Satu dari banyak cerita menarik dari Mbak Siswi dan Mbak Dian ketika mengikutkan karya anak di Lapas Klas II B Klaten pada pameran yang diselenggarakan di Semarang beberapa waktu lalu, membuat saya tersentak. Ternyata, masih ada saja orang yang “takut” terlihat berhubungan dengan anak di dalam lapas.
Dalam pameran tersebut, berbagai produk #OnJail dipamerkan dan dijual kepada khalayak umum. Jelas, tujuan kami mengikuti pameran adalah agar lebih banyak orang melihat karya anak di lapas sehingga masyarakat sadar bahwa meskipun di dalam lapas, dengan fasilitas yang jelas tidak selengkap di luar, anak-anak masih bisa berkarya. Karya mereka sangat layak disandingkan dengan karya anak-anak pada umumnya. Perjuangan dan karya mereka patut untuk mendapatkan dukungan dari semua elemen masyarakat.
Akan tetapi, pada kenyatannya tidak semua orang mampu berpikir seperti itu. Masih saja ada orang yang “takut” secara terang-terangan mendukung perjuangan anak di lapas. Entah “takut” karena apa. “Takut” dicap sebagai orang yang “pro” kepada narapidana, mungkin? Entahlah.
“Kalau Anda beli produk kami, nanti kami akan foto Anda dan meng-upload-nya ke facebook kami.”
“Baik, baik. Saya beli ini.”
Tak berapa lama, pembeli tersebut datang lagi ke stand kami…
“Mbak, mbak… Setelah saya pikir-pikir, lebih baik foto saya jangan di-upload di facebook. Jangan ya mbak.”
Kenyataan itu membuat saya sadar, stigma yang berkembang di masyarakat mengenai narapidana maupun tahanan anak masih sedemikian negatifnya. Ternyata di luar sana, masih banyak orang yang “takut”, bahkan untuk sekedar “terlihat” membeli karya anak di lapas.
Banyak orang tidak paham bahwa sebagian besar anak yang mereka tuding sebagai pencuri, pencopet, dan penjambret itu adalah anak-anak dengan kesulitan ekonomi. Anak-anak tersebut mengambil benda-benda yang mereka inginkan hanya agar mereka bisa memiliki benda-benda yang juga dimiliki oleh teman-teman main/sebaya mereka. Kebanyakan, orang tua mereka sangat jarang bisa memberikan perhatian terhadap kebutuhan mereka. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan materi, sekedar meluangkan waktu untuk dihabiskan bersama dengan mereka pun terkadang tidak bisa dilakukan oleh orang tua mereka.
Banyak orang yang tidak mau peduli dengan fakta bahwa kebanyakan anak dengan dakwaan pelecehan seksual itu adalah anak-anak yang sebenarnya melakukan free seks, pacaran yang “kebablasan”. Mereka adalah anak-anak di usia puber yang sudah selazimnya mulai berkenalan dan mencari tahu tentang segala hal mengenai kebutuhan seksual mereka. Sayangnya, mereka tidak mendapatkan cukup bimbingan untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka dengan cara yang benar.
Jadi, selalu ada sebab di balik perilaku “menyimpang” anak.
Kami, para relawan, tidak pernah sekalipun mendukung tindakan salah yang dilakukan oleh anak-anak di lapas. Kami mendengarkan mereka, mencoba memahami mereka, dan akhirnya mengajak mereka untuk mau berkarya dan berjuang bersama untuk menjadi orang-orang yang lebih baik. Kami merangkul mereka, bukan membenarkan perbuatan salah yang pernah mereka lakukan. Kami senantiasa berharap semoga lebih banyak orang yang tergerak hatinya untuk tidak menghakimi anak-anak di lapas. Paling tidak, berhenti memberikan “cap negatif” terhadap mereka.
Ditulis oleh Febi Dwi S. (Relawan Sahabat Kapas)
Published by