Konseling Online Sebagai Solusi Masalah Remaja Masa Kini

Konseling adalah metode yang dipilih untuk mendukung rehabilitasi dan pemulihan psikososial anak di LPKA. Anak di LPKA secara psikologis masuk pada usia remaja, yaitu fase transisi seseorang dari anak-anak menuju dewasa. Peralihan usia ini bersifat multidimensi, baik perubahan fisik, pola pikir, maupun perilaku. Banyak tantangan yang harus dihadapi serta konsekuensi psikologis, baik emosional dan behavioral

Masa remaja adalah masa labil dimana perilaku dan pola pikir masih sangat berkembang pesat dan memungkinkan untuk diubah. Oleh sebab itu, mereka sedang mencari jati diri dengan membangun sosok dewasa seperti apa yang mereka inginkan. Pengaruh baik dan buruk yang didapat anak akan diproses oleh dirinya. Bagi anak-anak di LPKA yang sudah sering terpapar pengaruh buruk, maka perlu dan harus dibiasakan pada kebaikan-kebaikan. Salah satunya melalui konseling dimana posisi anak dan konselor setara dan seimbang. Hal tersebut membuat terjalinnya komunikasi dua arah yang baik sehingga paparan kebaikan dapat tersampaikan pada anak.  Continue reading “Konseling Online Sebagai Solusi Masalah Remaja Masa Kini”

Temu Kangen Pendamping dan Anak LPKA Kutoarjo

Enam bulan sudah pendamping Sahabat Kapas absen ‘main’ dengan anak-anak di LPKA Kutoarjo. Pasalnya, gelombang kedua pandemi Covid-19 yang melanda tanah air di bulan Juni berdampak pada kami. Satu per satu tim pendamping Sahabat Kapas mulai terinfeksi. Hal yang sama  juga tidak luput dialami oleh beberapa rekan dari petugas LPKA Kutoarjo dan anak-anak di sana. Peristiwa tersebut menjadi pukulan berat bagi semua masyarakat, khususnya bagi pendamping Sahabat Kapas. Terlebih beberapa kota dan kabupaten di Jawa Tengah berada pada level 4 Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pembatasan tersebut membuat mobilisasi masyarakat lebih diperketat dari biasanya. Akibatnya, perjalanan yang ditempuh tim Sahabat Kapas dari Solo ke Kutoarjo menjadi terhambat dan tidak memungkinkan untuk bepergian jarak jauh. Oleh karena itu, kegiatan yang tim Sahabat Kapas berikan pada anak-anak di LPKA Kutoarjo dilakukan secara daring.

Setelah mengalami pembatasan kegiatan, akhirnya situasi mulai membaik dan PPKM diturunkan ke level dua. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi tim Sahabat Kapas. Pada 26 Oktober 2021 kami akhirnya berkesempatan untuk berkunjung kembali ke LPKA Kutoarjo dan melakukan kegiatan secara langsung dengan anak-anak. Antusias anak-anak masih sangat tinggi. Kerinduan kami terbayar tuntas ketika memasuki aula LPKA Kutoarjo yang menjadi tempat favorit kami dalam berkegiatan. Terlihat anak-anak berbaris dan antre untuk masuk sembari kami bagikan masker dan handsanitiser. Rutinitas itu merupakan hal baru yang kami alami selama pandemi ini.

Bulan Bahasa, Bulan Oktober

Memasuki bulan Oktober, dimana pada bulan ini sering disebut sebagai bulan bahasa menjadi momentum bagi kami untuk mengembangkan kegiatan berbasis sastra dan bahasa. Selama enam tahun terakhir Sahabat Kapas masuk ke LPKA Kutoarjo, kami menyediakan buku-buku bacaan melalui program “Buku Muter” untuk sekadar menjadi pilihan refreshing bagi anak-anak dalam membunuh kebosanan. Setiap awal kegiatan anak-anak selalu diajak untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan pada hari itu. Cek emosi sangat penting untuk mengenali perasaan mereka sendiri karena sering kali para remaja, khususnya remaja laki-laki jarang ada yang mau mengungkapkan perasaannya.

Keceriaan anak-anak semakin meningkat saat pendamping mengajak mereka bermain puzzle cerita. Pendamping telah menyiapkan empat cerita yang terdiri dari sepuluh kalimat acak. Anak-anak diminta unutk berkelompok lalu mengurutkan ulang sesuai alur yang pendamping buat. Terlihat mereka berpikir keras dan berulang kali mengubah urutan. Suara dan tawa mereka pecah memenuhi ruang aula saat mengetahui alur yang mereka buat masih berbeda dari alur yang seharusnya.

