Kekerasan
seksual menjadi salah satu isu hangat yang terus diperbincangkan. Isu kekerasan
seksual, terutama yang melibatkan anak, terus-menerus menyedot perhatian
berbagai pihak. Pasalnya, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 mencatat 1.234 anak
laki-laki dan 1.064 anak perempuan terlibat kasus pornografi dan kekerasan
seksual baik menjadi korban maupun pelaku.
Pelaku
kekerasan seksual yang berstatus anak (rentang usia 14-18 tahun) atau dalam
istilah psikologi disebut remaja, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
dengan menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Metode pembinaan remaja yang selama ini dilaksanakan di LPKA pun
masih tergolong general, meliputi pemberian alternatif pendidikan sekolah
formal maupun kejar paket, pelaksanaan kegiatan minat-bakat, dan klinik
kesehatan.
Selama proses
pembinaan, LPKA belum secara khusus memberikan pelayanan rehabilitatif bagi
remaja pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut salah
satunya dikarenakan belum tersedianya sarana prasana penunjang proses
rehabilitasi, seperti klinik ramah anak, ruang khusus konseling, atau
ekstrakulikuler sesuai minat bakat. Selain itu, minimnya proses rehabilitasi
juga dikarenakan sumber daya manusia yang tersedia belum memadai, terutama terbatasnya
kemampuan petugas LPKA dalam proses rehabilitasi anak pelaku kekerasan seksual.
Memutus Rantai Perilaku Kekerasan
Bekerja sama dengan Rutgers WPF Indonesia dan Ditjen PAS, Sahabat Kapas memberikan pendampingan psikologis bagi AKH dengan mengadakan program konseling kelompok berbasis gender. Kegiatan konseling kelompok tersebut mulai dilaksanakan pada awal Agustus 2019 lalu dengan mengambil dua lokasi, yakni LPKA Kutoarjo dan LPKA Yogyakarta.
Setiap
minggunya, dua orang konselor dari Sahabat Kapas dan dua konselor dari LPKA
melakukan konseling terhadap 10 remaja di masing-masing LPKA. Peserta konseling
tersebut adalah para remaja yang mempunyai pengalaman kekerasan terutama
kekerasan seksual, aktif dalam aktivitas seksual, dan bersedia sukarela
mengikuti konseling rutin selama 3 bulan.
Konseling kelompok berbasis gender ini dilakukan dengan tujuan menurunkan pengulangan tindak kekerasan seksual ketika anak kembali ke masyarakat. Selain itu, konseling kelompok berbasis gender ini merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanganan untuk memutus rantai perilaku kekerasan.
Mengapa
Konseling Kelompok?
Terdapat
berbagai metode mencegah atau menghentikan perilaku kekerasan, di antaranya
sosialisasi, nasihat, konseling baik secara individu maupun kelompok,
psikoterapi. Bahkan, metode pencegahan dan penghentian kekersan seksual dapat
dilakukan dengan pengobatan medis (psikiatri) bagi individu yang mempunyai
indikasi gangguan medis.
Bagi remaja di
dalam penjara dengan segala konflik di dalamnya, tindakan preventif yang tepat
sasaran adalah konseling kelompok. Natawijaya dalam
bukunya Pendekatan-Pendekatan Penyuluhan Kelompok, mendefinsikan konseling kelompok sebagai upaya bantuan kepada individu dalam
suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan. Lebih lanjut,
disebutkan pula bahwa interaksi dalam konseling kelompok dapat menjadi media terapeutik.
Dalam pelaksanaan konseling berpanduan pada modul konseling kelompok kekerasan berbasis gender yang dibuat oleh tim Sahabat Kapas, Rutgers WPF Indonesia, dan Ditjen PAS. Pendekatan yang digunakan sebagai dasar pembuatan modul tersebut adalah kesetaraan gender untuk mencegah perilaku kekerasan. Selain itu, materi dalam modul juga mengangkat tema Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) dan relasi sehat.
Modul
Konseling Kelompok Kekerasan Berbasis Gender telah diaplikasikan dalam pilot
project konseling kelompok di tahun 2018 kepada 10 remaja LPKA Kutoarjo dan
10 remaja LPKA Tangerang. Dalam pelaksanaannya, sebanyak 3 petugas LPKA
Kutoarjo dan 3 petugas LPKA Tangerang dilibatkan sebagai konselor anak.
Mengubah Perspektif Penyelesaian Konflik
Adanya kegiatan konseling kelompok ini diakui memberikan manfaat dalam proses rehabilitasi anak. Petugas pun mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai cara berperilaku ramah remaja. Selain itu, petugas LPKA juga dapat melihat penyelesaian konflik beberapa remaja peserta konseling di dalam LPKA tidak lagi langsung menggunakan kekerasan melainkan lebih kepada komunikasi asertif.
Bagi remaja
peserta konseling, kegiatan ini membuka wawasan dan pengetahuan baru terkait
HKSR, gender, kekerasan, dan relasi sehat. Mereka juga mulai melihat bahwa tidak
semua masalah dapat diselesaikan dengan jalan kekerasan. Tentunya, program ini
juga membantu mereka menumbuhkan asa baru untuk masa depan yang lebih baik.