Anak Berkonflik Hukum dan Kesempatan Keduanya

Selama lima tahun terakhir ini, kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) menunjukkan grafik yang fluktuatif. Merujuk pada data KPAI, dapat terlihat secara keseluruhan bahwa klaster ABH selalu menempati peringkat pertama, apalagi kalau bicara tentang situasi pandemi sekarang ini; potensi angka ABH untuk meningkat semakin terasa.

Bentuk Kenakalan Remaja

Remaja dan “kenakalannya” memang seakan tidak bisa dijauhkan. Hal tersebut dikarenakan mereka masih butuh waktu untuk belajar memahami yang benar dan yang salah. Meski begitu, memang apa sih yang bisa dilakukan anak remaja sampai-sampai harus dijatuhi hukuman penjara?

Kenakalan remaja yang dapat melanggar hukum bisa dibagi menjadi dua: kenakalan yang menjurus ke tindak kriminal dan kenakalan khusus. Kenakalan yang menjurus ke tindak kriminal, di antaranya mencuri, aborsi, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan kenakalan khusus adalah kenakalan yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, seperti narkotika, pencucian uang, cyber crime, pelanggaran HAM, dan lain sebagainya.

Selama periode 2019, Sahabat Kapas mencatat sejumlah 116 klien anak terdaftar di LPKA Kutoarjo, LAPAS Klaten dan Rutan Surakarta. Di antara jumlah tersebut, bentuk-bentuk kasus yang dilakukan adalah persetubuhan, pencurian, pengeroyokan, penganiayaan, narkotika, pornografi dan pembunuhan.

Setelah dilihat-lihat ternyata pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang dewasa. Kenapa bisa dilakukan oleh anak-anak yang seharusnya tengah sibuk belajar dan bermain?

Salah Pergaulan?

Ya, pergaulan adalah faktor krusial, tapi hanya salah satunya. ABH sering dikait-kaitkan dengan lingkungan pergaulan yang buruk atau tingkat ekonomi yang rendah. Padahal, justru keluarga yang memiliki peranan terpenting di sini, di mana anak-anak ini banyak yang kekurangan kasih sayang dan perhatian dari keluarganya. Kedengarannya sepele memang, tapi dampaknya tak bisa dianggap remeh.

Anak akan dengan sendirinya menyesuaikan diri untuk memilih teman yang memiliki kesamaan, entah itu kepribadiannya atau hobinya. Dan kepribadian itu lah yang sudah terbentuk sedari kecil selama ia dibesarkan di rumah. Apa yang terjadi di rumah dan bagaimana dia diperlakukan di rumah, hal-hal itu yang akan membentuk karakteristiknya. Jadi, salah pergaulan bukan faktor utamanya.

Perihal kebutuhan kasih sayang, setiap anak tidak ada bedanya. Mereka sama-sama butuh dekapan orang tuanya. Sayang sekali realita mengatakan kalau tidak semua orang memiliki kapabilitas yang sama untuk memberikan afeksi terbaik bagi anaknya. Hasilnya, anak sering bertingkah demi mendapatkan perhatian orang tua.

Ditambah lagi apabila seorang anak berada di dalam kondisi keluarga yang kurang harmonis. Pertengkaran anggota keluarga akan berdampak paling tidak dua hal bagi anak, membuatnya stress atau membuatnya mencontoh hal tersebut. Ketika anak merasa rumahnya bukan lagi tempat teraman baginya, mereka bisa melakukan segala hal untuk meluapkan emosi, termasuk juga hal-hal yang bisa menyebabkannya berurusan dengan hukum. Kembali lagi, apa yang terjadi di dalam rumahnya, itulah yang akan membentuk karakteristiknya. Ya, karena anak adalah peniru terbaik. Mereka sedang dalam proses belajar dan menganggap apa yang dilihatnya adalah sesuatu yang sah-sah saja kalau diikuti.

