Cegah Kekerasan Seksual dengan Konseling Kelompok Berbasis Gender

Kekerasan seksual menjadi salah satu isu hangat yang terus diperbincangkan. Isu kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak, terus-menerus menyedot perhatian berbagai pihak. Pasalnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 mencatat 1.234 anak laki-laki dan 1.064 anak perempuan terlibat kasus pornografi dan kekerasan seksual baik menjadi korban maupun pelaku.

Pelaku kekerasan seksual yang berstatus anak (rentang usia 14-18 tahun) atau dalam istilah psikologi disebut remaja, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Metode pembinaan remaja yang selama ini dilaksanakan di LPKA pun masih tergolong general, meliputi pemberian alternatif pendidikan sekolah formal maupun kejar paket, pelaksanaan kegiatan minat-bakat, dan klinik kesehatan.

Selama proses pembinaan, LPKA belum secara khusus memberikan pelayanan rehabilitatif bagi remaja pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut salah satunya dikarenakan belum tersedianya sarana prasana penunjang proses rehabilitasi, seperti klinik ramah anak, ruang khusus konseling, atau ekstrakulikuler sesuai minat bakat. Selain itu, minimnya proses rehabilitasi juga dikarenakan sumber daya manusia yang tersedia belum memadai, terutama terbatasnya kemampuan petugas LPKA dalam proses rehabilitasi anak pelaku kekerasan seksual.

Memutus Rantai Perilaku Kekerasan

Bekerja sama dengan Rutgers WPF Indonesia dan Ditjen PAS, Sahabat Kapas memberikan pendampingan psikologis bagi AKH dengan mengadakan program konseling kelompok berbasis gender. Kegiatan konseling kelompok tersebut mulai dilaksanakan pada awal Agustus 2019 lalu dengan mengambil dua lokasi, yakni LPKA Kutoarjo dan LPKA Yogyakarta.

Setiap minggunya, dua orang konselor dari Sahabat Kapas dan dua konselor dari LPKA melakukan konseling terhadap 10 remaja di masing-masing LPKA. Peserta konseling tersebut adalah para remaja yang mempunyai pengalaman kekerasan terutama kekerasan seksual, aktif dalam aktivitas seksual, dan bersedia sukarela mengikuti konseling rutin selama 3 bulan.

Konseling kelompok berbasis gender ini dilakukan dengan tujuan menurunkan pengulangan tindak kekerasan seksual ketika anak kembali ke masyarakat. Selain itu, konseling kelompok berbasis gender ini merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanganan untuk memutus rantai perilaku kekerasan.

Mengapa Konseling Kelompok?

Terdapat berbagai metode mencegah atau menghentikan perilaku kekerasan, di antaranya sosialisasi, nasihat, konseling baik secara individu maupun kelompok, psikoterapi. Bahkan, metode pencegahan dan penghentian kekersan seksual dapat dilakukan dengan pengobatan medis (psikiatri) bagi individu yang mempunyai indikasi gangguan medis.

Bagi remaja di dalam penjara dengan segala konflik di dalamnya, tindakan preventif yang tepat sasaran adalah konseling kelompok. Natawijaya dalam bukunya Pendekatan-Pendekatan Penyuluhan Kelompok, mendefinsikan konseling kelompok sebagai upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan. Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa interaksi dalam konseling kelompok dapat menjadi media terapeutik.

Dalam pelaksanaan konseling berpanduan pada modul konseling kelompok kekerasan berbasis gender yang dibuat oleh tim Sahabat Kapas, Rutgers WPF Indonesia, dan Ditjen PAS. Pendekatan yang digunakan sebagai dasar pembuatan modul tersebut adalah kesetaraan gender untuk mencegah perilaku kekerasan. Selain itu, materi dalam modul juga mengangkat tema Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) dan relasi sehat.

Modul Konseling Kelompok Kekerasan Berbasis Gender telah diaplikasikan dalam pilot project konseling kelompok di tahun 2018 kepada 10 remaja LPKA Kutoarjo dan 10 remaja LPKA Tangerang. Dalam pelaksanaannya, sebanyak 3 petugas LPKA Kutoarjo dan 3 petugas LPKA Tangerang dilibatkan sebagai konselor anak.

