Cegah Kekerasan Seksual dengan Konseling Kelompok Berbasis Gender

Kekerasan seksual menjadi salah satu isu hangat yang terus diperbincangkan. Isu kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak, terus-menerus menyedot perhatian berbagai pihak. Pasalnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 mencatat 1.234 anak laki-laki dan 1.064 anak perempuan terlibat kasus pornografi dan kekerasan seksual baik menjadi korban maupun pelaku.

Pelaku kekerasan seksual yang berstatus anak (rentang usia 14-18 tahun) atau dalam istilah psikologi disebut remaja, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Metode pembinaan remaja yang selama ini dilaksanakan di LPKA pun masih tergolong general, meliputi pemberian alternatif pendidikan sekolah formal maupun kejar paket, pelaksanaan kegiatan minat-bakat, dan klinik kesehatan.

Selama proses pembinaan, LPKA belum secara khusus memberikan pelayanan rehabilitatif bagi remaja pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut salah satunya dikarenakan belum tersedianya sarana prasana penunjang proses rehabilitasi, seperti klinik ramah anak, ruang khusus konseling, atau ekstrakulikuler sesuai minat bakat. Selain itu, minimnya proses rehabilitasi juga dikarenakan sumber daya manusia yang tersedia belum memadai, terutama terbatasnya kemampuan petugas LPKA dalam proses rehabilitasi anak pelaku kekerasan seksual.

Memutus Rantai Perilaku Kekerasan

Bekerja sama dengan Rutgers WPF Indonesia dan Ditjen PAS, Sahabat Kapas memberikan pendampingan psikologis bagi AKH dengan mengadakan program konseling kelompok berbasis gender. Kegiatan konseling kelompok tersebut mulai dilaksanakan pada awal Agustus 2019 lalu dengan mengambil dua lokasi, yakni LPKA Kutoarjo dan LPKA Yogyakarta.

Setiap minggunya, dua orang konselor dari Sahabat Kapas dan dua konselor dari LPKA melakukan konseling terhadap 10 remaja di masing-masing LPKA. Peserta konseling tersebut adalah para remaja yang mempunyai pengalaman kekerasan terutama kekerasan seksual, aktif dalam aktivitas seksual, dan bersedia sukarela mengikuti konseling rutin selama 3 bulan.

Konseling kelompok berbasis gender ini dilakukan dengan tujuan menurunkan pengulangan tindak kekerasan seksual ketika anak kembali ke masyarakat. Selain itu, konseling kelompok berbasis gender ini merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanganan untuk memutus rantai perilaku kekerasan.

Mengapa Konseling Kelompok?

Terdapat berbagai metode mencegah atau menghentikan perilaku kekerasan, di antaranya sosialisasi, nasihat, konseling baik secara individu maupun kelompok, psikoterapi. Bahkan, metode pencegahan dan penghentian kekersan seksual dapat dilakukan dengan pengobatan medis (psikiatri) bagi individu yang mempunyai indikasi gangguan medis.

Bagi remaja di dalam penjara dengan segala konflik di dalamnya, tindakan preventif yang tepat sasaran adalah konseling kelompok. Natawijaya dalam bukunya Pendekatan-Pendekatan Penyuluhan Kelompok, mendefinsikan konseling kelompok sebagai upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan. Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa interaksi dalam konseling kelompok dapat menjadi media terapeutik.

Dalam pelaksanaan konseling berpanduan pada modul konseling kelompok kekerasan berbasis gender yang dibuat oleh tim Sahabat Kapas, Rutgers WPF Indonesia, dan Ditjen PAS. Pendekatan yang digunakan sebagai dasar pembuatan modul tersebut adalah kesetaraan gender untuk mencegah perilaku kekerasan. Selain itu, materi dalam modul juga mengangkat tema Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) dan relasi sehat.

Modul Konseling Kelompok Kekerasan Berbasis Gender telah diaplikasikan dalam pilot project konseling kelompok di tahun 2018 kepada 10 remaja LPKA Kutoarjo dan 10 remaja LPKA Tangerang. Dalam pelaksanaannya, sebanyak 3 petugas LPKA Kutoarjo dan 3 petugas LPKA Tangerang dilibatkan sebagai konselor anak.

Mengubah Perspektif Penyelesaian Konflik

Adanya kegiatan konseling kelompok ini diakui memberikan manfaat dalam proses rehabilitasi anak. Petugas pun mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai cara berperilaku ramah remaja. Selain itu, petugas LPKA juga dapat melihat penyelesaian konflik beberapa remaja peserta konseling di dalam LPKA tidak lagi langsung menggunakan kekerasan melainkan lebih kepada komunikasi asertif.

