Mungkin sudah banyak orang tahu bahwa setiap tanggal 23 Juli, Indonesia merayakan Hari Anak Nasional. Tapi, benarkah setiap anak di negara tercinta ini paham bahwa mereka memiliki satu hari spesial? Rasanya kita akan sepakat dengan satu jawaban dan serentak menjawab “Tidak”. Ya, memang benar, pasti tetap saja ada orang di luar sana, bahkan anak-anak sendiri yang tidak tahu bahwa mereka punya hari spesial. Hari untuk memperingati hak anak di mana pemenuhan hak anak tersebut menjadi tanggung jawab kita bersama.
Menilik sebentar apa itu hak anak. Hak anak yaitu hak hidup, tumbuh berkembang, perlindungan dan partisipasi. Begitu kira-kira singkatnya ketika anak-anak di beberapa komunitas forum anak di Indonesia ini menyanyikan “Lagu Hak Anak” dengan gerakan yang khas berputar-putar disertai gerakan tangan nan kontras dan seirama. Tentunya mungkin dengan berbagai versi, variasi dan modifikasi, tergantung bagaimana anak-anak diajari untuk menyanyikannya. Tapi tunggu dulu, pahamkah mereka? Pahamkah anak-anak itu tentang hak anak?
Bisa kita bayangkan bersama jika semua anak di dunia ini sangat kritis, tentu kita akan dibuat pusing karena anak-anak yang dilahirkan Tuhan dengan ciri khas masing-masing itu akan merayu untuk mendapatkan haknya. Atau bahkan anak-anak akan menuntut kita sebagai orang dewasa karena tidak bisa memenuhi hak-hak mereka?
Pada tanggal 23 Juli bisa kita lihat, semua stasiun televisi seakan berlomba menayangkan acara peringatan hari anak. Mulai program agama dengan isian tausyiah tentang anak, lomba-lomba anak, kartun anak, dsb. Semoga tidak hanya dengan tujuan meraih ratting yang tinggi. Peringatan hari anak ini tidak hanya terlihat di media. Mari coba kita lihat di sekeliling kita. Meriahkah hari anak itu?
Peringatan Hari Anak Nasional yang hampir aku lihat dan ikuti selama ini cukup membuatku tersenyum bahkan tertawa melihat bahagianya mahkluk-mahkluk ciptaan Tuhan itu, sampai pada akhirnya mata aku kembali tertuju pada foto di bawah ini.
Foto di atas diambil ketika kedatangan Ms. Lauren dan Ibu Naning dari UNICEF beberapa saat yang lalu di Lapas Klas II B Klaten. Anak-anak menyambut tamu-tamu ini dengan lagu Anak Merdeka dan lagu Long Live, My Family dari Endank Soekamti. Lagu Anak Merdeka dengan liriknya yang ceria pada bagian terakhirnya diganti dengan kata-kata “Semua ingin dapat remisi”, membuat terharu orang yang mendengarnya.
Lihatlah foto sederhana di atas. Adakah yang menarik? Aku akan mencoba menceritakannya.
Sebelumnya anak-anak ini bersandar di tembok, duduk dengan santainya. Sampai ada beberapa media yang akan meliput dan mereka berpindah posisi supaya wajah mereka tidak terekspose. Teman-teman media sangat membantu anak-anak ini.
Poinnya adalah bahkan untuk mendongakkan wajah saja mereka takut. Malu. Merasa bersalah. Lalu bagaimana dengan anak-anak di luar sana? Yang sekarang sedang demam narsis di facebook, twitter dan banyak lagi media lainnya?
Anak-anak yang nampak hanya punggungnya saja ini pasti juga ingin seperti yang di luar sana. Bebas. Tapi apa yang terjadi? Mereka berada di balik jeruji besi, hanya bisa mendengarkan cerita kami-kami ini yang masih mendapat kesempatan berada di luar. Coba kita lihat anak-anak sekarang yang sedang selfie? Begitu hebohnya berfoto ria dengan bangga. Tahukah anak-anak di luar sana bahwa mereka punya teman di dalam sebuah lingkungan yang dianamakan LAPAS? Anak-anak dalam lapas itu hanya bisa mencoba mengisi hari-harinya dengan berkegiatan, menghibur diri dan menghitung hari supaya hari cepat terlewati dengan satu doa “Segera bebas”.
Foto di atas kembali mengingatkanku pada perbincangan Ms. Lauren dengan anak-anak tentang kegiatan apa saja yang mereka lakukan di lapas. Jawaban mereka singkat, “Kegiatannya ya, begini…”. Jawaban yang diucapkan dengan nada lemas tanda bahwa apapun yang mereka lakukan di dalam lapas tidak seindah apa yang ada di luar sana. Bisakah Anda temukan ada hak mereka yang terampas di dalam lapas?
