“Negara-negara pihak dalam Konvensi ini mengakui bahwa anak-anak dengan disabilitas perlu mendapatkan pemenuhan menyeluruh dari semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental berdasarkan persamaan hak dengan anak-anak lainnya”.
Kutipan di atas adalah salah satu poin pembukaan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disabilities) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas. Konsekuensi ratifikasi di atas memunculkan peran negara dalam penghormatan, pemenuhan serta perlindungan atas hak anak penyandang disabilitas. Negara harus menjamin dan mengakui bahwa mereka memiliki kedudukan yang setara di semua aspek kehidupan, termasuk akses terhadap hukum dan peradilan yang adil. Hal ini diperkuat dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang mengatur tentang kesetaraan pengakuan di hadapan hukum dan akses terhadap keadilan.
Kebutuhan akan akses terhadap hukum dan peradilan yang adil bagi mereka sangat penting diperhatikan karena sangat rentan menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan. Akses terhadap hukum dan peradilan bukan hanya dalam arti mendapat putusan pengadilan yang adil, tetapi terpenuhinya hak-hak mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan hingga pelaksanaan putusan. Hak tersebut memang sudah diatur dengan tegas dalam undang-undang, namun diskriminasi terhadap anak-anak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum tetap terjadi.
Kasus siswi Sekolah Luar Biasa (SLB) di Sukoharjo yang dicabuli dan diperkosa gurunya berkali-kali adalah salah satu dari banyak kasus diskriminasi terhadap anak-anak penyandang disabilitas. Umur kalender siswi tersebut 22 tahun, namun ia memiliki keterbatasan yaitu tergolong mental retardasi. Mental retardasi atau keterbelakangan mental adalah suatu keadaan dengan intelegensia kurang sejak lahir atau sejak masa anak-anak. Keadaan ini ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata dan disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri. Meski umur korban 22 tahun, secara mental ia setara dengan anak usia 9 tahun. Penegak hukum dalam kasus ini tidak berani menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menjerat pelaku dikarenakan interpretasi (sempit) dari pengertian ‘anak’ yang dibatasi kurang dari 18 tahun. Proses hukum kasus ini tidak mulus. Proses peradilan tersendat karena kekurangan alat bukti. Status korban yang juga menderita tuna rungu dianggap tidak kuat hukum, sehingga kasus ini diragukan kebenarannya[1].
Serupa dialami seorang siswi slow learner kelas 5 (lima) Sekolah Dasar (SD) yang diperkosa oleh gurunya. Slow learner atau lamban belajar adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk mental retardasi. Ketika mencoba untuk mencari keadilan, ia ditolak oleh kepolisian setempat karena laporannya dinilai terlambat dan bukti-bukti yang diajukan dinilai tidak kuat. Parahnya lagi, penolakan oleh pihak kepolisian dikarenakan korban dianggap ‘cacat’ sehingga kesaksiannya tidak bisa dipercaya. Akhirnya kepolisian mengusulkan untuk melakukan tes DNA untuk membuktikan laporannya. Namun karena ia berasal dari keluarga yang tidak mampu, maka tes DNA pun tidak dilakukan. Kasus ini kemudian ditutup dengan uluran “jalan damai” dari pemerkosa[2].
Tentu, masih banyak potret kasus anak-anak penyandang disabilitas yang berujung ironi. Bukan hanya sebagai korban, namun juga sebagai tersangka/terdakwa dan atau saksi. Para penegak hukum terkesan enggan mengembangkan wawasan yang berperspektif Hak Asasi Manusia. Akibatnya peradilan menjadi jauh dari rasa adil, berjalan timpang, dan fakta-fakta yang ada tidak tergali.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Adakah hal sederhana yang sebenarnya punya daya dorong besar? Karena kita tidak bisa hanya diam menunggu para aparat pemerintah sadar.
Ya, mainstreaming terhadap difabilitas sangat penting. Kampanye damai melalui jalur aksi ataupun media adalah salah satu upaya sederhana yang bisa dilakukan untuk membumikan isu difabilitas di kalangan hukum dan peradilan. Lewat diskusi, publikasi, film, atau kegiatan kreatif lainnya kita suarakan hak disabilitas. Suara-suara kita harus lebih besar gaungnya untuk bersaing dengan riuhnya tuntutan-tuntutan lain.
Referensi:
[1] Intan Pratiwi. 2013. Perjalan Panjang Difabel Korban Kekerasan Seksual Menuntut Keadilan. http://solider.or.id/2013/09/26/perjalanan-panjang-difabel-korban-kekerasan-menuntut-keadilan
[2] Setia Adi Purwanta. Penyandang Disabilitas. Yogyakarta: Solider. Hlm 49
Ditulis oleh Apriliani K. (Relawan Sahabat Kapas).
Published by