Hari ini aku kangen banget sama teman-temanku di rumah.
Aku ingin pulang segera dan aku pasti berkumpul bersama kalian lagi.
Di sini aku hanya bisa berharap dan berharap.
Tapi aku Alhamdulillah bisa sabar, gak seperti aku saat masih di luar bersama kalian.
Di luar aku gak bisa bersabar, tapi hanya bisa minta dan harus dituruti.
Dari sini aku bisa belajar bersabar dan aku selalu dihibur sama teman-temanku.
Di sini ada perkumpulan dari Sahabat Kapas.
Semua orangnya menurutku baik semua. Dia juga selalu menghiburku.
Walaupun gak setiap hari dia ke sini.
Sahabat Kapas lah yang memberi semangat selama aku di sini.
Aku suka dengan kegiatan-kegiatan yang mereka berikan kepadaku.
Aku masuk di sini juga karena salahku sendiri.
Sebenarnya sih salah semua, tapi aku sadar aku itu laki-laki yang harus bisa tanggung jawab atas semua perbuatanku.
Aku juga sadar gara-gara pergaulan bebas aku bisa masuk sini.
Aku berjanji akan hidup lebih baik agar bisa menyenangkan kedua orang tuaku.
Buat Sahabat Kapas terima kasih telah selalu memberiku semangat.
Aku gak bisa membalas dengan apa-apa.
Aku hanya bisa membalas dengan kata terima kasih.
Tapi kata terima kasih ini bukan sembarang terima kasih. Terima kasihku yang kuucapkan dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Aku gak tahu apa jadinya aku apabila gak ada kalian semua yang menghiburku.
Buat teman-temanku, aku juga bisa membalas dengan terima kasih saja.
Semoga kalian tak lupa kepadaku.
Aku di sini yang rindu kalian.
Pokoknya aku sayang kalian semua.
Terima kasih sekali lagi teman.
Buat orang tuaku, aku minta maaf kepada kalian.
Aku yang bisa menyusahkan kalian saja.
Tapi aku berjanji akan hidup lebih baik setelah pulang dari sini.
Aku di sini pasti selalu berdoa untukmu semua agar sehat selalu.
Di sini, aku yang lagi kangen kalian semua.
Yang lagi dihukum penjara.
Ttd.
Ditulis oleh salah satu anak dampingan di Lapas Klas II B Klaten.
Bulan Februari adalah bulan yang identik dengan cinta. Valentine yang dirayakan tiap tanggal 14 di bulan tersebut menjadi momen yang menginspirasi Sahabat Kapas untuk mengambil tema cinta di kegiatan dalam Lapas Klas II B Klaten tanggal 21 Februari lalu.
Seperti apa ya anak-anak di lapas mempersepsikan cinta? Apa jadinya jika mereka diminta untuk mengungkapkan perasaan cinta untuk orang tersayang dalam bentuk surat cinta?
Awalnya, anak-anak mengutarakan keberatan mereka ketika diminta menulis surat cinta. Mereka berpendapat bahwa surat cinta sudah sangat kuno di zaman serba canggih seperti sekarang ini. Telepon, sms, WA, dan berbagai aplikasi chatting lainnya menjadi pilihan yang lebih praktis dan mudah sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan cinta.
Penolakan mereka luntur setelah mendengar penjelasan dari para pendamping. Ungkapan cinta dalam bentuk surat dengan tulisan tangan sendiri akan mampu menyentuh hati orang yang dituju. Usaha penulis surat ketika memilih dan menuliskan tiap kata dalam surat cinta membuat surat cinta dengan tulisan tangan sendiri terkesan lebih personal.
Akhirnya, anak-anak pun bersemangat melalui proses menuliskan perasaan cinta mereka untuk orang tersayang. Apalagi setelah mereka melihat beberapa film tentang cinta yang mampu menggugah perasaan cinta dalam diri mereka.
Penasaran dengan isi surat cinta mereka? Dua orang anak mengijinkan kami memposting surat cinta mereka di blog ini.
Here they are…
Bapak ibuku tercinta,
Ibu, aku minta maaf kalau selama ini aku tidak pernah menurut pada perkataanmu dan aku selalu tidak menurut. Makasih ibu yang semenjak kecil mendidik dan membesarkanku dan aku yang selalu tidak menurut. Mungkin kalau boleh aku pulang dari sini, akan memperbaiki semua sifatku dan tidak akan mengulangi lagi.
