Seksualitas Tak Boleh Lagi Dianggap Tabu

“Bagaimana sikap yang harus kami ambil atau apa yang harus kami lakukan ketika saat patroli keliling kamar anak, kami mendapati anak yang sedang onani?”

Pertanyaan menarik tersebut dilontarkan oleh salah satu petugas LPKA Klas I Kutoarjo dalam kegiatan refleksi tentang Hak Kesehatan Seksualitas dan Reproduksi yang diadakan pada awal Agustus lalu. Kegiatan refleksi tersebut diselenggarakan oleh Sahabat Kapas dengan dukungan dari Rutgers WPF Indonesia. Pada kesempatan tersebut, Sahabat Kapas menggandeng dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Aditya Putra Kurniawan, sebagai narasumber utama.

Sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Aditya menjelaskan tentang pandangan masyarakat umum yang mengganggap bahwa seksualitas itu tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Meskipun sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, membicarakan seksualitas bukanlah hal yang dapat dilakukan dengan leluasa. Padahal, Aditya berpendapat edukasi seksual sudah seharusnya dikenalkan kepada anak sedini mungkin (sejak batita).

Seksualitas harus dianggap sebagai hal yang lumrah untuk dibicarakan agar anak lebih terbuka. Orang tua dapat memulai edukasi seksual dengan hal-hal yang sederhana. Misalnya, mengenalkan anak dengan nama organ kelaminnya. Seperti vagina milik anak perempuan dan penis milik anak laki-laki. Tidak boleh orang tua mengganti istilah penis dengan burung karena akan membingungkan anak.

Suasana pelatihan Sahabat Kapas di LPKA Kutoarjo

Peran Petugas dalam Edukasi Seksual Anak-Anak di LPKA

Petugas LPKA Klas I Kutoarjo dalam hal ini juga memiliki peran selayaknya orang tua dalam edukasi seksual anak. Anak-anak yang tinggal di LPKA Kutoarjo berhak mendapatkan pendidikan seksualitas tersebut. Dengan edukasi seksual dan reproduksi yang tepat, anak-anak tersebut dapat memperoleh informasi yang terpercaya dan lebih terbuka terhadap seksualitasnya. Petugas memiliki peran yang sangat besar untuk menyampaikan edukasi seksual kepada anak-anak (remaja) di LPKA supaya mereka bijak dalam berhubungan seksual maupun melakukan aktivitas reproduksi.

Kehidupan homogen di LPKA dapat membuat hubungan seksual-reproduksi menjadi sangat berisiko. Hasrat untuk menyalurkan syahwat yang tidak bisa dikontrol akan menimbulkan beberapa masalah lain. Misalnya, kemungkinan praktik sodomi antarremaja laki-laki karena mereka tidak tahu bagaimana mengekspresikan keinginan dan kebutuhan dengan benar dan tepat. Padahal, risiko penyakit akan timbul jika salah satu ada yang mengalami infeksi.

Kembali ke pertanyaan awal, lalu apa yang harus dilakukan ketika mendapati seorang anak tengah melakukan aktivitas seksualnya? Menjawab pertanyaan ini, Aditya menerangkan ada 3 hal yang harus dilakukan. Pertama, jika melihat hal itu terjadi, jangan dihentikan. Biarkan sampai anak selesai dengan aktivitasnya. Di hari berikutnya, petugas bisa mengajak anak berbicara secara langsung dan melakukan pendekatan untuk eksplorasi lebih lanjut. Ketika melakukan hal ini, petugas harus memastikan anak dalam kondisi yang aman dan nyaman. Petugas juga harus mendapatkan kepercayaan anak, agar ia lebih bebas dan terbuka untuk bercerita.

Kedua, pada saat pembimbingan berlangsung, petugas sebaiknya mengeksplorasi sejauh mana dorongan seksual itu muncul, misalnya bagaimana perasaan anak mengenai aktivitas seksual. Petugas harus menunjukkan sikap bahwa ia memahami kondisi dan perasaan anak tersebut. Dengan menunjukkan sikap memahami, petugas akan lebih leluasa untuk menyampaikan informasi mengenai aktivitas seksual dan dampaknya. Misalnya, petugas dapat menyampaikan pada anak dampak dari onani/masturbasi yang berlebihan. Ketika dorongan seksual muncul, petugas juga dapat membantu anak mencari alternatif pengalih kegiatan. Terakhir, petugas dapat menghubungi psikolog agar anak bisa memperoleh perawatan dan bimbingan lebih lanjut.

 

Dampak Minimnya Edukasi Seksual

50% remaja yang didampingi oleh Sahabat Kapas adalah mereka yang melakukan kekerasan seksual ataupun pelecehan seksual. Yang menarik adalah meskipun beberapa anak yang masuk ke LPKA bukan karena kasus seksual, sebagian besar mereka mengaku telah aktif melakukan kegiatan seksual maupun reproduksi. Perilaku seksual berisiko yang dilakukan oleh remaja sebelum 18 tahun ini justru membuat mereka tinggal dalam dinginnya dinding bui. Kurangnya edukasi tentang seksualitas reproduksi menjadikan anak mencari tahu sendiri tentang hal tersebut di internet. Karena hampir seluruh anak tidak mau menanyakan langsung pada orang dewasa yang ia kenal. Akhirnya, mereka lari ke internet, namun hasil pencarian justru menampilkan informasi, gambar, atau video tentang pornografi.

Seksualitas dan reproduksi merupakan pengetahuan yang berhak diakses oleh seluruh manusia, tak terkecuali anak. Membicarakannya pun bukan sesuatu yang tabu, jika kita menempatkannya sebagai informasi wajib untuk disampaikan agar orang tak lagi menganggapnya sebagai hal yang saru (jawa: memalukan). Sedangkan posisi laki-laki yang seringnya menjadi pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut membuat remaja laki-laki membutuhkan intervensi lebih tentang edukasi seksualitas reproduksi yang positif.

You Might Also Like

Published by

admin

Sahabat Kapas adalah organisasi nonpemerintah dan nonprofit, yang berkedudukan di Karanganyar, Jawa Tengah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.