Bella Melindha Hadi
Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta/Relawan Magang Kapas
Hidup sebagai anak rantau menumbuhkan kebanggaan tersendiri bagiku. Aku merasa memiliki kemandirian di atas teman-teman lain yang hingga saat ini masih tinggal bersama orang tuanya. Kemandirian dan kepercayaan yang ditanamkan oleh kedua orang tuaku membuatku merasa kehadiran mereka tidak selalu kubutuhkan.
Ternyata, banyak teman tak merasakan “kenikmatan” yang sama ketika menjadi anak rantau. Bahkan, banyak di antara mereka yang seringkali memilih pulang ke rumah apabila ada kesempatan. “Ah manja kamu! Cuma pusing sampai ingin pulang ke rumah,” ejekku pada salah satu teman kosku dulu. Padahal hampir tiap minggu ia menyempatkan pulang ke rumah, sedangkan aku setahun sekali baru bisa bertemu dengan ibu.
Meskipun jarang pulang, hubunganku dengan ibu terbilang cukup baik. Kami sering bertukar kabar melalui telepon meski hanya seminggu sekali, itupun tak lebih dari 20 menit. Terkadang, rasanya sangat canggung bila menghubungi ibu untuk sekadar basa-basi. Obrolan kami biasanya akan sedikit lebih panjang apabila ada cerita yang ingin aku sampaikan ke ibu. Ketidaktergantungaku terhadap ibu inilah yang membuatku merasa lebih hebat dibandingkan teman-teman lainnya.
***
Kesempatan menjalani masa magang di Sahabat Kapas tak kusia-siakan. Aku ingin membuktikan bahwa sebagai anak rantau aku tidak akan punya masalah berhadapan dengan orang baru, termasuk bertemu dengan anak-anak binaan lapas yang mengikuti pendampingan Sahabat Kapas. Aku sepenuhnya menyadari, mereka datang dengan berbagai latar belakang kasus yang berbeda, misalnya pelecehan seksual, pencurian, bahkan kasus pembunuhan.
Sebagai mahasiswa psikologi, menjadi tantangan tersendiri bagiku ketika bertemu dengan anak binaan lapas, salah satunya RR. Ia adalah seorang remaja laki-laki berusia 18 tahun dengan kasus pelecehan seksual. Aku tak mengetahui secara pasti kronologi RR masuk ke lapas, yang pasti saat pertama kali bertemu dengannya aku ingin membangun kedekatan dan menumbuhkan sikap saling percaya.
Pada kesempatan itu, dari salah satu petugas lapas aku mendapat informasi bahwa RR mengalami depresi sehingga harus menjalani hukuman di ruang isolasi. Petugas lapas tak memberitahukan secara pasti penyebab RR depresi, yang jelas perilakunya mengganggu lingkungan sekitar sehingga ia harus diisolasi.
Aku tak menelan mentah-mentah informasi tersebut. Di awal pertemuanku dengannya, ia bersikap cukup ramah. Bahkan, ketika bermain games ia terlihat cukup antusias, walaupun beberapa perilaku aneh sempat ia tunjukkan kepada kami. Selama proses konseling, beberapa halusinasi dan delusi yang dialami RR sangat jelas terekam olehku. Ia sempat sedikit menyinggung ibunya, “Ibuku bernama Raisah, tapi sekarang dihapus jadi Raisoh!” Aku tak paham benar apa maksud perkataannya tersebut. Namun, ketika kutanya lebih lanjut ia hanya terdiam dengan mimik muka murung sembari menggenggam sebuah bolpoin.
Aku tak memaksanya untuk menjawab lebih jauh. Yang kugarisbawahi mungkin ada sesuatu yang terjadi pada keluarganya dan belum ingin ia bagi denganku. Ketika kutanyakan mengenai ayahnya, lagi-lagi RR hanya menjawab singkat, “Bapakku namanya Dihad dan kerja sebagai kuli,” terangnya. Dalam hati aku bekata bahwa sang ayah pastilah sosok yang cukup kuat. Ketika kutanya tentang saudara, ia menyebutkan banyak sekali nama. Sampai aku bingung mana nama yang benar, bahkan ia juga sempat berkata, “Saya anak kelima dari dua bersaudara.” Tentu saja ucapannya tersebut membuatku kebingungan. Ketika coba kuklarifikasi, lagi-lagi ia hanya memilih diam.