Dan buat adikku, jangan nakal seperti kakakmu ini yang hanya bisa membuat susah kepada orang tua. Terima kasih banyak ibuku yang selalu berkorban kepadaku. Maafkanlah kesalahan anakmu ini selama sejak kecil sampai sekarang.
I love you mom. Anakmu tercinta, hehehe…
Pengen kembali dan berkumpul bersama lagi dan tidak akan mengulangi lagi kesalahanku.
Aku yang lagi kangen.
Buat orang yang aku sayang. Semoga kalian di sana tidak lupa padaku. Aku di sini selalu mengingat kenangan-kenangan bersamamu. Jujur aku di sini sedih gak bisa bersama-sama kalian lagi.
Rasanya aku ingin cepat kembali berkumpul bersama kalian lagi.
Pokoknya aku sayang kalian. Aku rindu kalian.
Dari saya yang lagi dihukum.
Meminjam dan mengamini pandangan orang lain, lalu lupa untuk menggunakan mata hati untuk melihat. Kita mudah meyakini bahwa ibu tiri itu jahat; tato identik dengan kriminal; orang dengan HIV/AIDS sangat berbahaya; dan anak-anak di dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah pasti anak “nakal”. Sayangnya, kita tidak benar-benar tahu kenyataannya, kita hanya mengikuti keyakinan orang kebanyakan. Menstigma tanpa bertanggung jawab.
Tanpa kita sadari sebenarnya kita adalah manusia-manusia jahat.
Pernahkah terbayangkan dalam benak bahwa ada seorang anak yang putus asa menjadi “anak baik”? Ia dengan sengaja melakukan pelanggaran hukum agar kembali masuk ke lembaga pemasyarakatan karena merasa sudah tidak diterima lagi di masyarakat.
Atau bocah berusia belasan tahun yang mengubur segala cita dan harapan karena label anak “nakal” menancap di relung jiwanya seumur hidup.
Si A tidak diterima bekerja karena riwayat pernah menjadi warga binaan.
Si B tidak melanjutkan sekolah pun hanya karena ia pernah berada di balik jeruji besi, meski hanya karena mencuri beberapa buah jambu biji. Bukan semata sekolah menolaknya, tapi hati yang masih rapuh itu telah dihancurkan sampai tiada jelas bentuknya.
Mereka sama, berikanlah kesempatan, dan mereka pun bisa.
Lima tahun berjalan kami setia untuk mempromosikan kesetaraan hak dan penghapusan diskriminasi untuk anak-anak berkonflik dengan hukum, khususnya anak-anak yang berada di balik jeruji besi. Beberapa upaya kami lakukan, salah satunya dengan mengikuti pameran Jagongan Media Rakyat di Jogja Nasional Museum (JNM) pada tanggal 23-26 Oktober 2014 yang lalu. Dalam acara tersebut kami memamerkan beberapa hasil karya anak-anak dampingan di Lapas Klas II B Klaten. Dengan karya tersebut kami berharap stigma negatif terhadap mereka dapat perlahan-lahan luntur.”
Hari Pertama dan Kedua: Keramaian Anak-anak SD
Hari pertama pameran, Sahabat Kapas sibuk menata stand dan memenuhinya dengan beragam produk anak- anak dampingan di lapas. Mendapatkan jatah tempat di bagian belakang museum yang terhalang oleh aula seminar, stand Sahabat Kapas pada hari pertama masih sepi pengunjung. Meskipun mendapatkan tempat yang kurang strategis, personil Sahabat Kapas tetap semangat menggelar dagangan dan berinisiatif untuk berkenalan dengan komunitas lain yang mengisi stand terdekat.
Menjelang siang, anak-anak SD yang bersekolah di samping JNM ramai berdatangan. Lokasi stand yang dekat dengan sekolahan serta display yang menarik membawa anak-anak untuk berkunjung ke stand Sahabat Kapas. Mereka tampak antusias bertanya dan menjanjikan akan datang keesokan harinya.