Bagi remaja peserta konseling, kegiatan ini membuka wawasan dan pengetahuan baru terkait HKSR, gender, kekerasan, dan relasi sehat. Mereka juga mulai melihat bahwa tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan jalan kekerasan. Tentunya, program ini juga membantu mereka menumbuhkan asa baru untuk masa depan yang lebih baik.

Hukuman Kebiri (Chemical Castration) bagi Pelaku Kekerasan Seksual

Indonesia saat ini dinilai mengalami darurat nasional kekerasan seksual terhadap anak. Data Komnas PA dari 2010 sampai 2015 yang dihimpun dari 34 propinsi, diperkirakan ada 21,6 juta kasus pelanggaran terhadap anak. Sebanyak 58% di antaranya adalah kejahatan seksual[1]. Jumlah anak-anak yang menjadi korban tindak pidana kejahatan seksual menurut catatan resmi International Labour Organization (ILO) dan diperkuat oleh United Nation Children’s Fund (UNICEF) mencapai 70.000 orang setiap tahunnya[2]. Pelaku kekerasan pada anak bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, orang tua atau orang yang dekat di lingkungan rumah. Kedua, tenaga kependidikan, yaitu guru dan orang-orang yang ada di lingkungan sekolah. Ketiga, orang yang tidak dikenal. Hasil monitoring dan evaluasi Kominas Perlindungan Anak (Komnas PA) tahun 2012 di 9 propinsi menunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6% di lingkungan sekolah dan 17,9 % di lingkungan masyarakat. Artinya anak rentan menjadi korban kekerasan justru di lingkungan rumah dan sekolah. Lingkungan yang mengenal anak-anak tersebut cukup dekat[3].

Dengan adanya status darurat ini, menurut Komnas PA, pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus yang kemudian menghasilkan dibentuknya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mana perubahan tersebut adalah menambahkan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Tindakan kebiri yang dilakukan merupakan kebiri kimia, yaitu dengan cara memasukkan zat kimia antiandrogen ke tubuh manusia supaya produksi hormon testosteron berkurang sehingga menghilangkan libido atau hasrat seksual atau kemampuan ereksi. Hukuman kebiri dewasa ini telah diberlakukan oleh 20 negara yakni 9 negara di Eropa dan 9 negara bagian Amerika, satu negara Amerika Latin dan satu negara di Asia Tenggara. Kesembilan negara di Eropa tersebut adalah Inggris, Polandia, Rusia, Jerman, Republik Ceko, Denmark, Swedia dan Spanyol. Sedangkan 9 negara bagian Amerika adalah California, Florida, Georgia, Iowa, Lousiana, Montana, Oregon, Texas dan Wisconsin. Satu negara Amerika Latin yang memberlakukan hukuman kebiri adalah Agentina dan satu negara di Asia adalah Korea Selatan[4].

Hukuman kebiri ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Seperti disampaikan oleh wakil Ketua KPAI, bahwa ada 3 alasan kenapa Perppu tersebut sangat diperlukan. Yang pertama, adanya keadaan dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum. Korban kejahatan seksual anak semakin banyak, sementara pelaku tidak jera, bahkan tidak jarang pelaku mengulangi perbuatannya tanpa rasa iba kepada korban. Oleh sebab itu butuh penjeraan sebagai upaya preventif. Selain itu, muatan pasal pidana terhadap pelaku kejahatan seksual dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak masih tergolong ringan. Pidana yang diberikan kepada pelaku hanya hukuman penjara maksimal 15 tahun dan hal tersebut belum efektif untuk menekan kejahatan seksual terhadap anak. Yang terakhir, kondisi dan kompleksitas kejahatan seksual ini membutuhkan kepastian hukum, karena itu, diperlukanlah Perppu tersebut.

Namun banyak juga pihak yang tidak setuju dengan hukuman kebiri ini, seperti pakar seksologi, dr. Boyke Dian Nugraha, yang menilai hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak tidaklah efektif. Alasannya, pelaku kejahatan seksual pada anak masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati. Cara terbaik menghadapi pelaku kejahatan seksual, menurut Boyke, adalah dengan memberikan pengobatan dan rehabilitasi bagi para pelaku. Anggota Komnas Perempuan, Masruchah, pun menyatakan tidak setuju dengan sanksi atau pidana dikebiri, karena kebiri merupakan pelanggaran hak asasi manusia[5]. Penolakan juga datang dari organisasi–organisasi Hak Asasi Manusia. Penolakan tersebut bersandar pada beberapa alasan, yaitu pertama, hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem hukum pidana nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Kedua, hukuman kebiri melanggar hak asasi manusia sebagaimana tertuang di berbagai perjanjian internasional yang telah diratifikasi dalam hukum nasional kita, diantaranya Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol/ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan juga Konvensi Hak Anak (CRC), yang mengatur bahwa penghukuman badan dalam bentuk apapun harus dimaknai sebagai bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia, terlebih apabila ditujukan untuk pembalasan dengan alasan utama efek jera yang diragukan secara ilmiah. Dan ketiga, segala bentuk kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual, pada dasarnya merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi terhadap anak, dengan demikian, hukum kebiri tidak menyasar akar permasalahan kekerasan terhadap anak[6].