Sudahlah faktor-faktor ini mendorong anak terjerumus ke dunia kriminal. setelah keluar pun, mereka tidak bisa serta merta kembali ke kehidupan normal. Berada jauh dari orang yang tersayang, apalagi keluarga pasti nggak enak, kan? Bayangkan seberapa rindunya adik-adik ini akan kehidupan lamanya di balik dinding yang dingin. Mereka sudah terlalu rindu sampai sering membayangkan: nikmat betul kalau aku bisa bertemu keluarga lagi, bermain dengan teman-teman lama dan kembali ke sekolah seperti sedia kala. Namun, bayangan tetap jadi bayangan dan kenyataan tidak sesuai ekspektasi.

Salah satu hal yang membuat saya mempertanyakan rasa kemanusiaan kita adalah fakta bahwa beberapa dari adik-adik ini merasa—dan memang—kesulitan untuk terintegrasi kembali ke masyarakat. LPKA Kelas I Palembang menjadi salah satu lembaga pembinaan yang tetap membuka fasilitas sekolah bagi anak-anak yang sudah terbebas dari tuntutan. Tidak sedikit dari mereka yang sudah bebas memilih untuk melanjutkan sekolah di sana. Kenapa? Mereka berpikir kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak cukup dihargai. Jangankan oleh teman-temannya, orang tuanya pun bisa bersikap sama.

Ujungnya, terbentuklah lingkaran setan yang menjadi perangkap anak-anak ini di sistem peradilan dan kehidupan sebagai kriminal.

Rehabilitasi dimulai dari yang terdekat

Lingkungan sekitar sebetulnya memiliki potensi yang besar untuk menjadi support system terbaik bagi adik-adik ini. Mereka butuh kehangatan dan pengakuan. Kita bisa membantu adik-adik kita menerima kembali apa yang mereka rindukan. Tanpa melabelinya sebagai anak yang begini dan begitu, kita bisa menjadi pendengar yang baik bagi mereka.

Kekerasan bisa muncul dari mana saja; dari dalam rumah, dari lingkungan sepermainan. Dan kekerasan tidak melulu soal pertengkaran fisik, tapi juga secara verbal melalui apa yang kita katakan. Menghargai sesama itu mudah kok asalkan kita bisa melakukannya #tanpakekerasan.

Terlepas dari apa yang membuatnya harus berhadapan dengan hukum, mereka tetap saja anak-anak. Mereka berhak mendapat kesempatan kedua untuk menerima kebebasan. Bebas untuk bermain sepuasnya, belajar tanpa hambatan, bersosialisasi dan bebas menjadi manusia seutuhnya tanpa dibeda-bedakan. Mereka berhak mengembangkan hobinya tanpa diberi stigma negatif. Apa yang membuatnya harus memasuki LPKA, itu bagian dari masa lalu mereka.

Artikel ini adalah bagian dari campaign “Semua bisa dibicarakan #tanpakekerasan”, hasil kerja sama antara Sahabat Kapas dan Plain Feminism

Penulis: Firza Aliya A.

Sumber gambar: Freepik

H-2 Batas Akhir Pendaftaran Relawan Baru Sahabat Kapas 2017

Salam hangat,

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pendaftar relawan baru Sahabat Kapas 2017 yang sudah mengisi formulir. Kami sangat bersemangat melihat banyak sekali pemuda yang untuk berkontribusi kepada anak- anak, khususnya anak rentan dan anak berhadapan dengan hukum.

Kamu belum mendaftar?

Segera isi formulir dan kirimkan melalui format googledoc ini>> http://bit.ly/2miYM7f  yang sudah kami sediakan. Tinggal 2 hari lagi sebelum batas akhir pendaftaran dan kami tidak memperpanjang masa perekrutan.  Jangan lewatan kesempatan belajar banyak bersama tentang anak, pangasuhan, remaja, psikologi, hukum dan masih banyak lainnya.

