ASA UNTUK ANAK-ANAK DI BALIK TERALI BESI
A. Situasi ABH dalam Peradilan Pidana
Hampir tiap minggu kita temukan di halaman surat kabar, berita mengenai anak yang melakukan kenakalan dan melanggar hukum. Jumlah mereka memang banyak, bahkan meningkat setiap tahunnya. Menjadi ironi ketika mayoritas kasus anak tersebut berujung pada hukuman penjara untuk anak. Kita semua paham berapa biaya yang harus dikeluarkan negara untuk proses hukum mulai dari tingkat kepolisian hingga putusan. Belum lagi biaya pribadi yang dikeluarkan oleh keluarga / masyarakat. Tetapi permasalahan yang pelik bukanlah hanya sekedar biaya.
Kebiasaan penegak hukum dalam penanganan kasus anak masih berkutat pada pengamanan tersangka anak agar tidak ulangi perbuatan atau melarikan diri. Caranya dengan penahanan badan dan ditempatkan di sel yang tersedia. Mulai dari penyidik di kepolisian, pelimpahan di kejaksaan, bahkan persidangan di pengadilan. Mayoritas menerapakan kebijakan penahanan seperti yang diperuntukan bagi tersangka dewasa.
Mindset yang terbangun masih stagnan bahwa penghukuman bagi pelaku adalah penjara. Pertanggungjawaban pidana baru sebatas normatif seperti yang tertulis dalam undang-undang. Terobosan hukum progresif masih segelintir diberlakukan. Hukuman yang bersifat edukasi dan rehabilitatif menjadi barang langka. Padahal menakar nilai kerugian korban tidak melulu dapat diwakilkan dengan hukuman badan pemenjaraan.
Kasus kriminalitas dengan anak sebagai pelaku masih belum banyak yang diselesaikan dengan jalur diversi, meskipun kewenangan ini melekat di aparat penegak hukum. Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak meneguhkan kembali kewenangan ini dalam beberapa pasalnya. Artinya, diversi ini sangat penting untuk mengurangi jumlah anak terpapar pengaruh negatif dari pemenjaraan. Pelibatan masyarakat dalam upaya diversi menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan keadilan restoratif yang menjadi bagian dari prinsip perlindungan anak.
B. Tantangan Penanganan ABH
Lembaga pemasyarakatan khusus anak sangatlah terbatas, tercatat di Indonesia hanya ada 16 Lapas khusus Anak, di Jawa Tengah berada di Kutoarjo untuk dua propinsi yakni Jawa Tengah dan Jogjakarta. Anak lainnya yang tidak terakomodir di lapas khusus anak (terpaksa) berada di lapas umum atau rutan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi penyedia layanan di dalam lapas / rutan umum yang pada awalnya hanya fokus pada program untuk orang dewasa. Kemenkum HAM sebagai institusi payung untuk lapas/rutan tidak dapat menolak seiring laju tingginya jumlah anak dengan vonis penjara.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010 – 2014 menempatkan anak dalam prioritas pembangunan. Perlindungan anak menjadi salah satu tugas wajib pemerintah sebagai penyelenggaran negara. Anak bukan semata aset negara, tapi merupakan investasi kemajuan sebua bangsa. Pemenuhan hak anak dalam segala situasi menjadi tugas bersama. Merujuk Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak, mereka yang berhadapan dengan hukum (ABH) wajib mendapatkan perlindungan khusus. Kebijakan turunan pun hadir, seperti kesepakatan bersama beberapa kementerian untuk melakukan upaya khusus dan segera memenuhi hak dasar ABH.