Efektifkah?

Pemerintah beranggapan bahwa memperberat sanksi pemidanaan dapat menekan terjadinya tindak pidana. Pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan menambahkan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektonik bertujuan memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual dan memberikan pencegahan terjadi kekerasan seksual kepada anak di waktu mendatang. World Rape Statistic atau statistik dunia tentang pemerkosaan di berbagai Negara di dunia membuktikan bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri, tidak efektif menimbulkan efek jera[7]. World Rape Statistic yang diterbitkan setiap dua tahun sekali tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan hukuman mati atau hukuman kebiri justru menduduki posisi 10 besar sebagai negara yang memiliki kasus pemerkosaan tertinggi di dunia, yaitu : Amerika di urutan pertama, disusul oleh Afrika, Swedia, India, Inggris Jerman, Perancis, Kanada, Sri Lanka dan Ethiopia. Sedangkan World Rape Statistic 2014 menunjukkan 10 besar negara dengan kasus pemerkosaan tertinggi, berturut-turut adalah India, Spanyol, Israel, Amerika, Swedia, Belgia, Argentina, Jerman dan Selandia Baru. Sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati atau hukuman kebiri juga mengakui, bahwa menurunnya jumlah kasus pemerkosaan yang dilaporkan, tidak menggambarkan situasi sesungguhnya. Karena banyaknya kasus pemerkosaan yang tidak dilaporkan, terlebih-lebih jika pelakunya merupakan bagian dari keluarga[8]. Hal ini menegaskan bahwa pemberian hukuman kebiri belum efektif memberikan efek jera dan tidak terbukti mengurangi angka kejahatan seksual terhadap anak.

Pemerintah seharusnya mengedepankan memberikan rehabilitasi terhadap pelaku daripada menerapkan hukuman kebiri. Hal ini dikarenakan kejahatan seksual tidak hanya terjadi karena faktor biologis semata. Apabila motif kejahatan pelaku didasari karena faktor biologis maka pemberian hukuman kebiri merupakan langkah yang tepat. Namun berbeda dalam hal ini karena para pelaku kejahatan seringkali adalah korban pelecehan seksual saat mereka anak-anak, termasuk di Indonesia[9]. Hal ini menunjukkan adanya perluasan motif kejahatan seksual selain faktor biologis, yaitu kejahatan yang terjadi karena adanya trauma di masa kecil sehingga menyebabkan pelaku mengalami penyimpangan seksual (pedofil) maupun faktor dendam. Sehingga seharusnya pemerintah harus lebih berhati-hati dalam membuat aturan. Oleh sebab itu, daripada pengebirian, rehabilitasi terhadap pelaku maupun korban merupakan langkah yang tepat.

Ditulis oleh Cempaka Widowati (Relawan Sahabat Kapas).

_______

[1] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141120014225-20-12623/indonesia-darurat-kekerasan-seksual-anak/ diakses pada 30 September 2016

[2] Unicef, Effective Strategies toCcombat Sexual Violence Against Women and Children: A Background Analysis

[3] http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/ diakses pada 30 September 2016

[4]Supriyadi WE, Ahmad Sofian, dan Anugerah RA. 2016, “Menguji Euforia Kebiri”, Institute For Criminal Justice Reform, ECPAT Indonesia, Mappi FH UI. Jakarta Selatan: hlm 10

[5] http://www.rappler.com/indonesia/110227-pro-kontra-hukuman-kebiri diakses pada 30 September 2016

[6] Supriyadi WE, Ahmad Sofian, dan Anugerah RA. 2016, “Menguji Euforia Kebiri”, Institute For Criminal Justice Reform, ECPAT Indonesia, Mappi FH UI. Jakarta Selatan: hlm 6

[7] http://www.rappler.com/indonesia/118986-hal-penting-rencana-perppu-kebiri-pemerkosa-anak diakses pada 30 September 2016

