Keluarga: Wahana Sosialisasi Pertama Bagi Anak

Keluarga adalah agen sosialisasi utama dan pertama bagi seorang anak. Keluarga menyediakan lingkungan pembelajaran mendasar atau dengan kata lain menjadi sekolah pertama bagi anak. Di dalam lingkungan keluarga, anak pertama kali belajar cara berinteraksi dengan orang lain, cara bertingkah laku, berpikir, dan mengenali adanya norma-norma sosial. Adanya interaksi yang baik antaranggota keluarga sangat penting untuk menghasilkan partisipasi sosial yang efektif bagi anak di masa depan.

Dalam lembaga pendidikan keluarga, ayah, ibu, dan saudara berperan sebagai agen sosialisasi. Peranan para agen sosialisasi dalam lingkungan keluarga pada tahap awal sangat besar terhadap anak. Interaksi pada lingkungan keluarga menjadi awal bagi seorang anak memperoleh pengalaman belajar. Dalam keluargalah, pertama kali anak belajar berinteraksi dan akan terus berkembang sesuai tahapan umurnya. Oleh karena itu, pola asuh atau pendidikan yang berdasarkan interaksi sosial dari keluarga kepada anak menjadi sangat penting. Sebuah penelitian yang dilakukan University of Oklahoma, Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa anak yang rutin berkumpul bersama keluarga memiliki kemampuan sosial lebih baik dan jarang bermasalah.

Fuad Ihsan dalam bukunya Dasar-Dasar Pendidikan (2001) menyebutkan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional anak. Tumbuh di lingkungan keluarga yang baik akan menumbuhkan sikap tolong menolong dan tenggang rasa, sehingga menciptakan kehidupan keluarga yang damai dan sejahtera. Selain itu, keluarga berperan dalam meletakkan dasar pendidikan agama dan sosial.

Anak Terlantar: Kegagalan Fungsi Keluarga

Sayangnya, tak semua anak dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang mendukung. Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (Pusdatin Kemensos) pada tahun 2016, merilis data bahwa ada sekitar 4,1 juta anak Indonesia dalam kondisi terlantar, termasuk di antaranya 5.900 anak korban kekerasan, 34.000 anak jalanan, dan 3.600 anak berhadapan dengan hukum. Anak-anak terlantar tersebut seringkali mengalami hambatan untuk tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lainnya. Mereka kehilangan waktu belajar, mengenyam pendidikan, istirahat, bersosialisasi (bermain) yang merupakan hak dasar bagi seorang anak.

Kebanyakan orang tua pelaku penelantaran anak tidak dengan sengaja menelantarkan anak mereka. Orang tua dalam pernikahan dini misalnya, secara psikologis mungkin tidak mengetahui secara pasti bagaimana harus merawat anak dan menjaga tumbuh kembang buah hatinya. Keadaan yang menempatkan keluarga di bawah tekanan luar biasa, misalnya kemiskinan, perceraian, kondisi kesehatan, disabilitas, juga seringkali menempatkan anak sebagai korban penelantaran. Kondisi penelantaran juga rentan terjadi pada orang tua yang menyalahgunakan alkohol atau obat-obat terlarang. Ketika penelantaran terjadi, keluarga (khususnya orang tua) telah gagal menjalankan fungsi-fungsinya, antara lain fungsi melindungi, fungsi sosialisasi, dan pendidikan.

Tidak berfungsinya keluarga dalam kehidupan anak dapat berdampak buruk bagi kondisi psikologis anak. Anak yang ditelantarkan bisa mengalami trauma psikologis yang kemudian mendorong mereka mengembangkan perilaku agresif dan destruktif. Anak terlantar juga cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, menutup diri, dan tidak bisa memberi kepercayaan terhadap orang lain. Hal ini yang pada akhirnya membuat kemampuan anak untuk bersosialisasi tidak berkembang dengan baik.