Hukuman Kebiri (Chemical Castration) bagi Pelaku Kekerasan Seksual

Indonesia saat ini dinilai mengalami darurat nasional kekerasan seksual terhadap anak. Data Komnas PA dari 2010 sampai 2015 yang dihimpun dari 34 propinsi, diperkirakan ada 21,6 juta kasus pelanggaran terhadap anak. Sebanyak 58% di antaranya adalah kejahatan seksual[1]. Jumlah anak-anak yang menjadi korban tindak pidana kejahatan seksual menurut catatan resmi International Labour Organization (ILO) dan diperkuat oleh United Nation Children’s Fund (UNICEF) mencapai 70.000 orang setiap tahunnya[2]. Pelaku kekerasan pada anak bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, orang tua atau orang yang dekat di lingkungan rumah. Kedua, tenaga kependidikan, yaitu guru dan orang-orang yang ada di lingkungan sekolah. Ketiga, orang yang tidak dikenal. Hasil monitoring dan evaluasi Kominas Perlindungan Anak (Komnas PA) tahun 2012 di 9 propinsi menunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6% di lingkungan sekolah dan 17,9 % di lingkungan masyarakat. Artinya anak rentan menjadi korban kekerasan justru di lingkungan rumah dan sekolah. Lingkungan yang mengenal anak-anak tersebut cukup dekat[3].

Dengan adanya status darurat ini, menurut Komnas PA, pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus yang kemudian menghasilkan dibentuknya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mana perubahan tersebut adalah menambahkan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Tindakan kebiri yang dilakukan merupakan kebiri kimia, yaitu dengan cara memasukkan zat kimia antiandrogen ke tubuh manusia supaya produksi hormon testosteron berkurang sehingga menghilangkan libido atau hasrat seksual atau kemampuan ereksi. Hukuman kebiri dewasa ini telah diberlakukan oleh 20 negara yakni 9 negara di Eropa dan 9 negara bagian Amerika, satu negara Amerika Latin dan satu negara di Asia Tenggara. Kesembilan negara di Eropa tersebut adalah Inggris, Polandia, Rusia, Jerman, Republik Ceko, Denmark, Swedia dan Spanyol. Sedangkan 9 negara bagian Amerika adalah California, Florida, Georgia, Iowa, Lousiana, Montana, Oregon, Texas dan Wisconsin. Satu negara Amerika Latin yang memberlakukan hukuman kebiri adalah Agentina dan satu negara di Asia adalah Korea Selatan[4].

Hukuman kebiri ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Seperti disampaikan oleh wakil Ketua KPAI, bahwa ada 3 alasan kenapa Perppu tersebut sangat diperlukan. Yang pertama, adanya keadaan dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum. Korban kejahatan seksual anak semakin banyak, sementara pelaku tidak jera, bahkan tidak jarang pelaku mengulangi perbuatannya tanpa rasa iba kepada korban. Oleh sebab itu butuh penjeraan sebagai upaya preventif. Selain itu, muatan pasal pidana terhadap pelaku kejahatan seksual dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak masih tergolong ringan. Pidana yang diberikan kepada pelaku hanya hukuman penjara maksimal 15 tahun dan hal tersebut belum efektif untuk menekan kejahatan seksual terhadap anak. Yang terakhir, kondisi dan kompleksitas kejahatan seksual ini membutuhkan kepastian hukum, karena itu, diperlukanlah Perppu tersebut.

Namun banyak juga pihak yang tidak setuju dengan hukuman kebiri ini, seperti pakar seksologi, dr. Boyke Dian Nugraha, yang menilai hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak tidaklah efektif. Alasannya, pelaku kejahatan seksual pada anak masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati. Cara terbaik menghadapi pelaku kejahatan seksual, menurut Boyke, adalah dengan memberikan pengobatan dan rehabilitasi bagi para pelaku. Anggota Komnas Perempuan, Masruchah, pun menyatakan tidak setuju dengan sanksi atau pidana dikebiri, karena kebiri merupakan pelanggaran hak asasi manusia[5]. Penolakan juga datang dari organisasi–organisasi Hak Asasi Manusia. Penolakan tersebut bersandar pada beberapa alasan, yaitu pertama, hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem hukum pidana nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Kedua, hukuman kebiri melanggar hak asasi manusia sebagaimana tertuang di berbagai perjanjian internasional yang telah diratifikasi dalam hukum nasional kita, diantaranya Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol/ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan juga Konvensi Hak Anak (CRC), yang mengatur bahwa penghukuman badan dalam bentuk apapun harus dimaknai sebagai bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia, terlebih apabila ditujukan untuk pembalasan dengan alasan utama efek jera yang diragukan secara ilmiah. Dan ketiga, segala bentuk kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual, pada dasarnya merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi terhadap anak, dengan demikian, hukum kebiri tidak menyasar akar permasalahan kekerasan terhadap anak[6].