Yuk! 😉

 

Open Recruitment Relawan Sahabat Kapas 2017

Ribuan anak setiap tahunnya terjerat berbagai kasus pidana. Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM mencatat pada Desember 2016 sendiri terdapat 3224 narapidana dan tahanan anak[1]. Mayoritas putusan pengadilan (memaksa) mereka tinggal di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)/Rumah Tahanan (Rutan)/Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan tak jarang bercampur dengan orang dewasa.

Konsep pembinaan bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH) di Lapas/Rutan/LPKA belum menjangkau aspek rehabilitasi emosional dan mental anak sehingga mengakibatkan mereka rentan melakukan kenakalan kembali. Selain itu pembinaan juga masih terfokus pada upaya penjeraan tanpa memberikan ruang ekspresi dan kreasi bagi AKH. Akibatnya daya konsentrasi dan kreativitas anak stagnan, bahkan terancam mengkerdil.

Dengan mempertimbangkan situasi di atas, sejak tahun 2009 Sahabat Kapas melakukan penjangkauan untuk anak-anak yang berada di dalam Lapas/Rutan/LPKA. Sahabat Kapas adalah organisasi non-pemerintah dan non-profit yang berkedudukan di Jl. Jambu II No. 36 Pondok RT 4 RW 9 Tohudan, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Sahabat Kapas dibangun, dikelola, dan digerakkan oleh pribadi-pribadi yang mempunyai kepedulian dan perhatian (care & concern) kepada Anak-anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan (AKKR). Khususnya adalah anak-anak yang pada saat ini berada di Lapas/Rutan/LPKA, yang sering disebut dengan istilah Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH).

Layanan yang diberikan meliputi layanan psikologis, pengembangan diri, pelatihan keterampilan dan dukungan reintegrasi kepada Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) di wilayah Soloraya, Lapas Klas IIB Klaten, Rutan Klas I Surakarta, LPKA Klas I Kutoarjo dan Rutan Klas IIB Wonogiri.

Sejak tahun 2013, layanan mulai berkembang ke tindakan pencegahan dengan promosi hak anak kepada masyarakat baik dewasa maupun anak. Sosialisasi antikekerasan aktif dilakukan di sekolah-sekolah Surakarta, Kec. Keningar Kab. Magelang dan Kec. Tlogolele Kab. Boyolali. Selain memberikan layanan langsung dan mengupayakan tindakan pencegahan, Sahabat Kapas turut berpartisipasi aktif dalam membangun sistem yang ramah anak melalui kebijakan di tingkat kota, propinsi maupun nasional.

Sahabat Kapas menyadari banyak pekerjaan rumah terkait dengan pendampingan dan pelayanan bagi AKH, termasuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan orangtua dan masyarakat mengenai perlindungan anak. Akan tetapi, beberapa program yang dikembangkan Sahabat Kapas mengalami kendala keterbatasan sumber daya manusia.

Sahabat Kapas mengajak kamu ambil bagian untuk mendukung terlaksananya kegiatan terkait program Sahabat Kapas dengan cara menjadi relawan. Mari bergabung di berbagai kegiatan Sahabat Kapas untuk ikut terlibat dalam pendampingan anak dalam kondisi khusus dan rentan, baik di dalam ataupun di luar Lapas/Rutan/LPKA.

Bagaimana cara menjadi relawan Sahabat Kapas? Cek persyaratannya di e flyer berikut:

Daftarkan dirimu sekarang juga! Isi formulir pendaftaran di

Jangan lewatkan kesempatan bergabung dengan kami tahun ini 🙂

Anak Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual

Belakangan ini, kasus kekerasaan seksual marak yang melibatkan anak sebagai pelakunya marak diberitakan. Di Bengkulu, Surabaya, Klaten ada anak yang turut serta melakukan kekerasaan. Alkohol dan video porno dianggap sebagai pemicu utama kekerasaan tersebut. Ini merupakan persoalan kita bersama karena memang sudah di luar batas kewajaran. Alternatif hukuman kebiri, penjara seumur hidup, dan hukuman mati pun kembali mengemuka di masyarakat.