[8] Supriyadi WE, Ahmad Sofian, dan Anugerah RA. 2016, “Menguji Euforia Kebiri”, Institute For Criminal Justice Reform, ECPAT Indonesia, Mappi FH UI. Jakarta Selatan: hlm 22

[9] Ibid, hlm 24

Anak Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual

Belakangan ini, kasus kekerasaan seksual marak yang melibatkan anak sebagai pelakunya marak diberitakan. Di Bengkulu, Surabaya, Klaten ada anak yang turut serta melakukan kekerasaan. Alkohol dan video porno dianggap sebagai pemicu utama kekerasaan tersebut. Ini merupakan persoalan kita bersama karena memang sudah di luar batas kewajaran. Alternatif hukuman kebiri, penjara seumur hidup, dan hukuman mati pun kembali mengemuka di masyarakat.

Namun apakan dengan hukuman di atas persoalan selesai dan masyarakat kembali ke kehidupan normal tanpa perlu resah? Ketika anak divonis hukuman penjara dalam waktu yang lama, maka ada persoalan besar yang patut turut diperhatikan. Mungkin tidak banyak yang menyadari dan mengerti. Apakah stigma anak sebagai pelaku perkosaan dan pembunuhan akan hilang setelah dia divonis penjara? Apakah masyarakat bisa menerima mereka setelah bebas kelak? Dan masih banyak pertanyaan yang menghantui anak-anak tersebut.

Tulisan berikut tidak akan mengupas akar persoalan kekerasaan seksual dapat terjadi. Penulis mengambil sudut pandang anak sebagai pelaku kekerasaan seksual yang diancam pidana penjara lebih dari 7 (tujuh) tahun. Menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak, upaya diversi tidak menjadi keutamaan dalam proses penyelesaian kasus tersebut meskipun umur mereka belum 18 tahun. Melansir data Yayasan Sahabat Kapas, anak dengan kasus kekerasaan seksual mendominasi penghuni di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo tahun 2015 yakni hampir 70%.

Pidana penjara menjadi salah satu alternatif sanksi untuk mereka. Bentuk sanksi lainnya yakni pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan pidana dengan syarat seperti pelayanan masyarakat. Keputusan hakim wajib untuk memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan agar tetap terpelihara. Penjatuhan pidana penjara pada anak diharapkan lebih bijak untuk menghindarkan perilaku yang lebih buruk pada anak. The Riyadh Guiedelines menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan perlindungan, mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak.

Perjalanan kasus tidak hanya berhenti pada putusan pengadilan saja. Namun ada rangkaian berikutnya yakni penanganan di lembaga pemasyarakatan yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yanng terpadu. Beban di tahapan ini cenderung lebih berat karena mengambil waktu anak yang paling banyak daripada tahap sebelumnya. Ketika di kepolisan, anak akan ditahan maksimal selama 15 hari, di kejaksaan 10 hari, dan di pengadilan negeri 25 hari.

Anak yang berkonflik hukum ditempatkan di LPKA atau di Lapas/Rutan jika belum tersedia LPKA di wilayah tersebut. Se-Indonesia baru terdapat 17 LPKA. Apakah Lapas/Rutan layak untuk anak? Standar layak yang digunakan adalah terpenuhi hak-hak anak sesuai amanat undang-undang yang ada seperti UU SPPA, UU Perlindungan Anak dan UU HAM.

TANTANGAN ANAK YANG DI BALIK JERUJI BESI

Edwin H. Sutherland menyatakan perilaku jahat dipelajari dari lingkungan sosial dimana individu tersebut berada, bukan karena keturunan orang tua (differential association). Interaksi verbal maupun non verbal dengan orang dewasa tentang kejahatan memberi ruang anak mempelajari dan meniru perilaku salah.

Anak yang terjerumus di balik jeruji mayoritas disebabkan pengaruh lingkungan sosialnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berkumpul dengan teman dewasa yang memiliki potensi berbuat kriminal. Kenapa mereka bisa bergaul dengan kelompok demikian? Karena mereka tidak nyaman di rumah, mereka sudah tidak bersekolah, mereka tidak memilki alternatif kegiatan positif untuk mengisi waktu, atau alasan lainnya.

Ketika mereka kemudian melakukan tindak pidana dan divonis pidana penjara, maka kehidupan mereka akan berubah 180 derajat. Terpisah dari keluarga, harus tinggal di kamar khusus bersama teman-teman baru yang senasib. Berkenalan dengan kebiasaan baru seperti senam pagi, makan dengan waktu dan jatah khusus. Tunduk dengan tata tertib yang ada selama di Lapas/Rutan.