Efektifkah?

Pemerintah beranggapan bahwa memperberat sanksi pemidanaan dapat menekan terjadinya tindak pidana. Pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan menambahkan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektonik bertujuan memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual dan memberikan pencegahan terjadi kekerasan seksual kepada anak di waktu mendatang. World Rape Statistic atau statistik dunia tentang pemerkosaan di berbagai Negara di dunia membuktikan bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri, tidak efektif menimbulkan efek jera[7]. World Rape Statistic yang diterbitkan setiap dua tahun sekali tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan hukuman mati atau hukuman kebiri justru menduduki posisi 10 besar sebagai negara yang memiliki kasus pemerkosaan tertinggi di dunia, yaitu : Amerika di urutan pertama, disusul oleh Afrika, Swedia, India, Inggris Jerman, Perancis, Kanada, Sri Lanka dan Ethiopia. Sedangkan World Rape Statistic 2014 menunjukkan 10 besar negara dengan kasus pemerkosaan tertinggi, berturut-turut adalah India, Spanyol, Israel, Amerika, Swedia, Belgia, Argentina, Jerman dan Selandia Baru. Sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati atau hukuman kebiri juga mengakui, bahwa menurunnya jumlah kasus pemerkosaan yang dilaporkan, tidak menggambarkan situasi sesungguhnya. Karena banyaknya kasus pemerkosaan yang tidak dilaporkan, terlebih-lebih jika pelakunya merupakan bagian dari keluarga[8]. Hal ini menegaskan bahwa pemberian hukuman kebiri belum efektif memberikan efek jera dan tidak terbukti mengurangi angka kejahatan seksual terhadap anak.

Pemerintah seharusnya mengedepankan memberikan rehabilitasi terhadap pelaku daripada menerapkan hukuman kebiri. Hal ini dikarenakan kejahatan seksual tidak hanya terjadi karena faktor biologis semata. Apabila motif kejahatan pelaku didasari karena faktor biologis maka pemberian hukuman kebiri merupakan langkah yang tepat. Namun berbeda dalam hal ini karena para pelaku kejahatan seringkali adalah korban pelecehan seksual saat mereka anak-anak, termasuk di Indonesia[9]. Hal ini menunjukkan adanya perluasan motif kejahatan seksual selain faktor biologis, yaitu kejahatan yang terjadi karena adanya trauma di masa kecil sehingga menyebabkan pelaku mengalami penyimpangan seksual (pedofil) maupun faktor dendam. Sehingga seharusnya pemerintah harus lebih berhati-hati dalam membuat aturan. Oleh sebab itu, daripada pengebirian, rehabilitasi terhadap pelaku maupun korban merupakan langkah yang tepat.

Ditulis oleh Cempaka Widowati (Relawan Sahabat Kapas).

_______

[1] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141120014225-20-12623/indonesia-darurat-kekerasan-seksual-anak/ diakses pada 30 September 2016

[2] Unicef, Effective Strategies toCcombat Sexual Violence Against Women and Children: A Background Analysis

[3] http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/ diakses pada 30 September 2016

[4]Supriyadi WE, Ahmad Sofian, dan Anugerah RA. 2016, “Menguji Euforia Kebiri”, Institute For Criminal Justice Reform, ECPAT Indonesia, Mappi FH UI. Jakarta Selatan: hlm 10

[5] http://www.rappler.com/indonesia/110227-pro-kontra-hukuman-kebiri diakses pada 30 September 2016

[6] Supriyadi WE, Ahmad Sofian, dan Anugerah RA. 2016, “Menguji Euforia Kebiri”, Institute For Criminal Justice Reform, ECPAT Indonesia, Mappi FH UI. Jakarta Selatan: hlm 6

[7] http://www.rappler.com/indonesia/118986-hal-penting-rencana-perppu-kebiri-pemerkosa-anak diakses pada 30 September 2016

[8] Supriyadi WE, Ahmad Sofian, dan Anugerah RA. 2016, “Menguji Euforia Kebiri”, Institute For Criminal Justice Reform, ECPAT Indonesia, Mappi FH UI. Jakarta Selatan: hlm 22

[9] Ibid, hlm 24

You Might Also Like

Published by

Evi Baiturohmah

Penyuka panda, pantai dan percakapan. Selalu ingin membuat terobosan menarik dan kreatif dalam pekerjaan dan kehidupan sehari- hari. Mantra mujarab: Things get tough and shi*s happen, but you’ll survive.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.