Namun apakan dengan hukuman di atas persoalan selesai dan masyarakat kembali ke kehidupan normal tanpa perlu resah? Ketika anak divonis hukuman penjara dalam waktu yang lama, maka ada persoalan besar yang patut turut diperhatikan. Mungkin tidak banyak yang menyadari dan mengerti. Apakah stigma anak sebagai pelaku perkosaan dan pembunuhan akan hilang setelah dia divonis penjara? Apakah masyarakat bisa menerima mereka setelah bebas kelak? Dan masih banyak pertanyaan yang menghantui anak-anak tersebut.

Tulisan berikut tidak akan mengupas akar persoalan kekerasaan seksual dapat terjadi. Penulis mengambil sudut pandang anak sebagai pelaku kekerasaan seksual yang diancam pidana penjara lebih dari 7 (tujuh) tahun. Menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak, upaya diversi tidak menjadi keutamaan dalam proses penyelesaian kasus tersebut meskipun umur mereka belum 18 tahun. Melansir data Yayasan Sahabat Kapas, anak dengan kasus kekerasaan seksual mendominasi penghuni di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo tahun 2015 yakni hampir 70%.

Pidana penjara menjadi salah satu alternatif sanksi untuk mereka. Bentuk sanksi lainnya yakni pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan pidana dengan syarat seperti pelayanan masyarakat. Keputusan hakim wajib untuk memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan agar tetap terpelihara. Penjatuhan pidana penjara pada anak diharapkan lebih bijak untuk menghindarkan perilaku yang lebih buruk pada anak. The Riyadh Guiedelines menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan perlindungan, mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak.

Perjalanan kasus tidak hanya berhenti pada putusan pengadilan saja. Namun ada rangkaian berikutnya yakni penanganan di lembaga pemasyarakatan yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yanng terpadu. Beban di tahapan ini cenderung lebih berat karena mengambil waktu anak yang paling banyak daripada tahap sebelumnya. Ketika di kepolisan, anak akan ditahan maksimal selama 15 hari, di kejaksaan 10 hari, dan di pengadilan negeri 25 hari.

Anak yang berkonflik hukum ditempatkan di LPKA atau di Lapas/Rutan jika belum tersedia LPKA di wilayah tersebut. Se-Indonesia baru terdapat 17 LPKA. Apakah Lapas/Rutan layak untuk anak? Standar layak yang digunakan adalah terpenuhi hak-hak anak sesuai amanat undang-undang yang ada seperti UU SPPA, UU Perlindungan Anak dan UU HAM.

TANTANGAN ANAK YANG DI BALIK JERUJI BESI

Edwin H. Sutherland menyatakan perilaku jahat dipelajari dari lingkungan sosial dimana individu tersebut berada, bukan karena keturunan orang tua (differential association). Interaksi verbal maupun non verbal dengan orang dewasa tentang kejahatan memberi ruang anak mempelajari dan meniru perilaku salah.

Anak yang terjerumus di balik jeruji mayoritas disebabkan pengaruh lingkungan sosialnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berkumpul dengan teman dewasa yang memiliki potensi berbuat kriminal. Kenapa mereka bisa bergaul dengan kelompok demikian? Karena mereka tidak nyaman di rumah, mereka sudah tidak bersekolah, mereka tidak memilki alternatif kegiatan positif untuk mengisi waktu, atau alasan lainnya.

Ketika mereka kemudian melakukan tindak pidana dan divonis pidana penjara, maka kehidupan mereka akan berubah 180 derajat. Terpisah dari keluarga, harus tinggal di kamar khusus bersama teman-teman baru yang senasib. Berkenalan dengan kebiasaan baru seperti senam pagi, makan dengan waktu dan jatah khusus. Tunduk dengan tata tertib yang ada selama di Lapas/Rutan.

