“Namaku Bonji” adalah judul FTV yang pernah tayang tengah malam di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. FTV ini bercerita tentang remaja yang terlibat dalam tawuran. Fenomena tawuran antar anak sekolah di ibukota ternyata menarik sineas untuk mengangkat tema tersebut dalam sebuah Film televisi. Tokoh utamanya seperti nama judul filmnya, adalah Bonji: anak SMA kelas tiga dengan perawakan tinggi kurus yang sering terlibat tawuran dengan sekolah lainnya.
Latar belakang kehidupan Bonji cukup memprihatinkan, ibunya adalah seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan bapaknya tidak diketahui keberadaannya. Bonji mempunyai adik perempuan yang tinggal bersama saudara ibunya, sedangkan ia tinggal dengan walinya, sebuah keluarga miskin yang bersedia menampung dan menyekolahkannya. Kondisi yang tak ideal ini membuat sekolah Bonji berantakan. Nilai-nilai mata pelajaranya tak lebih dari angka 6. Bonji juga sering dipanggil oleh kepala sekolah karena sering terlibat tawuran.
Singkat cerita, wali dari Bonji dipanggil pihak sekolah karena tawuran. Walinya pun jengkel karena sudah tidak tahan dengan kelakuannya. Akhirnya Bonji pun diusir dari rumah. Kondisi ini membuat Bonji tidak lagi mempunyai tempat tinggal dan juga wali di sekolah. Parahnya lagi, Bonji hanya diberi waktu satu minggu oleh Kepala Sekolahnya untuk mencari wali agar tetap bisa bersekolah. Bonji pun bingung. Dia menghubungi teman-temannya satu per satu dan tidak ada satupun keluarga dari teman-temannya yang mau menampungnya. Dia sadar bahwa dia harus lulus untuk mewujudkan mimpinya. Bekerja di minimarket adalah mimpi terbesarnya untuk memperbaiki kehidupannya.
Akhirnya Bonji menemui tukang kebun sekolah,(lupa namanya, yang jelas dimainkan Jarwo kuat, sebut aja pak Bon). Pak Bon ini cukup mengetatahui Bonji anak seperti apa. Karakternya yang agak menyebalkan (khas karakter Jarwo Kuat) tapi baik hati, akhirnya bersedia membantu mencarikan wali untuknya. Bonji pun di tawarkan ke beberapa kenalan Pak Bon. Tapi tak ada satupun yang bersedia yang menjadi walinya dengan alasan nilainya jelek dan kelakuannya buruk. Hal itu terungkap dari nilai raport dan catatan didalamnya.
Itulah sepenggal cerita dari film “Namaku Bonji”. Film ini menyajikan fakta bahwa Bonji yang mewakili realitas dunia kelas bawah, harus tersisih karena nilainya yang jelek dan kelakuannya buruk. Dalam pandangan saya, orang-orang miskin akan tetap miskin, orang-orang bodoh tetap bodoh dan orang bermasalah-tetap bermasalah jika sikap masarakat dalam melihat dan memperlakukan anak- anak seperti yang ditunjukkan film tersebut.
Yang didapat pas-pasan
Pendidikan merupakan langkah awal untuk memperbaiki kualitas hidup seseorang dan keluarganya. Tapi realitanya, pendidikan yang didapatkan oleh keluarga miskin hanya pendidikan yang seadanya. Bertolak belakang dengan orang yang mampu secara finansial, sekolahnya tentunya berbeda jauh dengan kondisi sekolah orang miskin, mulai dari fasilitas sampai kualitas. Meskipun ada sekolah “gratis”, kita masih mempertanyakan apakah semua proses belajar mengajar dalam sekolah tersebut membebaskan seluruh biaya kepada murid dan orangtua? Kemudian, bagaimana dengan kualitasnya? Apakah sama dengan sekolah yang mahal? Padahal negara ini berkewajiban mencerdaskan seluruh warganya. Sekolah mahal dengan kualitas mahal pula semakin membuat gap antara si kaya dan si miskin. Yang pintar semakin pintar dan yang pas-pasan ya tetap sama karena pendidikan yang didapat ya pas-pasan.
Perlakuan antara yang pintar dengan yang pas-pasan juga berbeda, seperti kasus Bonji. Udah nilai jelek, kelakuan buruk (mungkin ini yang disebut sampah masyarakat), tentunya banyak orang yang tidak menginginkannya. Buah busuk aja tempatnya ditempat sampah, apakah manusia juga di “tempat sampah” juga? Apakah sampah tetap terus menjadi sampah? Jawabanya TIDAK. Ini tentang sebuah sudut pandang. Buah busuk bila tidak diolah hanya akan menimbulkan masalah, mulai dari baunya yang busuk hingga potensinya sebagai sumber penyakit. Akan tetapi jika kita mengolahnya, buah busuk bisa dijadikan pupuk yang bermanfaat. Sama halnya manusia yang memperoleh stigma sebagai sampah masyarakat. Mereka, orang-orang yang tidak berpunya, orang-orang yang bermasalah seperti tokoh Bonji seringkali diperlakukan layaknya sampah yang tidak punya masa depan. Seyogyanya semua orang terutama anak- anak mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan untuk hidup lebih baik lagi. Mereka butuh perhatian lebih. Mereka juga mempunyai mimpi (kaya Bonji, meski sederhana, tapi tujuannya mulia) untuk kehidupan yang lebih baik.
(Dedi Setyawan- Koordinator Pendamping Anak SAHABAT KAPAS)
Published by