Anak Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual

Belakangan ini, kasus kekerasaan seksual marak yang melibatkan anak sebagai pelakunya marak diberitakan. Di Bengkulu, Surabaya, Klaten ada anak yang turut serta melakukan kekerasaan. Alkohol dan video porno dianggap sebagai pemicu utama kekerasaan tersebut. Ini merupakan persoalan kita bersama karena memang sudah di luar batas kewajaran. Alternatif hukuman kebiri, penjara seumur hidup, dan hukuman mati pun kembali mengemuka di masyarakat.

Namun apakan dengan hukuman di atas persoalan selesai dan masyarakat kembali ke kehidupan normal tanpa perlu resah? Ketika anak divonis hukuman penjara dalam waktu yang lama, maka ada persoalan besar yang patut turut diperhatikan. Mungkin tidak banyak yang menyadari dan mengerti. Apakah stigma anak sebagai pelaku perkosaan dan pembunuhan akan hilang setelah dia divonis penjara? Apakah masyarakat bisa menerima mereka setelah bebas kelak? Dan masih banyak pertanyaan yang menghantui anak-anak tersebut.

Tulisan berikut tidak akan mengupas akar persoalan kekerasaan seksual dapat terjadi. Penulis mengambil sudut pandang anak sebagai pelaku kekerasaan seksual yang diancam pidana penjara lebih dari 7 (tujuh) tahun. Menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak, upaya diversi tidak menjadi keutamaan dalam proses penyelesaian kasus tersebut meskipun umur mereka belum 18 tahun. Melansir data Yayasan Sahabat Kapas, anak dengan kasus kekerasaan seksual mendominasi penghuni di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo tahun 2015 yakni hampir 70%.

Pidana penjara menjadi salah satu alternatif sanksi untuk mereka. Bentuk sanksi lainnya yakni pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan pidana dengan syarat seperti pelayanan masyarakat. Keputusan hakim wajib untuk memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan agar tetap terpelihara. Penjatuhan pidana penjara pada anak diharapkan lebih bijak untuk menghindarkan perilaku yang lebih buruk pada anak. The Riyadh Guiedelines menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan perlindungan, mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak.

Perjalanan kasus tidak hanya berhenti pada putusan pengadilan saja. Namun ada rangkaian berikutnya yakni penanganan di lembaga pemasyarakatan yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yanng terpadu. Beban di tahapan ini cenderung lebih berat karena mengambil waktu anak yang paling banyak daripada tahap sebelumnya. Ketika di kepolisan, anak akan ditahan maksimal selama 15 hari, di kejaksaan 10 hari, dan di pengadilan negeri 25 hari.

Anak yang berkonflik hukum ditempatkan di LPKA atau di Lapas/Rutan jika belum tersedia LPKA di wilayah tersebut. Se-Indonesia baru terdapat 17 LPKA. Apakah Lapas/Rutan layak untuk anak? Standar layak yang digunakan adalah terpenuhi hak-hak anak sesuai amanat undang-undang yang ada seperti UU SPPA, UU Perlindungan Anak dan UU HAM.

TANTANGAN ANAK YANG DI BALIK JERUJI BESI

Edwin H. Sutherland menyatakan perilaku jahat dipelajari dari lingkungan sosial dimana individu tersebut berada, bukan karena keturunan orang tua (differential association). Interaksi verbal maupun non verbal dengan orang dewasa tentang kejahatan memberi ruang anak mempelajari dan meniru perilaku salah.

Anak yang terjerumus di balik jeruji mayoritas disebabkan pengaruh lingkungan sosialnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berkumpul dengan teman dewasa yang memiliki potensi berbuat kriminal. Kenapa mereka bisa bergaul dengan kelompok demikian? Karena mereka tidak nyaman di rumah, mereka sudah tidak bersekolah, mereka tidak memilki alternatif kegiatan positif untuk mengisi waktu, atau alasan lainnya.

Ketika mereka kemudian melakukan tindak pidana dan divonis pidana penjara, maka kehidupan mereka akan berubah 180 derajat. Terpisah dari keluarga, harus tinggal di kamar khusus bersama teman-teman baru yang senasib. Berkenalan dengan kebiasaan baru seperti senam pagi, makan dengan waktu dan jatah khusus. Tunduk dengan tata tertib yang ada selama di Lapas/Rutan.

Pembinaan di lapas/rutan menginduk pada UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Narapidana diposisikan sebagai subyek selayaknya manusia lainnya yang memiliki harkat dan martabat. Manusia tidak ada yang tidak pernah lepas dari khilaf dan dikenai sanksi. Sehingga pembinaan di Lapas/Rutan sebagai upaya menyadarkan mereka agar menyesali perbuatannya dan dapat kembali berguna di masyarakat.

