak cukup hanya mendengarkan narasumber bercerita. Akan tetapi dibuat diskusi interaktif untuk menggali informasi terkait ABH di masing-masing kelurahan dan hal-hal apa saja yang sudah dilakukan masyarakat, terutama oleh Pos Pelayanan Terpadu (PPT) di masing-masing kelurahan ketika menghadapi ABH maupun keluarga ABH.

15591_1075414109138837_1027946962465256703_nPeserta banyak bertanya mengenai cara penanganan ABH dalam diversi dan restorative justice. Bagaimana bentuk pendampingan anak pasca diversi sehingga anak jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab oleh sesama peserta berdasarkan pengalaman mereka. Sekolah Warga Jilid 2 dan 3 akan menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta dengan lebih menyeluruh.

Semoga dengan Sekolah Warga bisa memberikan dampak yang positif bagi para peserta. Dan berdampak pada berkurangnya anak yang dipenjara. Sekolah Warga untuk masa depan anak yang lebih baik.

11146546_1075414079138840_1483418615481495408_nDitulis oleh N. Yukamujrisa (Relawan Sahabat Kapas)

Foto diambil dari facebook Sahabat Kapas : Solidaritas Kapas