Diskriminasi Penerapan Diversi

Undang – undang ndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mulai berlaku sejak 31 Juli 2014 ini. UU SPPA merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus ABH.

UU SPPA mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Di dalam penjelasannya, dijelaskan bahwa substansi yang paling mendasar dalam UU SPPA adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat mengindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Anak di Lapas Klaten ketika menerima donasi buku
Anak di Lapas Klaten ketika menerima donasi buku di tahun 2013

Nah, apa itu Diversi?

Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Setiap perkara anak nantinya akan diselesaikan secara musyawarah dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait. Proses diversi dimaksudkan agar keadilan restoratif yang mengutamakan penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan dapat tercapai. Dari sisi perlindungan kepentingan anak, diversi ini memang sangat diperlukan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU SPPA, diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Namun, perlu juga dipahami bahwa tidak semua jenis tindak pidana dapat dilakukan diversi. Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa diversi ini dilaksanakan dalam hal tindak pidana dilakukan: 1.) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan 2.) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Lalu bagaimana dengan mereka, anak-anak “korban” tindak pidana yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun? Saya menggunakan istilah “korban” karena memang sebenarnya anak-anak yang berkonflik dengan hukum adalah korban. Korban kondisi sosial dan permasalahan yang terjadi di keluarga maupun lingkungannya. Faktor di luar diri anak inilah yang sebenarnya menyebabkan mereka melakukan penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum.

Kembali lagi ke permasalahan awal, apakah anak-anak “korban” tindak pidana yang diancam dengan pidana di atas 7 (tujuh) tahun tidak berhak menggunakan upaya diversi? Mengapa mereka mendapat diskriminasi? Bukankah semua anak berhak mendapatkan kesempatan tumbuh dan berkembang yang dalam pemenuhannya tidak boleh dibeda-bedakan antara anak yang satu dengan anak yang lain? Dan bukankan sudah disebutkan dengan jelas dalam penjelasan UU SPPA bahwa tujuan disahkannya undang-undang ini adalah agar peradilan yang menjamin perlindungan kepentingan terbaik ABH dapat terwujud?

Pasal 7 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa diversi hanya boleh dilakukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, menurut saya merupakan bentuk diskriminasi dalam perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi adalah hak setiap anak sehingga tidak perlu dibatasi. Anak yang terpaksa terjerat kasus narkotika, terorisme, pemerkosaan, dan tindak pidana serius lainnya juga berhak mendapat akses untuk memperoleh diversi.

Mengutip Javier Perez de Cuella, cara memperlakukan anak tidak saja mencerminkan kualitas kepeduliannya melindungi anak, melainkan mencerminkan juga perasaan keadilan dan komitmennya terhadap masa depan mereka serta niatnya untuk meningkatkan kondisi kemanusiaan generasi penerus suatu bangsa. Jadi jika pemerintah benar-benar berniat ingin melindungi anak – anak yang merupakan generasi penerus bangsa yang punya masa depan dan harapan untuk meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini, maka Pasal 7 Ayat (2) huruf a UU SPPA sebaiknya direvisi.

 

Ditulis oleh Aprilia (Relawan Sahabat Kapas).

You Might Also Like

Published by

admin

Sahabat Kapas adalah organisasi nonpemerintah dan nonprofit, yang berkedudukan di Karanganyar, Jawa Tengah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.