Pembinaan di lapas/rutan menginduk pada UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Narapidana diposisikan sebagai subyek selayaknya manusia lainnya yang memiliki harkat dan martabat. Manusia tidak ada yang tidak pernah lepas dari khilaf dan dikenai sanksi. Sehingga pembinaan di Lapas/Rutan sebagai upaya menyadarkan mereka agar menyesali perbuatannya dan dapat kembali berguna di masyarakat.

Faktanya proses pembinaan masih belum maksimal karena fasilitas yang ada belum sesuai kebutuhan anak. Misalnya terkait keberlanjutan pendidikan mereka. Petugas kurang menguasai keterampilan konseling anak. Program khusus untuk anak belum tersedia, masih menumpang program kegiatan narapidana dewasa. Kalaupun ada, faslitas dan materi pembinaan belum mendukung pengembangan diri anak.

Kita tidak dapat menutup mata dengan keberadaan anak di Lapas/Rutan dewasa. Jumlah mereka tidak banyak, tapi ada. Perlu disadari juga tentang dampak prisonisasi pada anak. Prisonisasi merupakan proses akulturasi dan asimilasi tata cara kehidupan di dalam penjara (Donald Clemmer). Indikasinya berupa penggunaan istilah khusus, terdapat strata sosial tertentu, ada kelompok utama, dan pimpinan kelompok. Filtrasi perilaku negatif dari hasil interaksi sosial anak di Lapas/Rutan tak dapat dilakukan 100% karena perilaku tersebut telah melembaga sekian waktu dan dilakukan oleh banyak orang sehingga menjadi sebuah budaya.

IDEALNYA PEMBINAAN ANAK

Menempatkan anak di Lapas/Rutan merupakan fase esensial dari proses rehabilitasi perilaku dan psikisnya. Dukungan keluarga lewat kunjungan berkala sangat besar pengaruhnya pada psikis anak. Kebutuhan kasih sayang dan perhatian kelurga tidak bisa disubstitusikan sepenuhnya oleh petugas/wali pemasyarakatan.

Tindak kriminal di masa lalu tidak akan dihapus seketika dengan mereka berada di dalam sel penjara. Anak membutuhkan bimbingan dan pendampingan secara intensif untuk dapat memperbaiki kesalahan dan merubah perilakunya. Pendekatan edukasi, spiritual, dan psikologi menjadi elemen kunci untuk mengembangkan potensi diri anak ke arah yang positif. Sehingga anak dapat tetap tumbuh dan berkembang tak beda dengan anak di luar tembok Lapas/Rutan/LPKA. Sejatinya hanya kemerdekaannya saja yang tercerabut, hak-hak dasar anak lainnya wajib tetap dipenuhi.

Penerimaan masyarakat pasca masa pidana selesai menjadi salah satu kekhawatiran anak. Kembali bersekolah atau bekerja adalah harapan anak. Namun tidak semudah anak umumnya untuk merealisasikannya. Tidak banyak sekolah formal mau menerima mereka sebagai siswa. Tak ada pilihan lain selain kejar paket. Berburu pekerjaan pun tak kalah sulit. Keterampilan minim dan modal usaha terbatas tidak mampu meningkatkan kesejahteraannya.

Pemasyarakatan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen kompleks dan saling berkaitan. Keberhasilan implementasi sistem pemasyarakatan pada anak tidak hanya menjadi beban Lapas/Rutan setempat. Sudah saatnya pemerintah serius memikirkan perbaikan sistem pemasyarakatan yang berperspektif anak. Melalui harmonisasi UU Pemasyarakatan dengan undang-undang lainnya terkait anak. Memperbaiki struktur kelembagaan dan kualitas petugas yang menguasai ilmu psikologi anak. Dukungan anggaran untuk pembinaan anak dialokasikan khusus. Serta membangun sinergi rehabilitasi anak dengan pemerintah daerah dan masyarakat sehingga anak benar-benar dapat bermanfaat dan bebas stigma.