Faktanya proses pembinaan masih belum maksimal karena fasilitas yang ada belum sesuai kebutuhan anak. Misalnya terkait keberlanjutan pendidikan mereka. Petugas kurang menguasai keterampilan konseling anak. Program khusus untuk anak belum tersedia, masih menumpang program kegiatan narapidana dewasa. Kalaupun ada, faslitas dan materi pembinaan belum mendukung pengembangan diri anak.

Kita tidak dapat menutup mata dengan keberadaan anak di Lapas/Rutan dewasa. Jumlah mereka tidak banyak, tapi ada. Perlu disadari juga tentang dampak prisonisasi pada anak. Prisonisasi merupakan proses akulturasi dan asimilasi tata cara kehidupan di dalam penjara (Donald Clemmer). Indikasinya berupa penggunaan istilah khusus, terdapat strata sosial tertentu, ada kelompok utama, dan pimpinan kelompok. Filtrasi perilaku negatif dari hasil interaksi sosial anak di Lapas/Rutan tak dapat dilakukan 100% karena perilaku tersebut telah melembaga sekian waktu dan dilakukan oleh banyak orang sehingga menjadi sebuah budaya.

IDEALNYA PEMBINAAN ANAK

Menempatkan anak di Lapas/Rutan merupakan fase esensial dari proses rehabilitasi perilaku dan psikisnya. Dukungan keluarga lewat kunjungan berkala sangat besar pengaruhnya pada psikis anak. Kebutuhan kasih sayang dan perhatian kelurga tidak bisa disubstitusikan sepenuhnya oleh petugas/wali pemasyarakatan.

Tindak kriminal di masa lalu tidak akan dihapus seketika dengan mereka berada di dalam sel penjara. Anak membutuhkan bimbingan dan pendampingan secara intensif untuk dapat memperbaiki kesalahan dan merubah perilakunya. Pendekatan edukasi, spiritual, dan psikologi menjadi elemen kunci untuk mengembangkan potensi diri anak ke arah yang positif. Sehingga anak dapat tetap tumbuh dan berkembang tak beda dengan anak di luar tembok Lapas/Rutan/LPKA. Sejatinya hanya kemerdekaannya saja yang tercerabut, hak-hak dasar anak lainnya wajib tetap dipenuhi.

Penerimaan masyarakat pasca masa pidana selesai menjadi salah satu kekhawatiran anak. Kembali bersekolah atau bekerja adalah harapan anak. Namun tidak semudah anak umumnya untuk merealisasikannya. Tidak banyak sekolah formal mau menerima mereka sebagai siswa. Tak ada pilihan lain selain kejar paket. Berburu pekerjaan pun tak kalah sulit. Keterampilan minim dan modal usaha terbatas tidak mampu meningkatkan kesejahteraannya.

Pemasyarakatan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen kompleks dan saling berkaitan. Keberhasilan implementasi sistem pemasyarakatan pada anak tidak hanya menjadi beban Lapas/Rutan setempat. Sudah saatnya pemerintah serius memikirkan perbaikan sistem pemasyarakatan yang berperspektif anak. Melalui harmonisasi UU Pemasyarakatan dengan undang-undang lainnya terkait anak. Memperbaiki struktur kelembagaan dan kualitas petugas yang menguasai ilmu psikologi anak. Dukungan anggaran untuk pembinaan anak dialokasikan khusus. Serta membangun sinergi rehabilitasi anak dengan pemerintah daerah dan masyarakat sehingga anak benar-benar dapat bermanfaat dan bebas stigma.

Lantas bagaimana tuntutan masyarakat yang sedemikian besar agar semua pelaku baik dewasa dan anak harus dihukum seberat-beratnya? Harapan penulis, khusus anak harus dibedakan pendekatan dan perlakuannya selama masa pemidanaan. Kebutuhan yang khas dan kepentingan terbaik mereka wajib menjadi pertimbangan negara. Jangan sampai menyelesaikan satu persoalan saat ini, namun akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.

 

Ditulis oleh Dian Sasmita (Direktur Sahabat Kapas).

Tulisan ini telah diterbitkan di media cetak Solopos, dan situs solopos.com pada tanggal 20 Mei 2016.

You Might Also Like

Published by

Evi Baiturohmah

Penyuka panda, pantai dan percakapan. Selalu ingin membuat terobosan menarik dan kreatif dalam pekerjaan dan kehidupan sehari- hari. Mantra mujarab: Things get tough and shi*s happen, but you’ll survive.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.