Mulai dari Diri Sendiri

Kekerasan.

Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar kata tersebut? Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)? Dipukul dan ditendang? Dihina, diejek, dicemooh? Dilecehkan? Ya! Semua jawaban tersebut benar. Saya tiba-tiba teringat ketika pada hari Jumat tanggal 20 Mei 2016 lalu, Mbak Dian, koordinator Sahabat Kapas, mengatakan kata “starter” dan secara alami teman-teman SMA N 5 Surakarta tertawa. Benar kata Mbak Dian bahwa kekerasan telah menjadi budaya di negeri ini, terutama kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan yang notabene merupakan kaum yang lebih lemah.

13245345_1317420771604835_2897333342882317844_n
Salah satu siswi SMA N 5 Surakarta sedang menunjukkan pertanyaan seputar bullying.

Tahun ini, Sahabat Kapas kembali aktif melakukan kegiatan sosialisasi pencegahan kekerasan untuk mendukung kampanye #EndBullying yang menjadi tema kampanye Sahabat Kapas tahun 2016. Mengapa? Kekerasan adalah hal yang melekat pada bullying. Bullying adalah kekerasan yang dilakukan secara berulang dan menyebabkan korban merasakan efek negatif seperti merasa minder, takut, cemas, sakit fisik  dan atau justru merasakan keinginan untuk balas dendam. Mengenali kekerasan dan berperan aktif dalam mencegah kekerasan akan berdampak pada penghentian bullying.

13220768_1317420891604823_1003729280802398510_o
Siswa SMA N 5 Surakarta sedang melakukan body mapping.

Sosialisasi diawali dengan body mapping kekerasan di lingkungan keluarga, sekolah dan sosial (pertemanan). Teman-teman SMA N 5 Surakarta sangat menikmati proses body mapping ini. Kerja sama dan diskusi terjadi dengan asyik. Setelah selesai, perwakilan kelompok mempresentasikan hasil body maping mereka. Diskusi kembali terjadi setelah setiap kelompok selesai mempresentasikan hasil kerja mereka. Banyak sekali opini mengenai kekerasan. Satu pendapat menarik disampaikan oleh seorang siswa, “Kekerasan di dalam keluarga seharusnya tidak boleh terjadi, karena apabila terjadi, itu artinya orangtua gagal melindungi anak-anak.” Hal ini seolah-olah menjadi cerminan hati dan harapan yang mewakili seluruh anak di Indonesia yang mendapatkan kekerasan dari orang-orang terdekatnya, yaitu keluarga.

Teman-teman lainnya menyampaikan bahwa kekerasan dari lingkungan sekolah dan sekolah masih kerap terjadi, di antaranya dalam bentuk kekerasan fisik : ditendang, dijitak, dicubit; psikis : diejek, dipanggil dengan sebutan yang bukan namanya; maupun seksual : distarter, disenggol bagian pantat; yang sesugguhnya tidak patut diterima oleh siapapun.

Menarik, meskipun tahu dan pernah mengalami kekerasan, banyak teman SMA N 5 Surakarta yang merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Sahabat Kapas mendorong teman-teman ini untuk bisa melakukan sesuatu ketika mereka menerima kekerasan, seperti : berkata tidak, berteriak minta tolong, melapor kepada orang yang lebih berwenang seperti guru BK, orang tua, dll.

Siswa SMA N 5 Surakarta mengikuti sosialisasi dalam suasa ceria.
Siswa SMA N 5 Surakarta mengikuti sosialisasi dalam suasa ceria.

Lalu bagaimana jika kita adalah pelaku kekerasan maupun bullying? Kita harus berani untuk menghentikannya! Kekerasan dan bullying sudah seperti lingkaran setan. Siapa yang pernah menjadi korban, memiliki kesempatan untuk menjadi pelaku. Efek negatif kekerasan dan bullying seperti perasaan negatif seperti rasa sakit hati, malu, takut, cemas, tidak berdaya, akan menjadi berbahaya jika berkembang menjadi rasa ingin balas dendam. Rasa dendam ini lah yang membuat korban kekerasan maupun bullying berkesempatan menjadi pelaku.

Sahabat Kapas memberi kesempatan bagi teman-teman SMA N 5 Surakarta untuk berani melakukan tindakan penghentian kekerasan dengan menyuarakan rencana aksi mereka di akhir sesi sosialisasi. Selain itu, teman-teman SMA N 5 Surakarta juga membuat gambar lingkungan ideal yang akan meminimalkan adanya tindakan kekerasan.

Ditulis oleh Cempaka W. (Relawan Sahabat Kapas)

Foto diambil dari Facebook : Solidaritas Kapas

Cerita dari Lereng Merapi

1918839_1278084945538418_7931547411084267281_n
Anak-anak di SD N 1 Tlogolele, Boyolali, yang terletak di lereng Gunung Merapi, bersenda-gurau sambil menunggu acara bermain bersama Sahabat Kapas dimulai.