Ditingkat pusat, setiap kementerian terkait telah membuat program-program menarik untuk ABH. Misalnya Kemensos dengan Program Kesejakteraan Sosial Anak (PKSA), Kemendikbud dengan Pendidikan Layanan Khusus (PLK), Kemenkes dengan jaminan kesehatan bagi anak di dalam Lapas. Namun kenyataannya pada tataran implementasi di wilayah, program tersebut tidak implementatif. Kuatnya egosektoral dari masing-masing pengampu program mengakibatkan ABH tidak mendapatkan penanganan maksimal. Hambatan birokrasi dan belum tersedianya panduan yang jelas kian menjauhkan program dari penerima manfaat.
Kapasitas lembaga terkait berikut sumber daya manusia dan finansial menjadi kebutuhan vital dalam pelaksanaan di tingkat lokal. ABH dengan vonis pidana penjara membutuhkan pendampingan rehabilitasi perilaku dan mental. Proses ini tidak berhenti disini saja, jaminan dukungan reintegrasi anak harus disiapkan juga. Ketika sumber daya penyedia layanan masih ditemui adanya kesenjangan, maka peningkatan kapasitas dan meningkatkan kerjasama antar institusi harus dibangun segera. Misalnya saja jumlah petugas BAPAS yang mampu melakukan pendampingan masih jauh dari cukup, ditambah jangkauan wilayah yang luas.
Data informasi ABH menjadi kebutuhan dasar ketika akan membuat desain pembinaan untuk mereka. Data di sini masih sebatas data yang bersifat umum dan belum menjangkau informasi perkembangan anak-anak selama di dalam lapas/rutan. Bukan hal tabu terkait fakta ABH tersebut yang masih jauh dari pemenuhan hak dasarnya. Situasi ini berpengaruh pada perilaku anak selama masa penahanan. Melemahnya potensi anak, kejenuhan, hingga muncul konflik diantara mereka adalah dampaknya. Dengan data dan informasi perkembangan anak yang tersaji akurat, diharapkan hal hal negative tersebut dapat diminimalisir terjadi.
C. Rumah Penahanan Ramah Anak
Penanganan ABH tidak dapat dilakukan hanya separsial dan menjadi beban satu pihak saja. Termasuk ABH di dalam lapas / rutan bukan tunggal menjadi tugas Kemenkum HAM. Pemerintah sebagai pengemban amanat perlindungan hak anak terdiri dari banyak institusi dan lembaga. Merekalah yang menjalankan mandat konstitusi dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Permasalahan egosektoral sangat menghambat program rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak. Bilamana hal ini dibiarkan berlarut-larut, anak-anak sebagai pemegang hak berpotensi besar mendapatkan diskriminasi – kekerasaan – eksploitasi – perlakuan salah lainnya. Pendekatan berbasis sistem ditawarkan untuk mengatasi kesenjangan dalam ranah kebijakan / normative, struktur pelaksana mandat, hingga proses pelaksanaan.
Harapannya tidak muncul lagi penolakan dari Dinas Pendidikan untuk menyelenggarakan sekolah di dalam Lembaga Pemasyarakatan, pemeriksaan kesehatan oleh Dinkes, dan pendampingan oleh pekerja sosial. Pelibatan lembaga dan masyarakat perlu dilakukan untuk memperkuat program untuk anak.
Menciptakan rumah penahanan yang ramah anak bukan perkara gampang. Perlu komitmen kuat dari pemerintah diikuti semua institusi dibawahnya. Selanjutnya baru penyusunan kebijakan dan program yang terintegrasi serta jelas tupoksi masing-masing penerima mandat. Misalnya tentang mekanisme percepatan proses pembebasan anak yang terintegrasi dengan program kementeriansosial seperti PKSA. Pada prinsipnya, seseorang dikenai penahanan badan beresiko pada tercerabutnya (hanya) kemerdekaan yang bersangkutan, bukan hak dasar lainnya. Anak-anak di balik terali besi membutuhkan perhatian kita semua untuk membangun masa depannya yang lebih baik dari sekarang.
Dian Sasmita_18 Oktober 2013
* Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis sebagai refleksi proses interaksi dengan anak-anak di dalam lapas dan rutan sejak tahun 2009 *
Published by