Lantas bagaimana tuntutan masyarakat yang sedemikian besar agar semua pelaku baik dewasa dan anak harus dihukum seberat-beratnya? Harapan penulis, khusus anak harus dibedakan pendekatan dan perlakuannya selama masa pemidanaan. Kebutuhan yang khas dan kepentingan terbaik mereka wajib menjadi pertimbangan negara. Jangan sampai menyelesaikan satu persoalan saat ini, namun akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.

 

Ditulis oleh Dian Sasmita (Direktur Sahabat Kapas).

Tulisan ini telah diterbitkan di media cetak Solopos, dan situs solopos.com pada tanggal 20 Mei 2016.

Sekolah Ini, Sekolah Warga

Sudah biasa dengan sekolah-sekolah formal seperti SD, SMP, SMA? Dengan guru-guru yang berbicara di depan murid-muridnya. Menjelaskan materi pelajaran yang sering kali membuat murid-muridnya mengantuk. Sekolah seperti itu adalah sekolah yang dulu pernah atau saat ini sedang Anda alami.

Berbeda dengan sekolah yang ini. Sekolah yang tidak mungkin menemukan murid-murid duduk di bangku kayu. Tidak ada guru yang berceloteh sementara muridnya asyik merajut mimpi di saat mata mereka terpejam. Atau sekolah dengan tembok-tembok berjendela bercat muram. Terus? Sekolah macam apa ini?

11162198_1076900585656856_2815021677083965775_nSekolah Warga di Surkarta adalah kegiatan hasil kerja sama antara Sahabat Kapas, LPA Klaten, Yayasan Setara, UNICEF, dan Bapermas PPAKB Kota Surakarta. Sekolah Warga merupakan ruang belajar bagi warga mengenai isu perlindungan anak. Murid di sini adalah perwakilan warga masyarakat di 10 kelurahan mewakili 5 kecamatan.

Pelaksanaan Sekolah Warga dilakukan di dua lokasi yakni Klaten dan Surakarta. Khusus Sekolah Warga di Surakarta diselenggarakan oleh Sahabat Kapas. Sekolah Warga Jilid 1 telah diselenggarakan sebanyak lima kali pada bulan April 2015. Sepuluh kelurahan yang terlibat adalah Kadipiro, Punggawan, Penumping, Sondakan, Serengan, Kemlayan, Joyosuran, Sangkrah, Gandekan, dan Sewu.

541588_1073745999305648_8863112858233195613_nDalam kegiatan Sekolah Warga Jilid 1 ini ada pemaparan materi mengenai Kebijakan Kota Surakarta mengenai penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), restorative justice dan diversi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru. Ibu Supraptiningsih dari Bapermas PPAKB Kota Surakarta dan Kak Erry Pratama Putra dari Pro Child Comunity dan LPA Klaten berperan sebagai narasumber. Dalam kegiatan ini para peserta tidak cukup hanya mendengarkan narasumber bercerita. Akan tetapi dibuat diskusi interaktif untuk menggali informasi terkait ABH di masing-masing kelurahan dan hal-hal apa saja yang sudah dilakukan masyarakat, terutama oleh Pos Pelayanan Terpadu (PPT) di masing-masing kelurahan ketika menghadapi ABH maupun keluarga ABH.

15591_1075414109138837_1027946962465256703_nPeserta banyak bertanya mengenai cara penanganan ABH dalam diversi dan restorative justice. Bagaimana bentuk pendampingan anak pasca diversi sehingga anak jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab oleh sesama peserta berdasarkan pengalaman mereka. Sekolah Warga Jilid 2 dan 3 akan menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta dengan lebih menyeluruh.

Semoga dengan Sekolah Warga bisa memberikan dampak yang positif bagi para peserta. Dan berdampak pada berkurangnya anak yang dipenjara. Sekolah Warga untuk masa depan anak yang lebih baik.

11146546_1075414079138840_1483418615481495408_nDitulis oleh N. Yukamujrisa (Relawan Sahabat Kapas)

Foto diambil dari facebook Sahabat Kapas : Solidaritas Kapas