Mengubah Perspektif Penyelesaian Konflik

Adanya kegiatan konseling kelompok ini diakui memberikan manfaat dalam proses rehabilitasi anak. Petugas pun mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai cara berperilaku ramah remaja. Selain itu, petugas LPKA juga dapat melihat penyelesaian konflik beberapa remaja peserta konseling di dalam LPKA tidak lagi langsung menggunakan kekerasan melainkan lebih kepada komunikasi asertif.

Bagi remaja peserta konseling, kegiatan ini membuka wawasan dan pengetahuan baru terkait HKSR, gender, kekerasan, dan relasi sehat. Mereka juga mulai melihat bahwa tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan jalan kekerasan. Tentunya, program ini juga membantu mereka menumbuhkan asa baru untuk masa depan yang lebih baik.

Pelabelan Negatif Halangi Langkah Reintegrasi Anak

Oleh Sri Rahayu

(Relawan Sahabat Kapas/Mahasiswa Pendidikan PKn UNS)

 

Para anak didik lapas (andikpas) Wonogiri hampir selalu menyambut kegiatan pendampingan yang diadakan oleh Sahabat Kapas dengan gembira. Salah seorang andikpas yang selalu antusias mengikuti kegiatan pendampingan adalah Y. Ia andikpas yang sangat kooperatif dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh Sahabat Kapas. Y sejatinya adalah anak yang sangat sopan, bahkan dengan para relawan Kapas ia menjaga unggah-ungguh dengan menggunakan bahasa Jawa Krama ketika berinteraksi dengan kami.

Selain sopan, Y juga cukup terbuka dengan kami. Ia memanfaatkan waktu pendampingan untuk bercerita mengenai berbagai hal yang terjadi selama ia di lapas. Ia juga sering menceritakan keinginan-keinginan yang ingin diwujudkannya apabila telah keluar dari lapas nantinya. Dari cerita-cerita tersebut, saya melihat Y benar-benar ingin berubah menjadi anak yang lebih baik. Ia pun berjanji pada dirinya sendiri untuk tak melakukan hal yang dapat merugikan orang lain.

Sayangnya, ketika Y dinyatakan bebas pada April 2018 lalu, ia tak memenuhi janji tersebut. Tak lama setelah menghirup udara bebas dan pulang ke rumah, ia tidak bisa mengontrol diri dan sempat melampiaskan emosinya pada orang yang dulu membuatnya harus mendekam di lapas. Ia melakukan hal tersebut lantaran sakit hati dan belum bisa menerima kenyataan bahwa keluarga korban ternyata belum memaafkan perbuatannya. Selain itu, ia rupanya juga jengkel kepada masyarakat sekitar di desa tempat tinggal korbannya. Warga belum bisa menerima Y dengan baik dan terus menerus menganggapnya sebagai anak “nakal”.

Pelampiasan emosi yang dilakukan Y memang tidak bisa dibenarkan. Namun, bukan berarti kejadian tersebut sepenuhnya kesalahannya sendiri. Setiap perbuatan yang dilakukan manusia pasti beralasan, termasuk tindakan Y. Ia cenderung memilih tindakan yang salah karena dia belum bisa diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Padahal, dengan dukungan dari keluarga dan masyarakat sekitar, sebenarnya Y kemungkinan besar bisa memperbaiki sikapnya dan tidak akan kembali melakukan kesalahan.

Adanya stigma yang disematkan oleh masyarakat bagi AKH pada akhirnya menjadi salah satu hal yang mendorong anak kembali melakukan perbuatan negatif. Masyarakat masih menganggap anak yang keluar dari penjara adalah “anak nakal” yang kehadirannya akan membawa dampak negatif bagi lingkungan. Sedikit dari mereka yang mau memahami lebih lanjut mengapa anak bisa melakukan pelanggaran terhadap norma masyarakat atau norma hukum. Padahal, penerimaan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam upaya reintegrasi anak.

Pelabelan “nakal” yang dilakukan masyarakat bisa menjadi salah satu faktor yang memicu anak berbuat kesalahan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh teori penjulukan atau labelling theory. Perilaku penyimpangan dan perilaku menuju penyimpangan dapat dipicu dari mereka yang memberikan label dan reaksi pada pihak lain sebagai pelaku penyimpangan.