Pada hari kedua stand Sahabat Kapas yang mengusung produk #OnJail buka mulai pukul 09.00 WIB. Seperti hari pertama, stand Sahabat Kapas masih sepi pengunjung. Hari kedua ini bertepatan dengan hari Jum’at dimana pada pagi hari masyarakat umum masih sibuk dengan pekerjaan, kuliah, sekolah, maupun aktivitas lainnya. Sekitar pukul 10.00 WIB stand Sahabat Kapas kembali diramaikan oleh anak-anak kecil usia TK-SD. Anak-anak ini sangat antusias melihat pernak-pernik yang terdapat dalam stand. Dari berbagai pernak-pernik yang dipamerkan dalam stand ternyata anak-anak paling tertarik dengan gelang karya anak-anak dampingan di Rutan Klas I A Surakarta tahun 2009 lalu. Tanpa rasa canggung anak-anak meminta kuis pada relawan Sahabat Kapas demi mendapatkan sebuah gelang secara gratis. Anak-anak mulai berbaris secara rapi dan satu persatu memperkenalkan diri. Kuis berlangsung dengan seru. Para relawan semangat memberi mereka kuis, mulai dari perhitungan hingga menerjemahkan kata-kata berbahasa Inggris yang ada di kaos produk #OnJail. Keramaian anak-anak yang memenuhi stand Sahabat Kapas akhirnya berlalu setelah beberapa puluh menit. Produk gelang pun akhirnya laku dan terjual habis karena diserbu oleh anak-anak.
Detik demi detik berlalu, pengunjung silih berganti. Banyak pengunjung yang menanyakan tentang Sahabat Kapas dan tidak sedikit pula yang membeli produk-produk #OnJail. Ada beberapa pengunjung yang memberi masukan dan ada juga yang tertarik dengan karya anak di Lapas Klas II B Klaten, sehingga membuat pengunjung ingin bekerja sama, memesan sablon karya anak di Lapas Klas II B Klaten.
Hari Ketiga: All About Sahabat Kapas
Berbeda dengan hari- hari sebelumnya yang masih relatif sepi, lapak Sahabat Kapas mulai banyak dikunjungi oleh para pendatang pameran pada hari ketiga. Sudah siap sejak pukul 09.00 WIB, para relawan yang baru datang dari Solo menggantikan shift relawan yang telah berjaga pada hari pertama dan kedua. Pada hari itu banyak mahasiswa Jogja yang sedang mengerjakan tugas lapangan dan meliput Sahabat Kapas. Ketertarikan mereka berawal dari isu yang diusung Sahabat Kapas yang memang belum familiar bagi mereka. Beberapa mahasiswa dari UAD dan UNY mewawancarai relawan dan juga Direktur Sahabat Kapas, Dian Sasmita, terkait dengan sepak terjang Sahabat Kapas.
Dengan logo “I am Different, Not Dangerous”, seorang wakil dari change.org Indonesia pun tergelitik mampir di stand Sahabat Kapas. Dari pembicaraan yang terjadi, muncullah beberapa ide kerjasama ke depan yang mungkin bisa dilakukan oleh kedua pihak. Selain itu pengunjung dari berbagai kota seperti Wonogiri, Jakarta, hingga Lampung pun mampir dan berbincang-bincang dengan para relawan. Banyak di antara mereka yang memborong produk #OnJail sebagai wujud kepedulian mereka terhadap isu anak.
Hari Keempat: Mengubah Paradigma Lewat Lensa Kamera
Di hari keempat, relawan Sahabat Kapas tidak membuka stand produk #OnJail karena seluruh kru berpartisipasi dalam acara pemutaran film. Acara yang masih merupakan rangkaian event Jagongan Media Rakyat ini menampilkan beberapa film hasil karya komunitas. Film “Cabe, Harga Sebuah Kebebasan” karya anak di Lapas Klas II B Klaten berkesempatan untuk diputar dan terbuka untuk diapresiasi oleh penonton dan pengunjung JMR. Film ini memang menjadi salah satu media untuk menyampaikan pesan anak di dalam lapas kepada publik luas. Dalam film berdurasi 15 menit ini, penonton diajak untuk melihat lebih dekat kehidupan anak di dalam lapas dari sudut pandang yang berbeda. Film ini memotret ide tentang bagaimana hal-hal kecil yang sangat sepele untuk orang lain di luar sana dapat menjadi hal berharga yang membuat mereka bahagia.
Pasca pemutaran film, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Penonton melemparkan beberapa pertanyaan seperti apa saja kegiatan Sahabat Kapas untuk anak di dalam lapas, tujuan pembuatan film, serta alasan Sahabat Kapas menyerukan pesan “Stop Penjarakan Anak”. Pertanyaan terakhir tersebut merupakan pernyataan yang sudah sering dilontarkan dan menjadi perntanyaan yang lazim disampaikan oleh masyarakat awam.
