Sepekan terakhir, dua video perundungan yang dilakukan sekelompok mahasiswa dan pelajar sekolah menengah pertama di Jakarta menjadi viral. Miris adalah satu kata yang muncul ketika melihat tayangan tersebut.
Ribuan orang ikut membagikan video tersebut. Di laman media sosial saya sendiri terdapat lebih dari sepuluh orang yang membagikan setiap harinya. Saya dipaksa ikut menontonnya.
Video tersebut membangkitkan ingatan di masa lalu, pengalaman menjadi korban cemoohan karena kondisi fisik yang berbeda dan kekerasaan yang dilakukan senior. Kedua pengalaman tersebut sangat tidak mengenakan. Menghantui masa remaja.
Selain membangkitkan memori buruk, video tersebut juga dmemberi dampak pada penontonnya. Tayangan yang sama dan hadir berulang akan mempengaruhi alam bawah sadar penontonnya, tak terkceuali tayangan kekerasaan. Jika penonton tersebut memiliki kemampuan kognitif yang baik, tentu tidak menjadi masalah. Namun, jika yang menonton adalah remaja tanpa pendampingan orang dewasa, maka dia akan mendapatkan contoh yang menarik untuk ditiru. Siklusnya diawali dari melihat, kemudian mengamati dan mencontohnya.
—
Perundungan adalah padanan kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk bullying. Perundungan yaitu proses, cara, perbuatan merudung seseorang dengan menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang yang lebih lemah. Perundungan dapat dilakukan secara fisik, verbal, sosial, dan di dunia maya (cyber).
Perundungan bukan berita baru. Praktik demikian selalu berulang karena pemahaman kita tentang apa itu perundungan dan aksi pencegahannya masih minim. Baru tiga tahun terakhir, mulai banyak diskusi dan informasi tentang perundungan ini disebarkan. Sasaran utama adalah lingkungan pendidikan yang banyak terdapat praktik perundungan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data pada Juli 2016, terdapat 247 kasus perundungan anak (korban dan pelaku) di sekolah yang dilaporkan terjadi sepanjang tahun 2015. Sedangkan hingga pertengahan tahun 2016 sendiri terdapat 174 kasus.[1]
Kementrian Pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan peraturan Nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasaan di lingkungan sekolah. Bentuk kekerasaan yakni pelecehan, penganiayaan, perundungan, perpeloncoan, perkelahian, pencabulan, dan bentuk kekerasaan lainnya sesuai undang-undang. Perundungan menjadi salah satu perhatian serius karena mengandung aktifitas terus-menerus yang mengusik atau mengganggu.
Dan Olweus dalam tulisannya tentang A Profile of Bullying at School (2003) mengungkapkan lingkaran perundungan yang melibatkan beberapa pihak. Pertama, the bully yakni dia yang memulai dan aktif melakukan perundungan. Kedua, followers/henchmen ikut aktif mengambil bagian tapi bukan pemicu awal. Ketiga, supporters yang mendukung perundungan namun tidak ambil bagian secara aktif. Keempat, passive supporters menyukai aktifitas perundungan tersebut namun tidak menunjukan sikap dukungannya. Kelima, disengaged onlookers yakni mereka yang ikut melihat saja dan tidak ambil sikap mendukung atau menentang. Keenam, possible defenders tidak menyukai perundungan dan tahu jika harus menolong korban tapi tidak melakukan apa-apa. Ketujuh, defenders of the victim menunjukan sikap tidak suka dan membantu korban. Kedelapan, the vctim yang biasanya tunggal.
Lingkaran orang dalam aktifitas perundungan diatas dapat menjadi bahan refleksi kita. Selama ini kita berada dimana? Apakah di nomor enam? Atau malah di nomor dua?
—
Sepanjang tahun 2016, Sahabat Kapas sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu anak, telah melakukan edukasi menghentikan perundungan. Lima lokasi sekolah menjadi sasaran di wilayah Soloraya. Mayoritas peserta kegiatan mengungkapkan pernah menjadi korban. Bahkan 90% peserta laki-laki mengakui pernah melakukan atau menjadi korban stater.
Stater adalah aktifitas kolektif dikalangan anak laki-laki. Dimana kedua tangan korban dipegang dan organ genitalnya diinjak layaknya nyetater sepeda motor. Biasanya korban adalah anak baru, anak pendiam, anak lebih junior, atau badannya lebih kecil. Sedangkan pelakunya teman sebaya atau senior. Pelaku stater sebelumnya pernah menjadi korban kemudian melakukan hal serupa pada orang yang lebih lemah. Hal ini telah berlangsung sekian tahun dan dianggap sebagai bahan becandaan. Padahal semua korban statermengakui jika aktifitas tersebut sangat tidak mengenakan karena menimbulkan rasa sakit, sedih, dan marah.
Selama ini, apakah kita (orang dewasa) sudah tahu tentang stater ini? Jika iya, apakah kita sudah ikut untuk menolong korbannya? Atau hanya melihat tapi tidak pernah bersikap apapun?
—
Masih ingatkah dengan sosok Lex Luthor di film Superman atau Green Goblin di film Spiderman. Kedua sosok antagonis tersebut digambarkan memiliki masa kecil tidak bahagia. Kerap dicemooh atau dipukul dan tidak ada yang membantunya. Timbunan rasa sedih, kecewa, marah, dan sakit fisik bergumul menjadi satu dibawa hingga dewasa. Semuanya tercermin dalam perilaku dan karakter kedua tokoh tersebut.
Dalam kehidupan nyata, praktek demikian juga ada. Pelaku kriminal penghuni penjara tak sedikit yang pernah mendapatkan cemoohan atau ejekan ketika masa anak. Pengalaman tersebut masih diingat jelas hingga dewasa dan ada (sebagian) menduplikasinya.
Merundung orang yang lebih lemah atatu berbeda kondisi dianggap bagian dari bahan candaan oleh masyarakat kita. Sehingga ketika ada praktek merundung, tidak banyak orag yang bereaksi menolong korban karena dianggap hanya guyonan. Sikap permisif ini menjadi zat pengawet perundungan disekitar kita.
Karenanya dibutuhkan upaya bersama untuk menghentikan perundungan yang dimulai dari lingkungan keluarga dan pendidikan. Edukasi bagi orang tua dan tenaga pendidik tentang pengasuhan dan perlindungan anak sangat penting. Tiap sekolah membuat aturan yang serius ditegakkan untuk menghentikan perundungan sesuai dengan Permendikbud No.82/2015. Tersedia juga wadah konseling sebaya atau individu bagi korban maupun pelaku perundungan yang dibimbing tenaga pendidik terlatih.
Kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang dampak buruk perundungan perlu ditingkatkan. Tayangan berbau unsur perundungan juga perlu dibatasi ketat oleh pemerintah lewat Komisi Penyiaran, misalnya.
Semua pihak memiliki andil berarti untuk menyelamatkan karakter anak bangsa yang menolak perundungan dan lebih humanis pada sesama. Wong kece ora ngece.
Ditulis oleh Dian Sasmita (Direktur Sahabat Kapas).
Tulisan ini telah diterbitkan dengan judul Menghentikan Perundungan dalam Gagasan di media cetak Solopos, dan situs solopos.com pada tanggal 29 Juli 2017.
Foto diambil dari facebook Solidaritas Kapas.
—
Sumber:
[1] http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016