Prakoso (2013) menyatakan bahwa hubungan-hubungan ditentukan oleh arti yang diberikan masyarakat pada umumnya dan karakteristik-karakteristik yang oleh individu diatributkan kepada yang lain. Oleh karenanya, masyarakat harus mengetahui dampak yang muncul dari label yang disematkan pada diri seseorang. Terutama, label yang diberikan kepada seorang anak. Kondisi psikis yang belum stabil dapat memperburuk kondisi anak dan mendorong anak untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat/hukum.

Dalam kondisi demikian, masyarakat seharusnya membantu proses reintegrasi anak yang berbuat kesalahan. Misalnya, dengan memberikan nasihat secara langsung kepada anak yang bersangkutan. Masyarakat diharapkan dapat mendorong anak tersebut meninggalkan kegiatan yang tidak sesuai dengan seperangkat norma yang berlaku, yakni norma hukum, agama, susila, dan sosial (Sudarsono, 2012).

Pelabelan “nakal” pada seorang anak adalah tindakan yang tidak tepat.

Sebaliknya, langkah yang seharusnya dilakukan adalah menerima dan membantu anak untuk kembali ke masyarakat. Anak yang telah menjalani proses rehabilitasi dengan mendekam di lembaga pemasyarakatan selama waktu tertentu, sejatinya telah menjalani hukuman yang tidak ringan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, anak-anak yang telah selesai menjalani hukumannya, masih harus menerima beban pelabelan oleh masyarakat.

Proses yang harus dilalui anak untuk membentuk sikap (kepribadian) adalah proses panjang dan berliku. Proses ini membutuhkan waktu yang tidak singkat serta membutuhkan dukungan dari pihak lain, termasuk dari lingkungan sekitarnya. Anak yang tidak mendapatkan dukungan, akan merasa sulit untuk mengubah perilaku yang seharusnya tidak ia lakukan. Kami percaya bahwa tidak ada anak yang “nakal”, yang ada hanyalah anak yang salah dalam mengambil keputusan. Oleh karenanya, agar anak bisa mengambil keputusan dengan benar, perlu adanya penguatan secara moral untuk mereka, bukan sebaliknya memperburuk kondisi anak dengan memberikannya label negatif. Perlu dukungan yang luar biasa dari orang-orang terdekat anak serta masyarakat untuk merangkul anak bersama-sama berbuat kebaikan.

 

Pustaka:

Prakoso, Abintoro. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak.Yogyakarta: Laksbang Grafika.

Sudarsono. 2012. Kenakalan Remaja, (Prevensi, Rehabilitasi, dan Resosialisasi). Jakarta: Rineka Cipta.

Menggaungkan Pentingnya Pendekatan Psikososial bagi AKH hingga Makassar

Oleh Evi Baiturohmah

(Manajer Program Rehabilitasi AKH Sahabat Kapas)

 

Direktur Sahabat Kapas, Dian Sasmita, dalam acara penguatan kapasitas tentang Buku Panduan Reintegrasi AKH bagi Penyedia Layanan yang diselenggarakan oleh Yayasan BaKti dan UNICEF Indonesia di Makassar. (Evi Baiturohmah)

 

Sahabat Kapas berkesempatan turut serta dalam dua kegiatan terkait isu anak berkonflik dengan hukum (AKH) pada akhir November 2017 di Makassar, Sulawesi Selatan. Mewakili Sahabat Kapas, Dian Sasmita selaku Direktur Sahabat Kapas menjadi salah satu narasumber dalam lokakarya “Pengembangan Layanan Perlindungan Khusus Anak (PKA) Terpadu di Lapas Kelas II Kabupaten Maros” yang diselenggarakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, di Makassar, Sahabat Kapas juga turut menghadiri peningkatan kapasitas tentang Buku Panduan Reintegrasi AKH bagi Penyedia Layanan yang diselenggarakan oleh Yayasan BaKti dan UNICEF Indonesia.

Tak Sekadar Pembekalan Keterampilan

Dalam kesempatan berbicara di depan pemegang kebijakan dan penyedia layanan anak di Makassar, Dian menjelaskan praktik menjanjikan Sahabat Kapas yang sudah dilaksanakan di empat lokasi di rutan/lapas/LPKA di Jawa Tengah. Selama tujuh tahun mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum, Dian melihat bahwa tren pendampingan anak yang ada selama ini lebih difokuskan pada pelatihan keterampilan bernilai ekonomis. Hal ini dilakukan dengan harapan anak memiliki bekal keterampilan yang akan membantu untuk proses reintegrasi di masyarakat dan dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas ekonomi anak. Akan tetapi, banyak ditemui kasus di mana anak tetap melakukan tindakan residivisme pasca bebas meskipun telah mendapat pembekalan keterampilan.