Kegiatan selanjutnya adalah meminta anak-anak untuk menuangkan isi hati mereka terhadap perempuan yang sangat berarti dalam hidup mereka. Seketika, energi yang membuncah sisa bermain puzzle cerita tadi seperti diredam dengan selembar kertas kosong dan sebuah pena. Sebuah surat yang harusnya berisi jeritan batin tidak bisa tersampaikan sebab hubungan yang terlampau jauh dan rasa malu yang tinggi. Hening menyelimuti aula, tidak terdengar suara dari mereka, hanya lantunan musik yang mengiringi untuk memecah kesunyian yang dingin.

Akhirnya, kami berada pada sesi pengujung kegiatan. Segala keseruan hari itu ditutup dengan game “Satu Kata” yang dimainkan oleh 25 anak-anak yang terbagi dalam dua kelompok. Battle kedua kelompok tersebut sangat sengit dengan skor tipis 3:4. Meskipun demikian, anak-anak sangat puas dapat memberikan clue hanya dengan satu kata untuk menebak jawaban yang menjadi pertanyaan. Permainan ini bukan hanya melatih kemampuan berbahasa anak-anak melainkan sebagai sarana berlatih untuk berpikir kritis dan cepat.

Peluncuran Modul Konseling Kelompok Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender untuk Anak Laki-Laki di LPKA Disambut Antusias

Bertempat di Hotel Redtop, Jakarta Pusat pada hari Kamis (19/12) 2019, Sahabat Kapas meluncurkan “Modul Konseling Kelompok Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender untuk Anak Laki-Laki di LPKA”. Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kemenkumham RI, Budi Sarwono. Secara simbolis, Dian Sasmita selaku Direktur Yayasan Sahabat Kapas menyerahkan modul kepada Bapak Budi Sarwono disaksikan puluhan undangan yang hadir.

Peluncuran modul ini merupakan tindak lanjut dari kerja sama antara Sahabat Kapas, Ditjen PAS, dan Rutgers WPF Indonesia dalam upaya merespons tingginya kasus kekerasan seksual pada anak. Dimulai pada tahun 2018, Sahabat Kapas telah melakukan proyek percontohan implementasi modul di dua LPKA, yakni LPKA Tangerang dan LPKA Kutoarjo selama kurang lebih 4 bulan. Proyek percontohan tersebut melibatkan para konselor yang merupakan petugas LPKA. Sebelumnya, para petugas yang menjadi konselor juga telah mengikuti pelatihan konseling dan psikoedukasi terkait isu kekerasan serta kesehatan seksualitas dan reproduksi.

Pelaksanaan kegiatan konseling kelompok di LPKA Kutoarjo.

Dari kegiatan konseling kelompok selama 13 sesi bersama anak di LPKA, banyak luaran positif yang dihasilkan. Untuk itu, pada tahun 2019 kegiatan konseling kelompok ini direplikasi di LPKA Yogyakarta. Modul yang digunakan dalam konseling kelompok ini merupakan sumbangsih bersama dari para pegiat anak, pakar konseling, spesialis bidang gender dan kesehatan reproduksi, serta telah direvisi berdasarkan input selama implementasi program, peserta anak, petugas konselor LPKA, dan pihak lain terkait.

Penuh Semangat dan Antusias

“Modul ini diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif bagi petugas LPKA atau pendamping anak untuk melakukan intervensi dan rehabilitasi bagi AKH dengan kasus kekerasan seksual yang mempunyai riwayat seksual aktif dan berisiko,” terang Evi Baiturohmah selaku Manajer Program Sahabat Kapas. Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Ditjen PAS dalam paparan presentasinya menyatakan tentang harapan agar implementasi modul konseling kelompok ini bisa dilakukan di 33 LPKA di Indonesia pada tahun 2020 nanti. Dengan demikian, persentase anak yang mendapatkan layanan konseling dalam proses rehabilitasi pun akan meningkat.

Diskusi tentang praktik konseling dan rehabilitasi anak.

Selain mendiskusikan mengenai modul konseling kelompok, para peserta yang hadir juga diajak untuk saling berbagi mengenai praktik-praktik konseling dan rehabilitasi di masing-masing LPKA. Kegiatan ini pun dilakukan dengan penuh semangat dan antusias oleh seluruh peserta. Kegiatan kemudian ditutup dengan diskusi dan pemberian rekomendasi terhadap Ditjen PAS terkait inovasi yang perlu dilakukan dan dorongan untuk peningkatan kualitas pembinaan di LPKA.