Banyak dari masyarakat yang berpendapat bahwa penjara adalah tempat dimana anak yang telah terbukti bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tidak banyak yang mau melihat dari perspektif yang berbeda. Pada kenyataannya penjara/lapas/rutan bukanlah jawaban atas permasalahn tersebut. Lapas/rutan mengungkung fisik anak, membuat mereka putus asa dan bahkan mungkin menyimpan dendam. Tidak banyak yang tahu bahwa minimnya pembinaan terhadap anak yang berada di dalam lapas/rutan membuat anak kehilangan kesempatan untuk bisa memperbaiki diri. Hal substansial yang mereka butuhkan adalah bimbingan dan pendampingan agar mereka bisa berproses dan menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan, mampu memahami dan memikul tanggung jawab serta pada akhirnya tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Dalam sesi tanya jawab tersebut, para relawan Sahabat Kapas juga menyampaikan sedikit informasi tentang ‘Diversi’ dan apa yang bisa dilakukan oleh para pengunjung yang hadir jika dihadapkan dengan kasus anak. Sebagai anggota masyarakat, merekka diharapkan mampu untuk bersikap tanggap dan bijaksana dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.
Keikutsertaan Sahabat Kapas selama empat hari dalam Jagong Media Rakyat di Jogjakarta memberikan banyak teman, pelajaran dan pengalaman baru. Dengan pengalaman dan dukungan dari masyarakat luas, Sahabat Kapas semakin bersemangat untuk selalu mendampingi anak- anak untuk mengejar masa depan mereka yang lebih cerah.
Ditulis oleh Evi Baiturohmah, Febri Mahfud E., Bungsu Ratih P. R. dan Febi Dwi S. (Relawan Sahabat Kapas)
Satu dari banyak cerita menarik dari Mbak Siswi dan Mbak Dian ketika mengikutkan karya anak di Lapas Klas II B Klaten pada pameran yang diselenggarakan di Semarang beberapa waktu lalu, membuat saya tersentak. Ternyata, masih ada saja orang yang “takut” terlihat berhubungan dengan anak di dalam lapas.
Dalam pameran tersebut, berbagai produk #OnJail dipamerkan dan dijual kepada khalayak umum. Jelas, tujuan kami mengikuti pameran adalah agar lebih banyak orang melihat karya anak di lapas sehingga masyarakat sadar bahwa meskipun di dalam lapas, dengan fasilitas yang jelas tidak selengkap di luar, anak-anak masih bisa berkarya. Karya mereka sangat layak disandingkan dengan karya anak-anak pada umumnya. Perjuangan dan karya mereka patut untuk mendapatkan dukungan dari semua elemen masyarakat.
Akan tetapi, pada kenyatannya tidak semua orang mampu berpikir seperti itu. Masih saja ada orang yang “takut” secara terang-terangan mendukung perjuangan anak di lapas. Entah “takut” karena apa. “Takut” dicap sebagai orang yang “pro” kepada narapidana, mungkin? Entahlah.
“Kalau Anda beli produk kami, nanti kami akan foto Anda dan meng-upload-nya ke facebook kami.”
“Baik, baik. Saya beli ini.”
Tak berapa lama, pembeli tersebut datang lagi ke stand kami…
“Mbak, mbak… Setelah saya pikir-pikir, lebih baik foto saya jangan di-upload di facebook. Jangan ya mbak.”
Kenyataan itu membuat saya sadar, stigma yang berkembang di masyarakat mengenai narapidana maupun tahanan anak masih sedemikian negatifnya. Ternyata di luar sana, masih banyak orang yang “takut”, bahkan untuk sekedar “terlihat” membeli karya anak di lapas.
Banyak orang tidak paham bahwa sebagian besar anak yang mereka tuding sebagai pencuri, pencopet, dan penjambret itu adalah anak-anak dengan kesulitan ekonomi. Anak-anak tersebut mengambil benda-benda yang mereka inginkan hanya agar mereka bisa memiliki benda-benda yang juga dimiliki oleh teman-teman main/sebaya mereka. Kebanyakan, orang tua mereka sangat jarang bisa memberikan perhatian terhadap kebutuhan mereka. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan materi, sekedar meluangkan waktu untuk dihabiskan bersama dengan mereka pun terkadang tidak bisa dilakukan oleh orang tua mereka.
Banyak orang yang tidak mau peduli dengan fakta bahwa kebanyakan anak dengan dakwaan pelecehan seksual itu adalah anak-anak yang sebenarnya melakukan free seks, pacaran yang “kebablasan”. Mereka adalah anak-anak di usia puber yang sudah selazimnya mulai berkenalan dan mencari tahu tentang segala hal mengenai kebutuhan seksual mereka. Sayangnya, mereka tidak mendapatkan cukup bimbingan untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka dengan cara yang benar.