Dari pengalaman dan observasi lebih mendalam, Sahabat Kapas melihat kurangnya porsi pemulihan psikologis anak di dalam lapas/rutan/LPKA. Mayoritas anak yang melanggar hukum adalah mereka yang mempunyai latar belakang disfungsi keluarga. Banyak dari AKH hidup dan tumbuh di lingkungan yang keras dan minim kasih sayang sehingga mereka akhirnya membuat pilihan yang salah. Kondisi psikologis anak yang terluka inilah yang sebenarnya memicu tindakan anak menyimpang dari norma hukum dan masyarakat. Akan tetapi, dalam konteks rehabilitasi anak, praktik di lapangan menunjukkan bahwa hanya sedikit penyedia layanan yang kemudian memberi intervensi pada masalah luka batin (psikologis) anak. Padahal, anak-anak tersebut telah kehilangan banyak afeksi dari orang terdekat, sehingga anak asing dengan nilai-nilai positif dan norma yang berlaku di masyarakat.

Dengan mempertimbangkan situasi tersebut, sejak akhir tahun 2015, Sahabat Kapas menekankan pendampingan anak melalui pendekatan psikososial, yakni memberi porsi lebih pada pemulihan psikis dan peningkatan keterampilan psikososial anak. Selama dua tahun lebih berjalan, banyak hasil positif yang dapat dilihat pada anak dampingan, seperti perubahan positif perilaku anak dan kesiapan anak kembali ke masyarakat (resiliensi).

Menyentuh Hati dengan Hati

Berinteraksi langsung dengan para penyedia layanan perlindungan anak di Makassar, Dian juga menggarisbawahi pentingnya bekerja dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dengan mengesampingkan ego sektoral. Penyedia layanan mempunyai peran vital untuk membangun sistem perlindungan anak yang komprehensif. Dengan adanya sistem layanan yang kuat serta buku panduan sebagai pelengkap, diharapkan anak-anak ini bisa pulih dan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik. Namun demikian, di atas aspek birokrasi dan prosedural, ada yang lebih penting dan harus dijaga oleh para pendamping anak, yakni kesehatan hati. Dian menyampaikan bahwa kerja perlindungan anak bukan hanya kerja birokrasi melainkan kerja hati.

Untuk mengubah perilaku anak, kita harus menyentuh hati mereka, dan untuk menyentuh hati hanya bisa dilakukan oleh hati.

Selama di Makassar, Dian dan Evi Baiturohmah selaku Manajer Program Rehabilitasi AKH Sahabat Kapas juga berkesempatan bertemu dan berinteraksi langsung dengan anak-anak di Lapas Kelas II Maros sekaligus mengunjungi layanan yang tersedia di sana. Masalah yang ditemui di Lapas Maros tidak jauh berbeda dengan masalah lapas/rutan/LPKA di Jawa Tengah, yakni banyak anak yang jauh dari keluarga. Anak-anak yang terpaksa tinggal di Lapas Maros dan berasal dari daerah yang sangat jauh seringkali tidak mendapat kunjungan orang tua karena satu dan lain hal. Padahal, orang tua adalah faktor vital dalam upaya rehabilitasi anak.

Kondisi anak yang jauh dari orang tua ini menjadi tantangan bagi penyedia layanan baik dari pemerintah atau swasta untuk memberikan intervensi yang tepat. Pendekatan psikososial akan menjadi langkah yang efektif untuk memulihkan beban psikis mereka. Pendekatan psikososial dapat dilakukan dengan memberikan pendampingan melalui konseling rutin maupun aktivitas kelompok kreatif untuk meningkatkan resiliensi anak.

Anak Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual

Belakangan ini, kasus kekerasaan seksual marak yang melibatkan anak sebagai pelakunya marak diberitakan. Di Bengkulu, Surabaya, Klaten ada anak yang turut serta melakukan kekerasaan. Alkohol dan video porno dianggap sebagai pemicu utama kekerasaan tersebut. Ini merupakan persoalan kita bersama karena memang sudah di luar batas kewajaran. Alternatif hukuman kebiri, penjara seumur hidup, dan hukuman mati pun kembali mengemuka di masyarakat.

