Banyak sekolah yang sudah menyandang predikat sekolah ramah anak. Lalu bagaimana dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)? Rupanya pemerintah sedang berlomba untuk menjadikan lembaga atau institusi layanan anak sebagai tempat yang ramah anak. Mulai dari fasilitas umum, taman, sekolah hingga fasilitas kesehatan. Semua tempat yang bisa kita temukan anak-anak di sana, akan disulap menjadi tempat ramah anak.
LPKA seringkali dianggap sebagai tempat yang paling tidak aman dan tidak ramah bagi anak, ketika kekerasan masih langgeng hidup di sana. Sebagai contoh, bukan hanya di awal tahun ajaran baru masuk sekolah kita dikenalkan pada masa orientasi, atau sering dikenal dengan istilah “penggojlokan” dari senior terhadap junior. Hal serupa juga dialami oleh anak yang pertama kali masuk ke dalam LPKA. Tradisi senioritas saat si junior “digulung” oleh seniornya masih ditemukan di LPKA. Meski kadang praktik ini masih luput dari petugas. Teknik yang dilakukan para remaja ini pun unik. Mereka akan menunggu hingga larut malam dan biasanya mereka menyasar pada bagian tubuh yang berlokasi di area yang tertutup oleh baju serta jarang meninggalkan bekas setelah dipukul.
Kebiasaan menggunakan kekerasan dalam kehidupan anak-anak di LPKA merupakan sebuah norma berbahaya dan jika dilanggengkan akan menghambat proses perubahan anak ingin menjadi lebih baik dan mengakhiri kekerasan. Remaja di LPKA terpapar kekerasan sejak kecil, mereka dibesarkan di bawah budaya patriarki. Hampir seluruh remaja yang didampingi Sahabat Kapas pernah mengalami kekerasan dari orang tuanya. Kemudian, mereka harus tinggal di LPKA yang masih akrab dengan kekerasan. Lengkap sudah penderitaan. Padahal, harusnya selama di LPKA mereka bisa mendapat motivasi untuk berubah menjadi lebih baik dan hak untuk merasa aman dan nyaman hingga mereka siap untuk kembali ke masyarakat.
Pada Selasa, 19 Mei 2020 Sahabat Kapas melakukan diskusi sesi pertama, Menuju LPKA Ramah Anak dan Sensitif Gender bersama petugas dari LPKA Kutoarjo dan Yogyakarta. Dipandu oleh Ibu Defirentia One Direktur Rifka Annisa Yogyakarta dan didukung oleh Rutgers WPF Indonesia, para petugas berdiskusi melalui zoominar untuk identifikasi norma-norma berbahaya yang masih hidup di tengah-tengah remaja di LPKA. Ketimpangan kuasa antara anak yang lebih senior kepada junior maupun antara petugas dengan anak, menjadi pemicu terjadinya kekerasan berbasis gender di LPKA.
Diskusi ini mengajak petugas untuk melihat lebih dalam dan peka terhadap lingkungan para remaja. Lingkungan aman dan ramah anak ini berkaitan erat dengan pengaruh petugas sebagai pemegang kendali dan penyedia layanan bagi anak yang menjalani rehabilitasi. Dari norma- norma yang berhasil diidentifikasi, petugas bersepakat untuk tidak meneruskan norma berbahaya yang akan mengancam setiap perubahan baik para remaja di LPKA. Kebijakan klasifikasi penempatan kamar bagi anak telah disiapkan. Anak yang kedapatan melanggar aturan akan ditempatkan di kamar tersendiri. Sedangkan, untuk anak yang banyak berkelakuan baik akan mendapat reward. Diskusi tentang pendekatan gender sangat perlu untuk dilakukan secara berkala dengan para petugas di LPKA. Tiap kali ada diskusi, perlu tindakan yang aplikatif untuk tindak lanjut. Serta diskusi lanjutan untuk pengembangan maupun refleksi bagi petugas lainnya.
Published by