Cegah Kekerasan Seksual dengan Konseling Kelompok Berbasis Gender

Kekerasan seksual menjadi salah satu isu hangat yang terus diperbincangkan. Isu kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak, terus-menerus menyedot perhatian berbagai pihak. Pasalnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 mencatat 1.234 anak laki-laki dan 1.064 anak perempuan terlibat kasus pornografi dan kekerasan seksual baik menjadi korban maupun pelaku.

Pelaku kekerasan seksual yang berstatus anak (rentang usia 14-18 tahun) atau dalam istilah psikologi disebut remaja, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Metode pembinaan remaja yang selama ini dilaksanakan di LPKA pun masih tergolong general, meliputi pemberian alternatif pendidikan sekolah formal maupun kejar paket, pelaksanaan kegiatan minat-bakat, dan klinik kesehatan.

Selama proses pembinaan, LPKA belum secara khusus memberikan pelayanan rehabilitatif bagi remaja pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut salah satunya dikarenakan belum tersedianya sarana prasana penunjang proses rehabilitasi, seperti klinik ramah anak, ruang khusus konseling, atau ekstrakulikuler sesuai minat bakat. Selain itu, minimnya proses rehabilitasi juga dikarenakan sumber daya manusia yang tersedia belum memadai, terutama terbatasnya kemampuan petugas LPKA dalam proses rehabilitasi anak pelaku kekerasan seksual.

Memutus Rantai Perilaku Kekerasan

Bekerja sama dengan Rutgers WPF Indonesia dan Ditjen PAS, Sahabat Kapas memberikan pendampingan psikologis bagi AKH dengan mengadakan program konseling kelompok berbasis gender. Kegiatan konseling kelompok tersebut mulai dilaksanakan pada awal Agustus 2019 lalu dengan mengambil dua lokasi, yakni LPKA Kutoarjo dan LPKA Yogyakarta.

Setiap minggunya, dua orang konselor dari Sahabat Kapas dan dua konselor dari LPKA melakukan konseling terhadap 10 remaja di masing-masing LPKA. Peserta konseling tersebut adalah para remaja yang mempunyai pengalaman kekerasan terutama kekerasan seksual, aktif dalam aktivitas seksual, dan bersedia sukarela mengikuti konseling rutin selama 3 bulan.

Konseling kelompok berbasis gender ini dilakukan dengan tujuan menurunkan pengulangan tindak kekerasan seksual ketika anak kembali ke masyarakat. Selain itu, konseling kelompok berbasis gender ini merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanganan untuk memutus rantai perilaku kekerasan.

Mengapa Konseling Kelompok?

Terdapat berbagai metode mencegah atau menghentikan perilaku kekerasan, di antaranya sosialisasi, nasihat, konseling baik secara individu maupun kelompok, psikoterapi. Bahkan, metode pencegahan dan penghentian kekersan seksual dapat dilakukan dengan pengobatan medis (psikiatri) bagi individu yang mempunyai indikasi gangguan medis.

Bagi remaja di dalam penjara dengan segala konflik di dalamnya, tindakan preventif yang tepat sasaran adalah konseling kelompok. Natawijaya dalam bukunya Pendekatan-Pendekatan Penyuluhan Kelompok, mendefinsikan konseling kelompok sebagai upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan. Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa interaksi dalam konseling kelompok dapat menjadi media terapeutik.

Dalam pelaksanaan konseling berpanduan pada modul konseling kelompok kekerasan berbasis gender yang dibuat oleh tim Sahabat Kapas, Rutgers WPF Indonesia, dan Ditjen PAS. Pendekatan yang digunakan sebagai dasar pembuatan modul tersebut adalah kesetaraan gender untuk mencegah perilaku kekerasan. Selain itu, materi dalam modul juga mengangkat tema Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) dan relasi sehat.

Modul Konseling Kelompok Kekerasan Berbasis Gender telah diaplikasikan dalam pilot project konseling kelompok di tahun 2018 kepada 10 remaja LPKA Kutoarjo dan 10 remaja LPKA Tangerang. Dalam pelaksanaannya, sebanyak 3 petugas LPKA Kutoarjo dan 3 petugas LPKA Tangerang dilibatkan sebagai konselor anak.

Mengubah Perspektif Penyelesaian Konflik

Adanya kegiatan konseling kelompok ini diakui memberikan manfaat dalam proses rehabilitasi anak. Petugas pun mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai cara berperilaku ramah remaja. Selain itu, petugas LPKA juga dapat melihat penyelesaian konflik beberapa remaja peserta konseling di dalam LPKA tidak lagi langsung menggunakan kekerasan melainkan lebih kepada komunikasi asertif.

