Jumlah anak berhadapan dengan hukum (ABH) di Kota Surakarta tiap tahunnya mengalami peningkatan. Rutan Kelas 1 Surakarta menampung anak yang melakukan kriminalitas dari wilayah Kota Surakarat, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Karanganyar dengan rata-rats tiap tahunnya a 55 anak.
Permasalahan ABH tidak sebatas menghadapi lamanya proses hukum, namun juga tentang kendala anak dalam mengakses kebutuhan dasarnya seperti kesehatan dan pendidikan. Minimnya pemahaman para pemangku kebijakan turut menghambat perwujudan Solo sebagai Kota Layak Anak. Simpati masyarakat terhadap permasalahan ABH menunjukan sensitivitas mereka terhadap ABH masih kurang. Kebijakan tingkat nasional dan kota (Perda Kota Surakarta No.4 th. 2012 tentang perlindungan anak) telah ada, namun tetap saja dalam implementasinya kebijakan ini memerlukan dukungan banyak pihak.
Lahirnya UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan banyak perubahan dalam praktek peradilan anak. Undang-undang ini terinspirasi dari konvensi internasional yakni Beijing Rules yang memberikan peluang diversi dan psinsip keadilan restorative ( Restorative Justice) dalam setiap tahapan proses hukum. Undang-undang ini mulai berlaku Juli 2014, tak pelak intitusi penegak hukum saling berlomba menyusun prosedur diversi.
Kepolisian selama ini telah melakukan upaya diversi terhadap kasus ringan seperti pencurian, miras, dan pengeroyokan. Kejaksaan sebagai penuntut umum dalam perkara anak masih memiliki keterbatasaan personel yang peka terhadap hak anak. Beberapa kali jaksa mengupayakan tuntutan berupa pidana percobaan atau tindakan berupa pengiriman anak di PSMP Antasena Magelang. Para penegak hukum memiliki tanggungjawab baru untuk wajib mengupayakan diversi sepanjang proses hukum ABH. Kewajiban ini memiliki implikasi pidana bagi mereka dalam Pasal 96 – 1001 UU No.11/2012. Dalam ketentuan hukum ini, institusi kehakiman masih melakukan judicial review terhadap pasal tentang ancaman pidana bagi hakim yang tidak mengupayakan diversi. Hal ini menjadi perihal yang kontraproduktif dengan respon kepolisian dan kejaksaan atas pasal ini.
Kenakalan anak merupakan wujud dari respon diri anak terhadap situasi yang ada di luar diri mereka yang bisa datang dari keluarga, lingkungan, ataupun perkembangan global. Perilaku negatif anak merupakan cerminan orang dewasa dalam mendidik mereka. Pola asuh sejak dini menjadi vital dalam proses tumbuh kembang anak. Pendidikan karakter perlu diberikan mulai dari keluarga, lingkungan bermain, hingga sekolah. Tuntutan belajar yang tinggi dari sekolah tidak menjamin anak dapat menikmatinya. Yang ada adalah tingkat stress anak meningkat. Untuk ABH, masih sering ditemui fakta anak dikeluarkan dari sekolah karena kasus yang dialami. Mereka mengalami diskriminasi di dalam kehidupan pasca- penjara. Dalam hal ini, peningkatan mutu pengajar menjadi urgen dalam misi peningkatan kualitas pendidikan yang merata kepada semua anak.
Konsep perlindungan hak anak berasal dari instrument internasional yakni Konvensi Hak Anak yang kemudian diratifikasi oleh negara-negara, salah satunya Indonesia. Perangkat tambahan yang ada adalah Beijing Rules, Riyadh Guidelines, dan Havana Rules. Khusus The Riyadh Guidelines, konvensi ini mengatur tentang upaya pencegahan kenakalan anak yang melibatkan berbagai unsur yang meliputi : lingkungan keluarga, pendidikan, lingkungan, kebijakan, serta media massa.
Media massa juga mengambil peran penting dalam upaya pencegahan kenakalan anak melalui penyaringan pemberitaan dan perlindungan identitas anak. Masih kerap didapati pemberitaan ABH yang mencantumkan identitas anak. PAsal 19 UU No.11/2012 telah jelas mengatur tentang perlindungan identitas anak dari kegiatan pemberitaan, dan ada ancaman hukuman bagi pelanggarnya. Identitas tidak semata nama dan alamat anak, namun mencangkup nama sekolah, keluarga, dan identitas fisik lainnya.
Upaya pencegahan kriminalitas anak tidak menjadi beban keluarga semata. Lingkungan dan orang dewasa disekitar anak turut berperan. Mari kita luangkan waktu dan perhatian untuk memberikan mereka masa depan lebih baik. Tidak menghakimi mereka dengan memberi kesempatan berkarya dan menghargai potensi dalam dirinya.
*ditulis saat membersamai anak-anak Lapas yangg sedang belajar sablon
Tulisan ini ditulis oleh: Dian Sasmita, SH
Published by