Jadi, selalu ada sebab di balik perilaku “menyimpang” anak.
Kami, para relawan, tidak pernah sekalipun mendukung tindakan salah yang dilakukan oleh anak-anak di lapas. Kami mendengarkan mereka, mencoba memahami mereka, dan akhirnya mengajak mereka untuk mau berkarya dan berjuang bersama untuk menjadi orang-orang yang lebih baik. Kami merangkul mereka, bukan membenarkan perbuatan salah yang pernah mereka lakukan. Kami senantiasa berharap semoga lebih banyak orang yang tergerak hatinya untuk tidak menghakimi anak-anak di lapas. Paling tidak, berhenti memberikan “cap negatif” terhadap mereka.
Juli adalah bulan istimewa untuk anak di Indonesia. Tak terkecuali #AnakdiLapas.
Mereka punya karya yg hendak di bagikan ke masyarakat luas.
FILM.
Cerita ini berasal dari aktifitas keseharian mereka, dibuat oleh mereka sendiri, dan ditujukan untuk anak-anak Indonesia.
Menarik.
Pesan nan sederhana dari balik tembok penjara tentang arti kebahagiaan.
Tayangan ini hanya cuplikan dari film CABE.
Nantikan film utuhnya ya…
Selamat Hari Anak Nasional
Tantangan baru dilemparkan untuk anak di Lapas Klas II B Klaten. Biasanya, mereka menjadi obyek lensa foto atau video. Kali ini anak di lapas berposisi sebagai subyek dominan. Menulis jalan cerita, mengatur pengambilan gambar, hingga melakonkannya sendiri. Delapan anak melakukannya dengan dukungan relawan Sahabat Kapas.
Akhir Mei 2014, mereka berkenalan dengan proses panjang menghasilkan karya film. Tonny Trimarsanto, sutradara film dokumenter kawakan, berkenan berbagi ilmunya di pojok baca Lapas Klas II B Klaten. Istilah fiksi – nonfiksi skenario, close up, hingga editing ditangkap anak dengan semangat. Hari itu pula separuh anak berkesempatan perdana memegang camera pocket. Ternyata, mereka belum pernah sekalipun mengenal apalagi merekam gambar dengan kamera, meskipun mereka tahu handphone beserta fasilitas fotonya.
Film dan kamera memang tidak asing bagi mereka. Sebulan sekali, kegiatan nonbar selalu dilakukan. Ragam film edukatif dan pemompa semangat dihadirkan. Kehadiran wartawan untuk meliput kegiatan mereka pun terbilang tak jarang. Namun, mereka cenderung menjadi obyek. Hanya menonton film yang sudah jadi atau aktivitas mereka menjadi bahan peliputan.
Peralatan pembuatan film tidak tersedia di lapas. Relawan Sahabat Kapas membawanya dari luar. Sehingga praktis anak-anak belajar menggunakannya hanya ketika relawan datang. Semangat belajar hal baru yang mendorong mereka cepat menangkap ilmu. Hanya 3 jam mereka dikenalkan dengan Digital Single-Lens Reflex (DSLR) Canon 60D dan pernak-periknya. Anak-anak yang bertugas menjadi kamerawan dan sutradara mampu mengoperasikannya, meskipun masih harus didampingi secara intensif.
PARTISIPASI ANAK
Ide cerita adalah hasil diskusi penuh tawa dan perdebatan antara anak dan relawan. Menarik. Semua anak memiliki hak bersuara bahkan berbantah-bantahan dengan orang dewasa. Hal ini lumrah dalam proses menggali ide menarik dan menyamakan persepsi. Relawan tidak 24 jam berinteraksi dengan anak, sehingga memiliki keterbatasan informasi tentang aktivitas mereka.
Anak mengerjakan sesuatu setiap hari, sehingga menjadi rutinitas. Kegiatan yang berulang-ulang ini mereka anggap ‘biasa’ saja, tidak ada yang spesial. Semua yang tinggal di lapas mengalami hal yang sama. Dua kondisi ini dijembatani lewat diskusi aktif selama satu jam. Akhirnya, terdapat lima ide menarik mengenai apa yang mereka lakukan dengan sukacita selama di lapas. Dua di antaranya menjadi ide dasar penulisan cerita di film ini.
