pendampingan psikososial Sahabat Kapas

Aku dan Miras: Seteguk Nikmat vs. Sebaper Curhat

Gonjang ganjing terkait Perpres investasi miras (yang akhirnya dicabut oleh Presiden Jokowi) mengingatkan saya pada obrolan ngalor ngidul dengan anak-anak yang pernah saya dampingi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Banyak di antara mereka mengaku tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan terjadi karena efek miras. Mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir panjang dan merasa jauh lebih berani melakukan kekerasan saat tersulut amarah.

Percakapan dengan para remaja ini selalu menjadi highlight proses saya mendampingi mereka. Saat istirahat kegiatan, di sela-sela permainan, atau saat duduk di depan kelas, saya bisa mendengarkan cerita mereka berjam-jam. Tidak ada yang membuat lebih bahagia daripada mereka yang percaya pada saya sehingga bisa bercerita dengan santai. 

Banyak yang mereka bagi, tentang enaknya ciu yang dicampur Ale-Ale, mudahnya membeli miras oplosan, atau bahagianya mereka karena bisa melupakan masalah dengan sebotol bir murahan meski hanya untuk sementara.

Sebenarnya, para remaja ini sadar betul jika miras bisa  mengakibatkan kecanduan dan merusak kesehatan. Namun, risiko-risiko itu serasa minor dibandingkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan: menjadi bagian dari kelompok pertemanan, menghilangkan beban pikiran, hingga meningkatnya kepercayaan diri dan keberanian.

Seorang anak pernah bercerita bahwa miras membuatnya lebih ‘berani’ saat chatting dengan teman perempuannya. Jika tidak minum, dia tidak punya nyali untuk flirting atau sekedar membuat percakapan lebih mengasyikkan.

Anak lainnya berujar jika ayahnya sering berbagi miras dengannya. Dia bebas menenggak minuman beralkohol itu kapanpun dia mau. Banyak pula yang mengaku tak kuasa menolak ajakan kawannya untuk meneguk ciu dari botol bekas Aqua saat nongkrong di alun-alun kota.

Kelindan Miras dan Remaja

Masalah miras dan remaja ini memang njlimet dan tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan saja. Bukan hanya di Indonesia, banyak negara maju yang juga kesulitan menangani kompleksitas isu remaja, miras, dan dampaknya di masyarakat.  Meskipun demikian, ternyata ada loh negara yang berhasil dengan gemilang menurunkan angka konsumsi alkohol dan narkoba pada remaja!

Pada tahun 2018, World Economy Forum menurunkan sebuah artikel panjang tentang bagaimana Islandia berhasil menurunkan angka remaja yang mengonsumsi alkohol dan narkoba. Di negara Nordik, tren remaja mengonsumsi miras memang cenderung turun. Namun, Islandia mencetak statistik mengagumkan dalam mengubah perilaku remaja dalam mengonsumsi miras. 

Berangkat dari hasil riset tentang perilaku keseharian remaja, Pemerintah Islandia kemudian merumuskan rencana nasional yang dikenal dengan istilah Youth in Iceland. Pada intinya, pemerintah berinvestasi pada program penguatan orang tua dan sekolah, penyediaan fasilitas olah raga dan kesenian gratis, serta pemberlakuan larangan keluar malam. Voila! Angka konsumsi miras di remaja turun drastis dan partisipasi mereka dalam kegiatan olah raga dan seni naik pesat.

Apakah strategi ini bisa diterapkan di Indonesia?


Sebagai jawaban, ada kutipan sarkas di twitter yang mungkin cukup mewakili:

Warga Indonesia itu mau antre dan buang sampah pada tempatnya saja sudah bagus. 

Netizen Indonesia

Rasa-rasanya mimpi replikasi pendekatan di Islandia ke konteks Indonesia tampak hampir mustahil. Paling tidak, bukan dalam waktu dekat. Selain rasio jumlah remaja yang sangat jomplang, warga dan pemerintah Indonesia masih jauh dari kata siap. Seperti yang kita tahu bersama, semua pihak inginnya hasil bagus, tapi hanya sibuk menuntut, susah sekali untuk nurut dan runut. 

Mau ndakik-ndakik meniru Islandia? Mustahil wa mustahila.

Kenyataan ini membuat saya jengkel. Pikiran saya sering mentok. Ketika mendengarkan curhatan mereka, otomatis saya memikirkan alternatif apa yang bisa saya tawarkan agar mereka bisa beralih dari kebiasan mengonsumi miras. Sayangnya, semua opsi tampak tidak doable.

Mau menyarankan agar aktif di kegiatan seni dan olahraga, sarana dan prasarananya tidak tersedia. Menyodorkan ide untuk mengganti lingkaran pertemanan, tidak banyak yang pede dengan riwayat hukum mereka. Ingin  menyarankan supaya lebih aktif berkegiatan dengan keluarga, lah ini kan mereka banyak masalahnya malahan dengan keluarga. Nah.

Curhat Pelipur Lara

Sebagai kakak pendamping, jalan ninja yang bisa saya tempuh adalah meminjamkan telinga untuk mendengar curhat mereka. Sambil sesekali saya memberi tips agar mereka lebih percaya diri saat pedekate dengan gebetan mereka tentunya.

Saya teringat ketika suatu sore ada pesan pendek dari adik dampingan masuk di ponsel saya.

 “Mbak, aku mumet, pengen ngobrol. Ketemuan yo, gak penak lek lewat hp”

Esok harinya kami saling berbagi curcol panjang dan lama. Dia yang masih belum tahu potensi diri dan keinginannya apa, sementara saya yang masih lajang meskipun usia sudah cukup untuk berumah tangga. Dengan jujur dia mengaku bahwa dia takut jika tidak kuat dengan beban pikirannya, dia akan lari ke obat dan miras. Dari situ, dia memutuskan untuk curhat ke saya.

Maknyes. Saya baper. Berkata saya dalam hati, jika miras masih gampang ditemukan, setidaknya saya lebih gampang diajak bercanda dan bisa mentraktir makan. Dengan sepiring lontong tahu di warung dekat taman kota, saya senang percakapan hangat di Minggu pagi itu bisa menggantikan nikmatnya seteguk minuman setan dalam melipur laranya.

Artikel ini adalah bagian dari campaign “Semua bisa dibicarakan #tanpakekerasan”, hasil kerja sama antara Sahabat Kapas dan Plain Movement, kunjungi pula https://plainmovement.id/

You Might Also Like

Published by

Evi Baiturohmah

Penyuka panda, pantai dan percakapan. Selalu ingin membuat terobosan menarik dan kreatif dalam pekerjaan dan kehidupan sehari- hari. Mantra mujarab: Things get tough and shi*s happen, but you’ll survive.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.