Kemudian, ketika anak-anak ditanya tentang cita-cita mereka, mereka menjawab ingin melanjutkan sekolah, ingin bekerja (karena tidak punya biaya melanjutkan sekolah), dan ingin menjadi pengusaha. Jawaban mereka diikuti tatapan yang menerawang ke depan, melihat Ms. Lauren sebelum kemudian kepala mereka kembali tertunduk ke bawah. Tahukah kita apa artinya?
Pertanyaannya, bisakah mereka menggapai cita-cita itu jika mereka harus melewati proses hukuman di dalam lapas? Tidak adakah cara lain untuk membantu anak-anak itu menggapai cita-citanya? Lalu aku kembali bertanya, di mana hari anak untuk anak-anak ini?
Kembali hati ini menangis ketika Ms. Lauren bertanya kenapa mereka bisa sampai menjalani hukuman di lapas. Jawaban lirih dengan bahasa Indonesia berlogat Jawa yang lugu terlontar dari mulut mereka, “Diajakin teman. Kalo ga ikutan dikatain ga jantan…”. Dan jalan nafas ini rasanya seperti tersumbat ketika mereka mendapat pertanyaan dari Ms. Lauren mengenai apa yang ingin disampaikan ke orang-orang di luar sana supaya tidak ada lagi yang masuk ke lapas.
Jawaban mereka membuatku ingin meminjam alat doraemon yang bisa menyiarkan ke seluruh penjuru dunia agar didengar oleh semua orang di dunia ini! Jawaban mereka sederhana, “Yaa, sebaiknya orang tua lebih sayang sama anaknya. Mau ngawasi, mau ngontrol anaknya.” Rasanya kita semua sudah cukup paham apa artinya. Jawaban itu sekaligus menjawab pertanyaan kenapa mereka bisa sampai ada di lapas.
Jika semua anak bisa merayakan Hari Anak Nasional, maka akan ada jawaban yang bisa kita berikan ketika anak-anak dalam lapas itu bertanya, “Mbak, berarti di hari anak aku dapat remisi lagi ya?”
Sepenggal cerita tentang hari anak dan kehidupan di balik Lapas Klas II B Klaten ini semoga sedikit menggoreskan sesuatu dalam batin kita. Kami paham banyak dari kita yang masih memberi perspektif negatif terhadap anak-anak dalam lapas itu. Mengatakan bahwa mereka adalah pelaku, bahwa lebih baik membela korban dan mempertanyakan mengapa orang salah harus dibela, dsb.
Lalu pertanyaan yang muncul adalah bagaimana jika itu terjadi pada kita? Pada anak-anak kita? Adik-adik kita? Saudara kita? Masih bisakah kita tidak perduli? Terus menyalahkan tanpa berbuat sesuatu? Hanya kita dan Tuhan saja yang tahu jawabannya.
Oke. Mungkin terlalu jauh jika membicarakan anak dalam lapas. Kita semua sebagai orang dewasa yang lebih dari 18 tahun tentu sudah melewati masa anak-anak. Apakah masa anak-anak kita indah? Atau penuh dengan kejadian berkesan sampai menorehkan luka sampai kita besar seperti sekarang? Dan pertanyaannya, sudahkah kita memberi senyum tulus? Memberi kasih sayang untuk anak-anak terdekat kita? Sudahkah kita berusaha memenuhi hak-haknya?
Apakah satu hari cukup untuk membahagiakan semua mahkluk yang diciptakan Tuhan sebagai individu yang unik? Setelah pada tanggal 23 Juli kita mengucapkan selamat hari anak, apa yang terjadi pada tanggal 24 Juli dan seterusnya? Mari kita lakukan sesuatu dari hal terkecil, dari yang paling dekat, yaitu diri sendiri.
Setiap anak dilahirkan bagaikan kertas putih. Dan bagaimana tulisannya tergantung kita dan lingkungan yang akan menggoresnya. Anak bukanlah perwujudan kita dalam bentuk kecil. Tapi anak adalah individu unik yang kelak akan punya kehidupan sendiri. Tidak ada manusia yang sempurna. Tapi dengan berjuang bersama kita bisa mewujudkan hal-hal luar biasa dan mendekati sempurna.
Semoga hari anak tidak hanya satu hari saja, namun setiap detiknya adalah hari anak, hari orang tua dan hari kasih sayang. Semoga…
Ditulis oleh Siswi (Relawan Sahabat Kapas)
Published by