Diskusi bukan istilah baru bagi mereka. Namun, selama ini anak hanya diposisikan sebagai pendengar dan pengamin pendapat orang dewasa. Mereka kesulitan untuk mengeluarkan pendapat, meskipun itu bukan pendapat yang bersebrangan lho. Ada kekhawatiran di benak anak, bahwa pendapatnya salah atau tidak sesuai, sehingga mereka malu untuk menyampaikan. Di sinilah tantangan relawan untuk menjadi pendamping atau penutur.
Relawan harus mampu menempatkan diri sehingga anak berani mengelurkan pendapatnya. Memberikan ruang yang lebih besar pada ide atau gagasan anak. Sehingga anak tidak hanya sebagai obyek, tapi mengambil bagian aktif sebagai subyek. Konsep tangga partisipasi anak yang dikemukakan oleh Roger Hart adalah sebagai berikut :
1) Manipulatif.
2) Dekoratif. Misalnya anak menari di acara orang dewasa.
3) Tokenisme. Anak sebagai “stempel” persetujuan terhadap keputusan orang dewasa.
4) Ditugaskan, tapi tidak diinformasikan apa tujuan dari tugas tersebut.
5) Gagasan dikonsultasikan dan diinformasikan kepada anak, pelaksananya orang dewasa.
6) Inisiasi dari orang dewasa, namun keputusan diambil bersama anak.
7) Inisiasi dari anak dan diarahkan oleh orang dewasa.
8) Inisiasi berasal dari anak, kemudian diputuskan bersama orang dewasa.
Tangga partisipasi yang dibuat Hart membantu orang dewasa untuk mengevaluasi diri. Apakah anak sudah cukup diberi ruang partisipasi dalam kegiatan tersebut. Untuk tangga nomor 1 – 4, anak ditempatkan hanya sebagai obyek pelengkap saja. Anak tidak ditanya gagasan, ide, atau bahkan kebutuhannya.
Perkembangan sekarang, kegiatan yang melibatkan anak mulai menginjak pada tangga nomor 5-7. Ruang keikutsertaan aktif anak mulai tersedia. Harapannya hasil dari kegiatan yang dilaksanakan dapat lebih sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan anak. Orang dewasa memang pernah menjadi anak, namun tidak dapat menjamin gagasannya sesuai dengan kebutuhan anak sekarang.
Jaman telah berkembang, termasuk juga dunia anak. Partisipasi anak merupakan salah satu prinsip dasar dalam Konvensi Hak Anak, selain non diskriminasi, kepentingan terbaik anak, dan perlindungan anak. Bappenas pun mulai melibatkan anak dalam proses penyusunan program kerja pemerintah yang terkait pemenuhan hak anak. Kota Surakarta sejak tahun 2010 melibatkan forum anak dalam proses musrenbang.
FILM ANAK DI LAPAS
Proses pembuatan film anak di Lapas Klas II B Klaten mengupayakan porsi partisipasi anak lebih besar daripada orang dewasa (relawan). Keterbatasan fasilitas, waktu, dan tata tertib internal menjadi tantangan tersendiri tanpa mengurangi keterlibatan anak. Di tengah syuting, beberapa anak mengalami ‘kegalauan’ ketika jam besuk dibuka. Mereka berharap dijenguk oleh orang tua/keluarganya. Namun, tidak semua harapan tersebut terwujud sehingga mood mereka pun kocar-kacir.
Prestasi besar bagi anak-anak di dalam Lapas Klas II B Klaten. Pertama kalinya mereka memproduksi film sendiri. Kekurangan di sana-sini. Revisi berkali-kali dalam penyuntingan gambar. Tantangan tersulit adalah menghindarkan close-up wajah mereka. Namun apa daya, masih terdapat gambar ‘bocor’. Topi yang disediakan pendampig kadang kala belum mampu menutupi wajah mereka.
Terkait identitas, sejak awal produksi telah ada kesepakatan untuk tidak menuliskan identitas mereka. Mereka lebih ingin dihargai karyanya daripada jati dirinya. Menarik sekali pernyataan mereka, karena hingga saat ini stigma negatif masih kerap disematkan masyarakat pada mereka. Melalui karya-karyanya, anak di Lapas Klaten ingin menunjukan bahwa mereka tak berbeda dengan anak lainnya. Mereka mampu menghasilkan film dalam keterbatasan ruang dan fasilitas.
Ditulis oleh Dian Sasmita *selalu takjub dengan kreatifitas dan karya anak di lapas*