Pembinaan di lapas/rutan menginduk pada UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Narapidana diposisikan sebagai subyek selayaknya manusia lainnya yang memiliki harkat dan martabat. Manusia tidak ada yang tidak pernah lepas dari khilaf dan dikenai sanksi. Sehingga pembinaan di Lapas/Rutan sebagai upaya menyadarkan mereka agar menyesali perbuatannya dan dapat kembali berguna di masyarakat.

Faktanya proses pembinaan masih belum maksimal karena fasilitas yang ada belum sesuai kebutuhan anak. Misalnya terkait keberlanjutan pendidikan mereka. Petugas kurang menguasai keterampilan konseling anak. Program khusus untuk anak belum tersedia, masih menumpang program kegiatan narapidana dewasa. Kalaupun ada, faslitas dan materi pembinaan belum mendukung pengembangan diri anak.

Kita tidak dapat menutup mata dengan keberadaan anak di Lapas/Rutan dewasa. Jumlah mereka tidak banyak, tapi ada. Perlu disadari juga tentang dampak prisonisasi pada anak. Prisonisasi merupakan proses akulturasi dan asimilasi tata cara kehidupan di dalam penjara (Donald Clemmer). Indikasinya berupa penggunaan istilah khusus, terdapat strata sosial tertentu, ada kelompok utama, dan pimpinan kelompok. Filtrasi perilaku negatif dari hasil interaksi sosial anak di Lapas/Rutan tak dapat dilakukan 100% karena perilaku tersebut telah melembaga sekian waktu dan dilakukan oleh banyak orang sehingga menjadi sebuah budaya.

IDEALNYA PEMBINAAN ANAK

Menempatkan anak di Lapas/Rutan merupakan fase esensial dari proses rehabilitasi perilaku dan psikisnya. Dukungan keluarga lewat kunjungan berkala sangat besar pengaruhnya pada psikis anak. Kebutuhan kasih sayang dan perhatian kelurga tidak bisa disubstitusikan sepenuhnya oleh petugas/wali pemasyarakatan.

Tindak kriminal di masa lalu tidak akan dihapus seketika dengan mereka berada di dalam sel penjara. Anak membutuhkan bimbingan dan pendampingan secara intensif untuk dapat memperbaiki kesalahan dan merubah perilakunya. Pendekatan edukasi, spiritual, dan psikologi menjadi elemen kunci untuk mengembangkan potensi diri anak ke arah yang positif. Sehingga anak dapat tetap tumbuh dan berkembang tak beda dengan anak di luar tembok Lapas/Rutan/LPKA. Sejatinya hanya kemerdekaannya saja yang tercerabut, hak-hak dasar anak lainnya wajib tetap dipenuhi.

Penerimaan masyarakat pasca masa pidana selesai menjadi salah satu kekhawatiran anak. Kembali bersekolah atau bekerja adalah harapan anak. Namun tidak semudah anak umumnya untuk merealisasikannya. Tidak banyak sekolah formal mau menerima mereka sebagai siswa. Tak ada pilihan lain selain kejar paket. Berburu pekerjaan pun tak kalah sulit. Keterampilan minim dan modal usaha terbatas tidak mampu meningkatkan kesejahteraannya.

Pemasyarakatan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen kompleks dan saling berkaitan. Keberhasilan implementasi sistem pemasyarakatan pada anak tidak hanya menjadi beban Lapas/Rutan setempat. Sudah saatnya pemerintah serius memikirkan perbaikan sistem pemasyarakatan yang berperspektif anak. Melalui harmonisasi UU Pemasyarakatan dengan undang-undang lainnya terkait anak. Memperbaiki struktur kelembagaan dan kualitas petugas yang menguasai ilmu psikologi anak. Dukungan anggaran untuk pembinaan anak dialokasikan khusus. Serta membangun sinergi rehabilitasi anak dengan pemerintah daerah dan masyarakat sehingga anak benar-benar dapat bermanfaat dan bebas stigma.

Lantas bagaimana tuntutan masyarakat yang sedemikian besar agar semua pelaku baik dewasa dan anak harus dihukum seberat-beratnya? Harapan penulis, khusus anak harus dibedakan pendekatan dan perlakuannya selama masa pemidanaan. Kebutuhan yang khas dan kepentingan terbaik mereka wajib menjadi pertimbangan negara. Jangan sampai menyelesaikan satu persoalan saat ini, namun akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.

 

Ditulis oleh Dian Sasmita (Direktur Sahabat Kapas).

Tulisan ini telah diterbitkan di media cetak Solopos, dan situs solopos.com pada tanggal 20 Mei 2016.