Namun apakan dengan hukuman di atas persoalan selesai dan masyarakat kembali ke kehidupan normal tanpa perlu resah? Ketika anak divonis hukuman penjara dalam waktu yang lama, maka ada persoalan besar yang patut turut diperhatikan. Mungkin tidak banyak yang menyadari dan mengerti. Apakah stigma anak sebagai pelaku perkosaan dan pembunuhan akan hilang setelah dia divonis penjara? Apakah masyarakat bisa menerima mereka setelah bebas kelak? Dan masih banyak pertanyaan yang menghantui anak-anak tersebut.

Tulisan berikut tidak akan mengupas akar persoalan kekerasaan seksual dapat terjadi. Penulis mengambil sudut pandang anak sebagai pelaku kekerasaan seksual yang diancam pidana penjara lebih dari 7 (tujuh) tahun. Menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak, upaya diversi tidak menjadi keutamaan dalam proses penyelesaian kasus tersebut meskipun umur mereka belum 18 tahun. Melansir data Yayasan Sahabat Kapas, anak dengan kasus kekerasaan seksual mendominasi penghuni di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo tahun 2015 yakni hampir 70%.

Pidana penjara menjadi salah satu alternatif sanksi untuk mereka. Bentuk sanksi lainnya yakni pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan pidana dengan syarat seperti pelayanan masyarakat. Keputusan hakim wajib untuk memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan agar tetap terpelihara. Penjatuhan pidana penjara pada anak diharapkan lebih bijak untuk menghindarkan perilaku yang lebih buruk pada anak. The Riyadh Guiedelines menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan perlindungan, mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak.

Perjalanan kasus tidak hanya berhenti pada putusan pengadilan saja. Namun ada rangkaian berikutnya yakni penanganan di lembaga pemasyarakatan yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yanng terpadu. Beban di tahapan ini cenderung lebih berat karena mengambil waktu anak yang paling banyak daripada tahap sebelumnya. Ketika di kepolisan, anak akan ditahan maksimal selama 15 hari, di kejaksaan 10 hari, dan di pengadilan negeri 25 hari.

Anak yang berkonflik hukum ditempatkan di LPKA atau di Lapas/Rutan jika belum tersedia LPKA di wilayah tersebut. Se-Indonesia baru terdapat 17 LPKA. Apakah Lapas/Rutan layak untuk anak? Standar layak yang digunakan adalah terpenuhi hak-hak anak sesuai amanat undang-undang yang ada seperti UU SPPA, UU Perlindungan Anak dan UU HAM.

TANTANGAN ANAK YANG DI BALIK JERUJI BESI

Edwin H. Sutherland menyatakan perilaku jahat dipelajari dari lingkungan sosial dimana individu tersebut berada, bukan karena keturunan orang tua (differential association). Interaksi verbal maupun non verbal dengan orang dewasa tentang kejahatan memberi ruang anak mempelajari dan meniru perilaku salah.

Anak yang terjerumus di balik jeruji mayoritas disebabkan pengaruh lingkungan sosialnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berkumpul dengan teman dewasa yang memiliki potensi berbuat kriminal. Kenapa mereka bisa bergaul dengan kelompok demikian? Karena mereka tidak nyaman di rumah, mereka sudah tidak bersekolah, mereka tidak memilki alternatif kegiatan positif untuk mengisi waktu, atau alasan lainnya.

Ketika mereka kemudian melakukan tindak pidana dan divonis pidana penjara, maka kehidupan mereka akan berubah 180 derajat. Terpisah dari keluarga, harus tinggal di kamar khusus bersama teman-teman baru yang senasib. Berkenalan dengan kebiasaan baru seperti senam pagi, makan dengan waktu dan jatah khusus. Tunduk dengan tata tertib yang ada selama di Lapas/Rutan.

Pembinaan di lapas/rutan menginduk pada UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Narapidana diposisikan sebagai subyek selayaknya manusia lainnya yang memiliki harkat dan martabat. Manusia tidak ada yang tidak pernah lepas dari khilaf dan dikenai sanksi. Sehingga pembinaan di Lapas/Rutan sebagai upaya menyadarkan mereka agar menyesali perbuatannya dan dapat kembali berguna di masyarakat.