Bagi remaja peserta konseling, kegiatan ini membuka wawasan dan pengetahuan baru terkait HKSR, gender, kekerasan, dan relasi sehat. Mereka juga mulai melihat bahwa tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan jalan kekerasan. Tentunya, program ini juga membantu mereka menumbuhkan asa baru untuk masa depan yang lebih baik.

Pelatihan Psikoedukasi Bagi Anak Pelaku Kekerasan Seksual

Sahabat Kapas bersama Rutgers WPF Indonesia bekerja sama dan Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkumham RI) menyelenggarakan Pelatihan Psikoedukasi Berbasis Gender untuk Anak Berkonflik dengan Hukum pada 6-9 Agustus 2018 di Kota Tangerang, Banten. Pelatihan ini diikuti oleh tiga anggota Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), tiga petugas LPKA Tangerang, tiga petugas LPKA Kutoarjo, dan masing-masing satu orang perwakilan dari Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Banten, Jawa Tengah dan DKI Jakarta.

Diadakannya pelatihan psikoedukasi ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Tercatat, per Agustus 2018, terdapat 3.647 orang anak yang terpaksa tinggal di lembaga pembinaan, baik di LPKA, lapas, maupun rumah tahanan. Salah satu kasus yang mendominasi dan terjadi di beberapa daerah adalah kasus kekerasan seksual. Oleh karena itu, dalam pelatihan ini, para peserta diajak mengenali konseling kelompok bagi anak pelaku kekerasan seksual.

Dalam pelatihan ini, peserta mendapat sekilas gambaran mengenai hak anak dan perlindungannya. Peserta juga dikenalkan dengan konsep membangun nilai-nilai dasar menjadi lelaki berdasarkan tokoh idola. Tidak hanya itu, peserta juga diajak mengenal perbedaan seks dan gender dengan metode bermain peran menggunakan media boneka. Seperti yang kita ketahui, bekerja dengan dan untuk anak berbeda dengan bekerja pada umumnya. Bekerja untuk anak mebutuhkan teknik khusus yang disebut playfulness agar seseorang dapat membaur dengan anak. Teknik ini sangat dibutuhkan terutama bagi para petugas lembaga dengan kondisi anak-anak yang memang memerlukan perhatian dan penanganan khusus.

Hal lain yang juga diperhatikan dalam penanganan anak-anak di dalam lembaga adalah masalah kesehatan seksual dan reproduksi. Untuk hal ini, peserta pelatihan diminta untuk menggambar organ seksual dan reproduksi perempuan dan laki-laki, serta hal-hal apa saja yang menyebabkan organ tersebut rusak. Selain itu, peserta juga dikenalkan dengan kekerasan berbasis gender (gender-based violence), yakni istilah yang digunakan untuk merangkum kekerasan yang terjadi akibat ekspetasi peran normatif terkait jenis kelamin dalam masyarakat. Kekerasan berbasis gender sejatinya bisa terjadi pada semua orang, termasuk anak-anak. Pemahaman komprehensif mengenai hal ini tentu dibutuhkan dalam penanganan kasus anak.

Sesi role play konseling./ (Dok. Pribadi)

Hal yang paling ditunggu-tunggu selama pelatihan berlangsung adalah sesi konseling. Dalam sesi ini, fasilitator menjelaskan tentang dasar-dasar konseling. Kemudian, peserta diminta untuk bermain peran (role play). Peserta harus berpasang-pasangan, satu orang sebagai klien dan satu orang sebagai konselor. Selain konseling individu, peserta juga dikenalkan dengan konseling kelompok yang memiliki tantangan lebih besar. Hal ini karena klien yang dihadapi lebih dari satu dan cenderung memiliki pengalaman hidup beragam. Untuk konseling kelompok, peserta dilibatkan dalam sebuah role play yang dipandu oleh fasilitator sebagai konselornya untuk memeragakan teknik konseling kelompok.

Para petugas yang mengikuti pelatihan konseling ini diharapkan dapat melaksanakan kegiatan konseling kelompok di LPKA masing-masing. Sahabat Kapas bersama Rutgers WPF Indonesia akan memberi dukungan di LPKA Kutoarjo dan LPKA Tangerang dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Kegiatan akan dilaksanakan sebanyak 12 kali pertemuan pada 10 anak di masing-masing LPKA dimulai pada September 2018.