 

1610014_1278085378871708_5220790748116031599_n
Anak-anak bermain bersama Sahabat Kapas. Keceriaan terlihat dari ekspresi mereka selama kegiatan berlangsung.
12909532_1278085172205062_3828724903292115800_o
Ekspresi salah satu anak SD N 1 Tlogolele, Boyolali.

 

12931136_1278085342205045_7558894683577113635_n
Bermain adalah hak anak. Membuat permainan yang merangsang anak untuk belajar adalah tantangan tersendiri bagi pendamping.

 

 

 

 

 

 

 

Dokumentasi kegiatan di SD N 1 Tlogolele, Boyolali oleh Yoyon (Relawan Sahabat Kapas).

Bagaimana Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual?

Saat ini, pendidikan seksual masih dianggap sebagai pendidikan yang tabu untuk diajarkan kepada anak-anak. Sebagian beranggapan bahwa anak belum cukup umur dan pada saatnya akan tahu dengan sendirinya tentang segala hal yang berkaitan dengan seksualitas itu sendiri, sehingga akhirnya memproteksi anak dari mendapat pendidikan seksual. Anggapan yang seperti ini menurut saya tidak pas. Kenapa? Karena dengan membiarkan anak mengetahui dengan sendirinya hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas tidak memberikan jaminan bahwa anak mendapat informasi dari sumber yang tepat dan terpercaya. Bahkan anak tidak akan tahu seperti apa pendidikan seksual yang benar.

Sebenarnya, seksual itu apa sih? Kenapa harus diajarkan? Ga bisa ya dengan sendirinya, seiring umur bertambah, pendidikan seksual dapat diterima dan langsung diketahui oleh anak?

Sumber: https://www.facebook.com/UNICEFIndonesia/photos/pb.172180876204559.-2207520000.1415077818./649795838443058/?type=3&theater
Sumber: https://www.facebook.com/UNICEFIndonesia/photos/pb.172180876204559.-2207520000.1415077818./649795838443058/?type=3&theater

Ok, yuk kita bahas!

Pendidikan adalah poses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Pendidikan seksual menurut Sarlito W. Sarwono (2001) adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, dan tingkah laku seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

“Terus, kalo anak-anak diajarin pendidikan seksual, apa ngaruhnya? Mereka kan belum cukup umur.”

Hmm… Oke… Pendidikan seksual itu menerangkan, menjabarkan, menjelaskan selain tentang aspek-aspek anatomi dan biologis, juga menerangkan aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual juga harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia, memberikan pengertian untuk perubahan-perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan mnasalah seskual pada anak dan remaja. Tujuan dari pendidikan seksual adalah untuk mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual meliputi peran, tuntutan dan tanggung jawab.

Selain itu, juga untuk membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi, memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan perilaku seksual, memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar mereka dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu  kesehatan fisik dan mentalnya, untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan dan memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai suami istri/suami, orang tua, maupun anggota masyarakat.

Singgih D. Gunarso (2002) mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan  seksual adalah untuk membuat suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor tetapi lebih  sebagai bawaan manusia.

See? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijabarkan bahwa pendidikan seksual itu harus melalui pengajaran dan pelatihan. Karena ini juga termasuk mempelajari organ vital manusia. Dengan mengajarkan pendidikan seksual kepada anak, berarti kita juga telah berperan aktif memproteksi anak dari kekerasan seksual. Dan yang paling penting, pendidikan seksual tidak selalu membicarakan seks! Hal ini lah yang mungkin ada di benak sebagian orang yang masih menganggap tabu pendidikan seksual yang harus diajarkan kepada anak. Singgih D. Gunarso (2002) berpendapat bahwa kita jangan menunggu sampai anak mencapai usia belasan tahun untuk berbicara tentang masa  pubertas. Mereka harus sudah mengetahui perubahan yang akan terjadi pada masa sebelumnya.

Nah, kalau sudah begini gimana cara menyampaikan kepada anak tentang pendidikan seksual ini? Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu/malu. Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, tapi jangan menerangkan yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi. Dangkal/mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak.

Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas-sempitnya pengetahuan dengan cepat-lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak. Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usaha melaksanakan  pendidikan seksual perlu  diulang-ulang (repetitive). Selain itu, perlu untuk mengetahui seberapa jauh suatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, sehingga diperlukan metode mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) (Singgih D. Gunarso, 2002). Hindari gaya mengajar seperti di sekolah. Pembicaraan hendaknya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta biologis, melainkan juga tentang nilai, emosi dan jiwa. Jangan khawatir untuk menjawab terlalu banyak terhadap pertanyaan anak. Mereka akan selalu bertanya tentang apa yang mereka tidak mengerti. Anak-anak  usia pra-sekolah juga perlu tahu bagaimana melindungi diri dari penyimpangan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa. Ini berarti orang tua harus memberitahu anak bahwa mengatakan “tidak” kepada orang dewasa bukanlah sesuatu yang dilarang.

Nah, sudah tahu kan pentingnya pendidikan seksual itu kek apa? Ga perlu tabu buat menjelaskan pendidikan seksual ke anak, karena anak emang perlu banget pendidikan seksual ini ^^

Ditulis oleh Diah Indria K. W. (Relawan Sahabat Kapas)