Memahami Masa Remaja

20 tahun lalu saya pernah mengalami fase remaja. Apa yang saya alami dulu tak berbeda jauh dengan yang dialami remaja sekarang di beberapa bagiannya. Seperti perubahan hormonal dan relasai dengan sebaya. Namun tidak sedikit juga tantangan yang harus diemban generasi saya sekarang untuk berinteraksi dengan remaja masa kini. Kesadaran ini saya temui ketika membaca buku Bakat Bukan Takdir karya Bukik Setiawan dan Andrie Firdaus; Puber Stories karya Lia Herlina dan Psikologi Remaja karya Sarlito W. Sarwono.

Tiga buku tersebut hanyalah sedikit dari banyak buku yang membahas tentang kondisi anak-anak kita. Ribuan buku lainnya mudah kita temui dan baca di rumah. Buku-buku tersebut akan memilki makna jika kita mau membaca dan belajar untuk memperbaiki diri sendiri sebelum menjejali anak-anak kita dengan konsep pendidikan terbaik (versi kita, orang dewasa). Karena banyak pengetahuan baru yang wajib orang dewasa pelajari jika berharap generasi setelah kita menjadi lebih hebat.

Problematika Remaja

Saya tertarik belajar tentang remaja karena mayoritas klien Sahabat Kapas adalah remaja. Dari mereka, saya mengenal banyak ilmu baru tentang tumbuh kembang anak, tentang kontribusi masa kecil terhadap perilaku, dsb. Remaja klien Sahabat Kapas tak beda dengan remaja-remaja lain yang tinggal di rumah kita. Mereka mengalami sindrom puber, meminjam istilah Lia Herliana [1]. Merasa kulit tubuh tidak semulus harapan karena jerawat, resah karena perubahan suara, ketertarikan terhadap  lawan jenis, bahkan merasa sudah cukup dewasa dan mandiri sehingga tidak suka diatur-atur.

Remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik dimana masa alat kelamin manusia mengalami kematangan. Masa pematangan fisik berlangsung sekitar dua tahun sejak mulai haid untuk perempuan dan mimpi basah untuk laki-laki [2]. Masa inilah yang disebut pubertas atau dalam bahasa latin pubescere yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang pubic. WHO memberi batasan usia remaja yakni 10-24 tahun [3] dengan salah satu pertimbangan dari sisi kesehatan remaja. Sedangkan pengertian anak menururt Konvensi Hak Anak adalah mereka yang kurang dari 18 tahun. Terdapat irisan rentang umur diantara keduanya yang kemudian saya mengambil pemahaman bahwa umur anak remaja yakni 10 – 18 tahun.

Berinteraksi dengan remaja tak bisa dikatakan gampang, namun tak sulit juga. Terdapat lima aturan dari Adams dan Gullotta (1983) bagi kita ketika berhadapan dengan remaja dan problematikanya:

  1. Trustworthiness (kepercayaan), yaitu sikap saling percaya dengan remaja yang kita hadapi.
  2. Genuineness, yaitu maksud yang murni atau tidak pura-pura.
  3. Emphaty, yaitu kemampuan untuk ikut merasakan perasaan remaja.
  4. Honesty atau kejujuran.
  5. Pandangan remaja bahwa kita memang memenuhi keempat hal di atas. [4]

Pendekatan yang dilakukan dengan pondasi lima aturan di atas akan membawa kita pada proses interaksi yang positif. Anak remaja tidak akan merasa digurui dan orang dewasa pun akan lebih memahami beban mereka. Disinilah dibutuhkan komunikasi setara dimana orang dewasa lebih banyak memberi ruang anak remaja untuk menyampaikan ide, gagasaan, perasaan, atau pendapatnya. Kemudian bersama-sama mencari solusi yang lebih baik.