Dalam perbincangan kami, ia menyelipkan perasaan rindu dengan keluarganya. Ia bahkan mengatakan bahwa saat ini ayah dan ibunya pasti sedang menunggunya di Semarang. Padahal, beberapa pembina memberikan informasi kepadaku bahwa RR terakhir kali dijenguk oleh ibunya pada tahun 2016. Semenjak itu, tak ada seorang pun yang datang untuk menjenguknya. Kondisi ekonomi yang sulit, membuat keluarganya terkendala untuk datang menjenguk. Bahkan, menurut informasi, ayah RR kini tengah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa karena depresi. RR sendiri belum mengetahui berita ini, yang ia tahu, ayahnya tak bisa menjenguk karena sudah renta dan jarak Tegal-Kutoarjo yang tidak mudah dijangkau.
***
Pada pertemuan kedua, RR sedikit tampil berbeda. Potongan rambutnya rapi, senyum yang ia berikan terlihat bersahabat tanpa paksaan. “Rambutku dicukur sama Pak Rony,” adunya padaku. Sebelumnya, aku mendapat informasi bahwa RR dikirimi pakaian oleh tantenya, tapi RR bercerita kepada pembina yang lain bahwa yang mengirimi pakaian adalah ayahnya. Meskipun telah diberitahu bahwa pakaian itu bukan dari ayahnya, ia bersikukuh mengatakan bahwa sang ayahlah yang telah mengirimi pakaian. Padahal, di saat itu ayah RR sedang menjalani perawatan di rumah sakit jiwa.
RR tidak berlaku agresif dan bersikap lebih sopan. Ia juga mulai bersikap terbuka denganku. RR bercerita bahwa saat ini ibunya sedang bekerja sebagai pembantu di Jakarta. Ia bahkan mengatakan bahwa kini ia memiliki 2 ayah, Dihad dan Udin. Saat kutanya, apakah ia rindu dengan ayahnya, ia menjawab, “Ayah saya selalu ada di samping saya Mbak. Nih, sekarang juga ada di ruangan ini,” ujarnya santai. Dari ucapannya, aku bisa merasakan bahwa RR memendam kerinduan yang mendalam pada sang ayah.
Tak hanya itu, ia juga menuturkan bahwa ayah dan ibunya selalu ada dalam pikirannya. Kelak, ia ingin menjadi anak yang membanggakan kedua orang tuanya dengan menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan memperbaiki ibadahnya, seperti lebih sering membaca Alquran, berzikir dan tidak meninggalkan salatnya. Berkali-kali, aku mengaamiinkan harapannya tersebut. Ia bahkan ingin mengubah namanya menjadi Hafiz, dengan alasan Hafiz adalah anak yang dapat membanggakan kedua orang tuanya. Saat mendengar hal tersebut, ingin rasanya aku memeluk ibuku.
Tak bisa dimungkiri, RR tetap membutuhkan sosok orang tua di usianya yang hampir masuk usia dewasa. Terlebih kondisinya yang harus menjalani masa tahanan di LPKA membuatnya butuh perhatian lebih, terutama dari orang-orang yang dikasihinya. Ia pasti memendam keinginan sama dengan anak-anak yang lain bisa dijenguk oleh keluarganya. Meski demikian, kesedihan RR sedikit terobati dengan kehadiran salah satu pembina LPKA Kutoarjo, Bu Ira. Dari Bu Ira, RR setidaknya bisa sedikit mendapatkan rasa kasih sayang dan kepedulian, meskipun hanya berupa usapan lembut di kepalanya. RR juga memiliki beberapa sahabat yang senantiasa menemani, mendengar keluh kesah dalam menjalani hari-hari di dalam lembaga.
RR sempat bercerita bahwa orang yang selalu ada untuknya adalah Ibu Ira (salah satu pembina di LPKA Kutoarjo). Beberapa nama lain juga ia tulis dalam selembar kertas putih, mereka adalah sahabat-sahabat terbaiknya. Informasi yang ku dapatkan sampai saat ini memang benar, nama-nama tersebut memang sering berinteraksi dengan klien, sering mendengar keluhan klien, bahkan sambil mengusap kepala juga pernah dilakukan.
RR jelas sangat membutuhkan sentuhan kehangatan yang sayangnya tak bisa ia dapatkan dari ayah dan ibu kandungnya. Ia hanya bisa membayangkan bisa mendengar suara merdu sang ibu atau merasakan hangatnya pelukan sang ayah. Mereka yang harus ia simpan di dalam ruang halusinasi dan delusinya. RR dan kisahnya melemparkan tanya padaku, masihkah anak rantau sepertiku merasa telah kuat dan tak butuh sosok ibu?
Published by