Faktanya proses pembinaan masih belum maksimal karena fasilitas yang ada belum sesuai kebutuhan anak. Misalnya terkait keberlanjutan pendidikan mereka. Petugas kurang menguasai keterampilan konseling anak. Program khusus untuk anak belum tersedia, masih menumpang program kegiatan narapidana dewasa. Kalaupun ada, faslitas dan materi pembinaan belum mendukung pengembangan diri anak.

Kita tidak dapat menutup mata dengan keberadaan anak di Lapas/Rutan dewasa. Jumlah mereka tidak banyak, tapi ada. Perlu disadari juga tentang dampak prisonisasi pada anak. Prisonisasi merupakan proses akulturasi dan asimilasi tata cara kehidupan di dalam penjara (Donald Clemmer). Indikasinya berupa penggunaan istilah khusus, terdapat strata sosial tertentu, ada kelompok utama, dan pimpinan kelompok. Filtrasi perilaku negatif dari hasil interaksi sosial anak di Lapas/Rutan tak dapat dilakukan 100% karena perilaku tersebut telah melembaga sekian waktu dan dilakukan oleh banyak orang sehingga menjadi sebuah budaya.

IDEALNYA PEMBINAAN ANAK

Menempatkan anak di Lapas/Rutan merupakan fase esensial dari proses rehabilitasi perilaku dan psikisnya. Dukungan keluarga lewat kunjungan berkala sangat besar pengaruhnya pada psikis anak. Kebutuhan kasih sayang dan perhatian kelurga tidak bisa disubstitusikan sepenuhnya oleh petugas/wali pemasyarakatan.

Tindak kriminal di masa lalu tidak akan dihapus seketika dengan mereka berada di dalam sel penjara. Anak membutuhkan bimbingan dan pendampingan secara intensif untuk dapat memperbaiki kesalahan dan merubah perilakunya. Pendekatan edukasi, spiritual, dan psikologi menjadi elemen kunci untuk mengembangkan potensi diri anak ke arah yang positif. Sehingga anak dapat tetap tumbuh dan berkembang tak beda dengan anak di luar tembok Lapas/Rutan/LPKA. Sejatinya hanya kemerdekaannya saja yang tercerabut, hak-hak dasar anak lainnya wajib tetap dipenuhi.

Penerimaan masyarakat pasca masa pidana selesai menjadi salah satu kekhawatiran anak. Kembali bersekolah atau bekerja adalah harapan anak. Namun tidak semudah anak umumnya untuk merealisasikannya. Tidak banyak sekolah formal mau menerima mereka sebagai siswa. Tak ada pilihan lain selain kejar paket. Berburu pekerjaan pun tak kalah sulit. Keterampilan minim dan modal usaha terbatas tidak mampu meningkatkan kesejahteraannya.

Pemasyarakatan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen kompleks dan saling berkaitan. Keberhasilan implementasi sistem pemasyarakatan pada anak tidak hanya menjadi beban Lapas/Rutan setempat. Sudah saatnya pemerintah serius memikirkan perbaikan sistem pemasyarakatan yang berperspektif anak. Melalui harmonisasi UU Pemasyarakatan dengan undang-undang lainnya terkait anak. Memperbaiki struktur kelembagaan dan kualitas petugas yang menguasai ilmu psikologi anak. Dukungan anggaran untuk pembinaan anak dialokasikan khusus. Serta membangun sinergi rehabilitasi anak dengan pemerintah daerah dan masyarakat sehingga anak benar-benar dapat bermanfaat dan bebas stigma.

Lantas bagaimana tuntutan masyarakat yang sedemikian besar agar semua pelaku baik dewasa dan anak harus dihukum seberat-beratnya? Harapan penulis, khusus anak harus dibedakan pendekatan dan perlakuannya selama masa pemidanaan. Kebutuhan yang khas dan kepentingan terbaik mereka wajib menjadi pertimbangan negara. Jangan sampai menyelesaikan satu persoalan saat ini, namun akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.

 

Ditulis oleh Dian Sasmita (Direktur Sahabat Kapas).

Tulisan ini telah diterbitkan di media cetak Solopos, dan situs solopos.com pada tanggal 20 Mei 2016.