Menumbuhkan Bakat Anak Remaja

Kesadaran orang dewasa menganggap anak adalah lembaran kertas kosong yang perlu kita isi dengan tinta emas. Ternyata pemahaman tersebut membawa implikasi tidak sesederhana itu. Jika anak dianggap kertas kosong, maka orang dewasa merasa memiliki hak prerogatif menuliskan apa saja yang diyakininya paling tepat dan benar untuk anak. Ukuran tepat dan benar ini sangat subyektif dan dipengaruhi pengalaman kita selama ini. Hingga ujungnya kita melupakan potensi sejati dari diri anak itu sendiri. Tak jarang ketika anak kita memiliki nilai matematika ‘jelek’ kemudian reaksi kita marah-marah.

Buku Bakat Bukan Takdir sungguh menarik. Memberikan kesadaran baru bahwa anak adalah benih kehidupan yang mempunyai kemauan dan kemampuan belajar sehingga mereka perlu distimulasi dan diberi kesempatan. Anak sejatinya bersifat aktif karena ada daya dorong internal dirinya. Peran kita bukanlah menjejalkan pengetahuan tapi menstimulus agar potensi dirinya tumbuh dan berkembang menjadi bakat yang bermanfaat [5]. Analoginya telur yang akan menetas karena dierami dan diberi kehangatan oleh induk ayam. Dia menetas karena ada dorongan dari internal dan keluarlah anak ayam. Di sisi lain, jika telur menetas karena tekanan dari eksternal yang kuat, maka hasilnya adalah telur ayam terburai. Tidak ada anak ayam.

Menjadi pendidik yang menumbuhkan atau yang menanam menjadi pilihan bebas orang dewasa. Pendidik menumbuhkan menganggap anak sebagai pelajar sepanjang hayat. Anak dihargai kebutuhannya yang khas dan pandangannya. Sebaliknya pendidik yang menanam menempatkan anak sebagai obyek. Orang dewasa sebagai subyek yang tahu apa yang terbaik bagi anak. Sedangkan anak hanya menjalankan perintah, tidak perlu berpikir, apalagi berpendapat [6]. Pertanyaan sederhana untuk kita, apakah kita mendengarkan pendapat anak tentang pilihan sekolahnya atau pilihan lesnya.

Apa yang kita pelajari saat ini untuk menjadi pendidik yang menumbuhkan merupakan bagian dari investasi jangka panjang. Tujuan akan tercapai di kemudian hari, tidak dapat segera kita petik hasilnya. Anak remaja kita kelak akan menjadi orang dewasa yang bahagia karena mampu berkarya sesuai kecerdasan yang dimilikinya dan bermanfaat untuk masyarakat.

Problematikan pubertas yang dialami anak remaja saat ini tidak mengurungkan kesempatan untuk memperbaiki pola pendidikan kita. Terlebih bagi anak remaja yang berada di dalam Lapas/Rutan. Mereka membutuhkan pendekatan yang kreatif dan bersifat menumbuhkan. Tugas rumah kita bersama untuk merubah kekeliruan selama ini. Tidak ada kata terlambat karena menurut Albert Einstein “Seseorang yang tidak pernah berbuat kekeliruan, berarti tidak pernah mencoba hal baru”.

Ditulis oleh Dian Sasmita (Direktur Sahabat Kapas).

Foto diambil dari Facebook : Solidaritas Kapas

_______

[1] Lia Herliana, Puber Stories, Tiga Ananda, Solo, 2015, Hlm.9

[2] Sarlito W.Sarwono, Psikologi Remaja, Cetakan Kedelapanbelas, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, Hlm.9

[3] Ibid., Hlm.12

[4] Ibid., Hlm.81

[5] Bukik Setiawan dan Andrie Firdaus, Bakat Bukan Takdir, Buah Hati Imprint dan Lentera Hati, Tangerang Selatan, 2016, Hlm.30

[6] Ibid., Hlm.50

You Might Also Like

Published by

Evi Baiturohmah

Penyuka panda, pantai dan percakapan. Selalu ingin membuat terobosan menarik dan kreatif dalam pekerjaan dan kehidupan sehari- hari. Mantra mujarab: Things get tough and shi*s happen, but you’ll survive.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.